Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang memiliki ladang pahala jika dijalani dengan benar, pernikahan itu mudah, jika mengikuti semua aturan yang diajarkan oleh syariat. Apa aturan itu? Masing-masing menjalankan fungsinya masing-masing, saling memberi dan menerima, bertanggung jawab dalam perannya. Seperti sepasang suami istri yang berhasil menjalankan pernikahan mereka, hidup sederhana dan saling melengkapi satu sama lain.Keke bangun, menggeliatkan tubuhnya sejenak, perutnya yang membesar itu memang membuat dia agak kesulitan tidur nyenyak. Dia mendapati kasur di sampingnya sudah kosong, sedangkan si kembar masih lelap dalam ayunannya masing-masing. Sejak berumur setahun, Delia dan Delio jarang sekali bangun di malam hari, dia tidur nyenyak sampai pagi, tapi sebelum tidur, mereka harus disuapi dulu sampai kenyang.Keke bangun, membuka jendela kamar, sehingga udara segar di subuh hari menyapanya. Keke melihat jam dinding, masih jam lima subuh. Kokok ayam bersahut-sahutan, suasan
Tiga hari setelahnya, Luqman sudah mulai bekerja, wajahnya terlihat cerah saat motornya memasuki pekarangan rumah Bujang. Seperti biasa, dia akan bersenandung kecil, jika melihat Luqman yang sekarang, siapa yang akan menduga dia pernah hampir gila. Keke mendampingi Delio yang baru pandai berjalan, sesekali dia terjatuh, tapi Delio bangkit lagi, memang, dibanding Delia yang lincah, perkembangan Delio agak sedikit lambat. Sedangkan Delia sudah berlari-lari kecil sambil memetik bunga yang sedang mekar di pot. Keke hanya bisa mengelus dada, semua bunga yang mulai bermekaran sudah gundul karena tangan mungil itu."Hai Bujang kecil," sapa Luqman, dia memarkirkan motornya di depan gudang. Rokok menyelip di bibirnya yang gelap."Sudah sehat, Bang?" Bujang senang dengan keadaan Luqman yang sudah bugar. Seperti tak pernah terjadi apa-apa."Sudah, bukan ragaku yang sakit, pikiranku, ajaib benar kelapa si Endang, entah siapa dukunnya. Kalau ingat aku pernah merangkak mencari dia, malunya minta a
"Bang, tunggu!" seru Keke, dia berhenti sambil memegang perutnya yang besar, sambil menata nafasnya yang sesak. Pria yang berada tak jauh di depan Keke, memandang wanita itu sambil tersenyum.Sudah tiga hari berturut-turut, Bujang menemani Keke jalan pagi, seperti saran dokter, di kandungan yang mulai memasuki usia delapan bulan, Keke harus rutin jalan pagi agar persalinan berjalan mudah dan lancar. Sedangkan Delia dan Delio mereka titipkan pada neneknya."Lelah?" tanya Bujang. Keke mengangguk, sambil mengusap keringat di wajahnya."Iya, berhenti dulu. Sebentar saja.""Mau digendong?" Bujang menampakkan wajah geli. Keke mencibirkan bibirnya."Kalau digendong namanya bukan jalan pagi, tapi gendong pagi." Keke mulai melangkah lagi."Betul juga. Akan tetapi kalau kamu mau, aku bersedia menggendongmu.""Iya, terus ditertawakan orang kampung. Kita bisa jadi bahan gunjingan." Keke menarik nafas berulangkali. "Ayo!" kata Keke sambil memegang lengan Bujang. Rasanya, dengan berjalan berdua, me
"Abang mencium sesuatu?" tanya Keke, dia mengendus udara, kemudian menutup hidungnya, mereka baru saja hendak bersiap-siap untuk sarapan pagi. Hidangan sudah tersaji di meja makan, di saat si kembar tidur inilah mereka bisa menikmati waktu sarapan berdua, kalau si kembar bangun, terpaksa mereka gantian."Tidak." "Coba Abang lebih teliti lagi, bau bangkai." Keke menutup hidungnya, perutnya bergejolak. Bau bangkai yang sangat amis.Bujang bangkit. Memeriksa ruang tamu di berbagai sudut. Keke wanita yang super bersih, dia tak mungkin melewatkan kotoran saat membersihkan rumah. Apalagi membiarkan bangkai binatang tanpa membuangnya."Apa mungkin tikus mati?" tanya Bujang tak yakin, Keke berpikir sejenak."Tak ada tikus di rumah kita, Bang. Kerena kita punya kucing. Ini tak seperti bau tikus." Keke mengambil minyak telon si kembar, kemudian mengusapkan ke hidungnya beberapa kali, demi menyamarkan bau yang semakin menganggu. Ini hari minggu, Luqman libur, dan Bujang pun hanya akan bersanta
"Apa dia sudah pergi?" tanya Keke, saat mendengar suara langkah kaki Bujang menuju kamar, Keke langsung duduk di ranjang dan pura-pura tak melakukan apa-apa."Sudah, " sahut Bujang sambil mengelap tangannya yang basah."Sebenarnya kasihan melihat dia begitu, sungguh tak diduga, padahal dulu Kak Endang begitu dipuja di kampung ini, dia serba pandai, pintar memasak juga, setiap acara pesta pasti dia diundang untuk jadi kepala dapur.""Nafsu dunia bisa membuat orang berubah." Bujang menyahut."Nafsu untuk bisa memiliki Abang," sindir Keke. Bujang tersenyum lebar, memamerkan giginya yang rapi. Tatapan hangat dan tegas itu selalu membuat Keke tak berkutik. Jika dilihat dari dekat, pria penakluk hatinya itu memang sangat menawan. Ah, entah berapa ribu kali Keke melempar pujian dalam hati pada suaminya itu."Ya, mungkin," sahut Bujang tak tertarik."Keke rasa, ada cinta yang belum selesai.""Seperti judul sinetron.""Kalau dulu dia tak meninggalkan Abang, pasti Abang menikah dengannya, kan?"
"Sudah berapa bulan, Ke?" tanya seorang wanita bertubuh gemuk di samping Keke. Keke asik mengipas-ngipas wajahnya, udara begitu panas, padahal kipas angin di berbagai sudut ruangan telah bekerja maksimal."Jalan delapan bulan, Kak.""Perasaan baru kemaren kamu nikah, Ke. Waktu terasa sebentar, tak terasa nanti kamu akan punya tiga anak," sahut ibu satu lagi.Keke tersenyum, tak berniat menanggapi lebih jauh, yang jelas, dia bosan.Saat ini mereka tengah berada di kantor lurah, ada acara pertemuan ibu-ibu PKK dengan beberapa orang pejabat pemerintahan. Katanya, ada dana yang akan disalurkan oleh pemerintah. Memang, sejak punya anak, Keke jarang bergaul dengan masyarakat, di samping kerena rumah Bujang terpencil, dia juga tak sempat untuk melakukan hal lain selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak.Sebenarnya, hari ini pun, dia hanya iseng ikut ibunya yang aktif sebagai ibu-ibu PKK di desa ini. Bujang menyuruhnya ikut saja, agar Keke tidak suntuk. Bujang dan ayahnya
Ucapan Kevin terngiang-ngiang di kepalanya, tentang teman-teman mereka yang sukses sebagai pekerja kantoran, tentang beberapa orang yang melanjutkan kembali study-nya ke jenjang yang lebih tinggi. Rasanya begitu menyenangkan saat membayangkan, karena dua tahun ini dia hanya bergelut dengan pekerjaan rumah tangga.Keke meraba perut besarnya, kemudian melihat Delia dan Delio yang asyik bermain berdua, lalu melirik Bujang yang tengah mengganti bajunya dengan baju khusus saat mengecat. Sudah lama sekali, jari-jarinya tak memegang pena, buku atau laptop. Tangan itu, lebih akrab dengan sapu, kain kotor, alat-alat dapur.Kehidupannya, terlalu jauh dari impiannya selama ini. Dulu dia bercita-cita, ingin bekerja di kantor, atau mengajar SMA, memiliki murid yang bisa diajak berteman itu pasti sangat menyenangkan. Dia sangat senang melihat wanita karir yang tampak modis dengan baju dinasnya, baginya wanita zaman sekarang itu bukannya di rumah mengurus anak. Putus cinta dengan Kevin dulu dan pu
"Tolong handuk, Ke," panggil Bujang dari kamar mandi, Keke meletakkan Delio di dekat saudarinya Delia. Kebiasaan Bujang, sering lupa membawa handuk ke kamar mandi. Delio merengek kecil saat ditinggal."Sebentar, ya, Nak!" bujuk Keke. Dia mengambil handuk bersih di jemuran.Sejenak keisengan Keke muncul, dia mendorong pintu kamar mandi yang tak terkunci. Bujang masih asik mengguyur tubuhnya yang sempurna."Woooww." Keke terkikik. Sedangkan Bujang yang menyadari kehadiran Keke hanya geleng-geleng kepala."Mengintip, Ke? Tanggung, masuk saja!""Kalau sengaja masuk, nggak wow lagi." Keke menyerahkan handuk itu pada Bujang."Kamu, ada-ada saja. Siapkan baju kemejaku, ya, Ke.""Abang mau ke mana?""Ada acara di kantor camat, penyambutan mahasiswa KKN." Bujang mengusap rambutnya dengan handuk, lalu melilitkan benda itu ke pinggulnya.Keke mengekor di belakang. "Ada mahasiswa KKN yang akan datang ke desa kita?""Iya,""Wah, itu kabar yang bagus.""Kenapa bagus?""Setidaknya akan ada program