Share

2. Merpati : YANG DIHAPUS

“Bangun! Bangun! Bangun!”

Suara Gina yang cempreng membangunkan Tami. Kakak perempuan satu-satunya itu kini sudah berada di dalam kamar dan membuka gorden dan jendela lebar-lebar, membiarkan udara pagi masuk. Ini merupakan rutinitas harian yang terpaksa Gina jalani sejak sang adik divonis depresi dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri. Lebih tepatnya, Gina lah yang tidak membiarkan Tami melakukan apapun sebab khawatir kalau adiknya itu akan melakukan hal-hak ekstrem lagi.

Sejak kematian Ben, sudah tiga kali Tami melakukan percobaan bunuh diri. Dan percobaannya yang terakhir benar-benar hampir menewaskannya. Kalau saja tidak ada yang menolong, mungkin Tami sudah akan tewas dengan tubuh tercerai berai akibat terjun dari lantai dua puluh di apartemennya.

Itulah kenapa Gina pindah ke apartemen Tami, meninggalkan keluarga kecilnya. Lagipula, Rio, suaminya sudah terbiasa mengurus balita. Anak-anak aman bersama ayahnya. Yang tidak aman justru perempuan dewasa berusia dua puluh delapan tahun di depannya ini.

“Cuci muka dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban, Gina masuk ke kamar mandi yang juga ada di dalam kamar, mengambil seember air lalu digunakannya untuk membersihkan wajah Tami. Sama sekali adiknya itu tidak merespon. Tatapan Tami sangat kosong, seolah nyawanya ikut hilang bersama kematian Ruben.

“Kamu nggak ingin mandi, Dik?”

Meskipun tahu kalau tak akan dapat jawaban, tetapi sesuai permintaan Dokter, Gina tetap berusaha mengajak Tami bicara. Meskipun akhirnya Gina lah yang mirip orang gila akibat ngomong sendiri.

“Tubuhmu sudah bau banget lho ini. Nggak akan cukup kalau cuma diseka. Harus mandi, pakai banyak air, sabun dan lulur. Kalau kamu mau, nanti biar Kakak bantuin.”

Sebagai seorang kakak, tentu Gina sangat menyesal atas apa yang menimpa adik sematawayangnya. Dia tidak percaya bahwa kehidupan Tami akan mengalami kejadian tragis seperti ini. Terlalu banyak impian yang Tami bangun bersama Ruben tentang masa depan dan semuanya kandas dalam semalam.

Gina tahu pasti betapa Tami dan Ruben saling mencintai. Keduanya bertemu di sekolah menengah. Di mana Tami merupakan anggota tim inti dari kelompok voli putri sementara Ruben yang setahun lebih tua menjabat sebagai ketua OSIS.

Gina sendiri tidak pernah menghalang-halangi hubungan Tami dengan siapapun termasuk ketika adiknya itu menyatakan perasaan pada sahabatnya. Malah, Gina bahagia karena dia tahu pasti sebaik apa Ruben.

Ialah pria yang sangat baik dan tampan, dekat dengan keluarga dan religius. Itulah kenapa Gina sama sekali tidak menyangka kalau Ruben akan mengambil jalan nekat.

“Sudah! Cantik adik aku!”

Setelah mengganti pakaian dan menyisir rambut Tami, barulah Gina bisa bernapas lega. Kini dia hanya harus membuat sarapan, membereskan rumah dan menunggu suaminya datang membawa anak-anak dari sekolah. Sebenarnya dia ingin mengajak kedua anaknya tinggal bersama hanya saja mereka harus berangkat ke sekolah yang jika ditempuh dari apartemen Tami maka jaraknya cukup jauh dan memakan lebih banyak waktu.

Tampaknya kota megapolish ini memang harus mencari solusi dari masalah kemacetan yang semakin hari kian menjadi atau lama-lama masyarakatnya akan menua dengan cepat.

“Menua dan kematian jelas berbeda. Menua artinya ada proses kehidupan di dalamnya tapi kematian tidak. Kita menua tapi belum mati, sementara kematian membuat kita menjadi tua lebih cepat. Tua semanat hidupnya hingga mati lebih dini,” itulah yang dikatakan suami Gina.

Nandreans

Terima kasih

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status