Share

4. Time II (Update)

“Nama Anda tidak ada di daftar tamu undangan. Maaf sekali, Nona.” Saat pelayan mengembalikan kartu yang kubawa, dia tampak menyesal.

“Hah? Bagaimana mungkin? Saya punya undangannya. Undangan ini asli dan diberikan langsung oleh Viviane. Mana mungkin namaku tidak ada? Kalian sudah gila! Periksa lagi.”

“Tidak bisakah kau bertindak sopan?” Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan cokelat muncul di belakangku. “Tidak bagus mempermalukan orang di depan umum. Hanya karena kau kaya dan terkenal, tidak seharusnya kau punya kuasa membentak orang lain.”

“Tunggu! Apa katamu?”

“Apakah kalian sudah menemukan namanya?” Pria aneh itu bertanya pada resepsionis.

Gadis itu menggeleng. “Tidak, Pak.”

“Bisakah kalian membiarkannya masuk? Aku mengenalnya.”

Mengenalku?

Aku bahkan tak tahu siapa dia. Hanya saja, wajahnya memang tampak tidak asing. Tapi bisa kujamin seratus persen bahwa aku tak mengenalinya.

“Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku saat kami berjalan melewati lorong panjang menuju tempat acara dilangsungkan. Suara musik terdengar dari kejauhan. “Kenapa kau bilang mengenalku?” lanjutku karena merasa tak didengarkan.

Pria itu menoleh dan menatapku. “Kau Tami, bukan?”

“Ya.”

“Viviane membicarakanmu sepanjang waktu.”

“Benarkah?”

“Haruskah aku mempertegasnya?”

“Lalu, siapa namamu?”

“Tidak penting siapa namaku. Yang jelas, ikuti saja aku. Viviane sedang menunggu kedatanganmu di kamarnya.”

Pria aneh. Apakah dia pikir bertindak macam ini keren? Apakah dia mendadak menjadi tokoh utama pria dalam film? Aku tahu bahwa pesta ini mengundang banyak orang dari industri perfilman tapi aku sama sekali tak pernah melihatnya.

Ah, apa yang aku pikirkan? Tentu saja dia bukan bagian dari mereka. Pria ini hanyalah seorang pengurus rumah, pelayan atau …, tunggu! Kenapa aku bilang hanya untuk sebuah pekerjaan? Tidakkah itu terlampau kasar?

Kami berhenti di depan pintu kamar yang berada di lantai dua. Sebelum masuk, dia mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Viviane, kamu sudah selesai?”

“Ya, masuk saja!”

Pria itu membuka pintu, dan sesuai dugaanku Viviane sedang berdandan di meja rias bersama seorang MUA terkenal. Nana Jaya. Aku tahu karena pernah melihatnya di beberapa acara. Banyak orang terkenal memakai jasanya.

“Ah, Tami?” kata Viviane tanpa menoleh. Dia pasti melihatku lewat pantulan cermin. “Aku sudah menunggumu dari tadi. Aku pikir kamu tidak akan datang.”

“Tentu saja aku datang,” jawabku. “Astaga, kamu cantik sekali!” Kali ini aku tidak berbohong, Viviane sungguh sangat cantik. Pipinya yang halus, lembut dan hidungnya yang mungil dirias sangat menawan. Nana Jaya memang pantai membuat orang cantik dengan riasan natural. “Kamu benar-benar akan jadipusat perhatian malam ini.”

Viviane tersenyum. “Aku pikir, ayahku lah pusat perhatiannya.”

“Kenapa kamu bicara begitu?” Pria itu masih ada di ambang pintu, ternyata. Dia kelihatan cemas sekarang. “Papamu melakukan semua itu karena dia menyayangimu.”

“Aku tahu, Juna! Dan, bisakah kamu pergi dulu? Aku ingin bicara sebagai sesama perempuan.”

Oh, namanya Juna? Arjuna?

Tapi, kuakui nama itu memang agak cocok. Wajahnya masih cukup pantas disematkan nama Arjuna.

“Apakah dia menyebalkan?”

Pertanyaaan Viviane membuatku bingung selama beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng. “Pelayanmu agak kasar tapi aku bisa memberinya toleransi.”

“Dia bukan pelayanku, omong-omong.” Viviane terkekeh.

“Sungguh? Lalu, siapa dia?”

“Calon kakak iparku.”

“Kakak ipar? Kupikir kamu anak tunggal.”

“Memang.”

Meskipun cukup sulit didekati, nyatanya saat telah berada di dalam lingkaran yang Viviane buat, kita bisa bebas menjelajah. Terlebih karena dia tak pernah dapat sosok ibu. Sama seperti aku yang tidak dibesarkan oleh ayahku. Bukankah ini impas?

Aku mungkin tampak jahat karena bicara soal impas pada gadis sebaik Viviane tapi aku sungguh tak akan merelakan siapapun mengusik hidupku. Dan mereka yang telah mengusikku, tak akan kubirkan lolos biarpun harus mengejar hingga tujuh turunan. Tidak sampai dendam orang tuaku terbalaskan.

Masih terekam jelas di dalam kepalaku saat sekelompok pria menikam ayahku di ruang tamu. Mereka menyeret tubuh ayah yang tak berdaya di depan umum, lalu melecehkan ibuku di tengah hujan. Tidak ada yang berani menolongnya. Atau lebih tepat disebut sebagai …, tidak ada yang mau membantu keluarga kami.

Ingatan itu mendesakku untuk dipulihkan.

Aku sempat menjalani perawatan setelah kejadian tersebut. Orang tua angkatku bilang, aku mengalami trauma tapi beruntung bisa pulih. Ya, aku memang sangat beruntung. Lebih beruntung dari siapapun.

“Vivi, apakah kau siap?”

Kami semua menoleh ke arah pintu saat Tio, ayah Viviane sudah berdiri di sana. Pria paruh baya itu tersenyum lembut dan merangkul sang anak. Sebuah pelukan yang dia renggut dariku dan ayahku. Dadaku nyeri.

“Bagaimana penampilanku, Ayah?”

“Kau sangat cantik, Nak.”

“Benarkah?”

“Kau lebih cantik dari siapapun.”

“Terima kasih. Oh iya, Ayah, ini sahabatku. Namanya Tami.”

Tio tampak terkejut saat mendengar namaku, tetapi kemudian menyalamiku dengan ramah. “Kau orang itu?”

“Benar, Pak.”

“Aku akan menunggumu dalam casting. Semoga kau bisa memberikan yang terbaik.”

*_*

Saat aku masih kecil dahulu, ayahku yang seorang penulis selalu meyakinkanku bahwa aku terlahir menjadi pemain film. Meskipun aku yang masih kecil tidak begitu suka, pada awalnya.

Bagaimanapun juga tak semua orang bisa berakting. Namun, aku tumbuh dengan akting. Apakah ayahku melihat ini? Bukankah aku hebat, Ayah? Tapi tampaknya Ayah salah, semua orang pandai berakting. Semua orang di ruangan ini bahkan berakting dengan citranya masing-masing. Palsu.

Nandreans

Terima kasih sudah membaca sejauh ini.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status