“Nama Anda tidak ada di daftar tamu undangan. Maaf sekali, Nona.” Saat pelayan mengembalikan kartu yang kubawa, dia tampak menyesal.
“Hah? Bagaimana mungkin? Saya punya undangannya. Undangan ini asli dan diberikan langsung oleh Viviane. Mana mungkin namaku tidak ada? Kalian sudah gila! Periksa lagi.”
“Tidak bisakah kau bertindak sopan?” Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan cokelat muncul di belakangku. “Tidak bagus mempermalukan orang di depan umum. Hanya karena kau kaya dan terkenal, tidak seharusnya kau punya kuasa membentak orang lain.”
“Tunggu! Apa katamu?”
“Apakah kalian sudah menemukan namanya?” Pria aneh itu bertanya pada resepsionis.
Gadis itu menggeleng. “Tidak, Pak.”
“Bisakah kalian membiarkannya masuk? Aku mengenalnya.”
Mengenalku?
Aku bahkan tak tahu siapa dia. Hanya saja, wajahnya memang tampak tidak asing. Tapi bisa kujamin seratus persen bahwa aku tak mengenalinya.
“Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku saat kami berjalan melewati lorong panjang menuju tempat acara dilangsungkan. Suara musik terdengar dari kejauhan. “Kenapa kau bilang mengenalku?” lanjutku karena merasa tak didengarkan.
Pria itu menoleh dan menatapku. “Kau Tami, bukan?”
“Ya.”
“Viviane membicarakanmu sepanjang waktu.”
“Benarkah?”
“Haruskah aku mempertegasnya?”
“Lalu, siapa namamu?”
“Tidak penting siapa namaku. Yang jelas, ikuti saja aku. Viviane sedang menunggu kedatanganmu di kamarnya.”
Pria aneh. Apakah dia pikir bertindak macam ini keren? Apakah dia mendadak menjadi tokoh utama pria dalam film? Aku tahu bahwa pesta ini mengundang banyak orang dari industri perfilman tapi aku sama sekali tak pernah melihatnya.
Ah, apa yang aku pikirkan? Tentu saja dia bukan bagian dari mereka. Pria ini hanyalah seorang pengurus rumah, pelayan atau …, tunggu! Kenapa aku bilang hanya untuk sebuah pekerjaan? Tidakkah itu terlampau kasar?
Kami berhenti di depan pintu kamar yang berada di lantai dua. Sebelum masuk, dia mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Viviane, kamu sudah selesai?”
“Ya, masuk saja!”
Pria itu membuka pintu, dan sesuai dugaanku Viviane sedang berdandan di meja rias bersama seorang MUA terkenal. Nana Jaya. Aku tahu karena pernah melihatnya di beberapa acara. Banyak orang terkenal memakai jasanya.
“Ah, Tami?” kata Viviane tanpa menoleh. Dia pasti melihatku lewat pantulan cermin. “Aku sudah menunggumu dari tadi. Aku pikir kamu tidak akan datang.”
“Tentu saja aku datang,” jawabku. “Astaga, kamu cantik sekali!” Kali ini aku tidak berbohong, Viviane sungguh sangat cantik. Pipinya yang halus, lembut dan hidungnya yang mungil dirias sangat menawan. Nana Jaya memang pantai membuat orang cantik dengan riasan natural. “Kamu benar-benar akan jadipusat perhatian malam ini.”
Viviane tersenyum. “Aku pikir, ayahku lah pusat perhatiannya.”
“Kenapa kamu bicara begitu?” Pria itu masih ada di ambang pintu, ternyata. Dia kelihatan cemas sekarang. “Papamu melakukan semua itu karena dia menyayangimu.”
“Aku tahu, Juna! Dan, bisakah kamu pergi dulu? Aku ingin bicara sebagai sesama perempuan.”
Oh, namanya Juna? Arjuna?
Tapi, kuakui nama itu memang agak cocok. Wajahnya masih cukup pantas disematkan nama Arjuna.
“Apakah dia menyebalkan?”
Pertanyaaan Viviane membuatku bingung selama beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng. “Pelayanmu agak kasar tapi aku bisa memberinya toleransi.”
“Dia bukan pelayanku, omong-omong.” Viviane terkekeh.
“Sungguh? Lalu, siapa dia?”
“Calon kakak iparku.”
“Kakak ipar? Kupikir kamu anak tunggal.”
“Memang.”
Meskipun cukup sulit didekati, nyatanya saat telah berada di dalam lingkaran yang Viviane buat, kita bisa bebas menjelajah. Terlebih karena dia tak pernah dapat sosok ibu. Sama seperti aku yang tidak dibesarkan oleh ayahku. Bukankah ini impas?
Aku mungkin tampak jahat karena bicara soal impas pada gadis sebaik Viviane tapi aku sungguh tak akan merelakan siapapun mengusik hidupku. Dan mereka yang telah mengusikku, tak akan kubirkan lolos biarpun harus mengejar hingga tujuh turunan. Tidak sampai dendam orang tuaku terbalaskan.
Masih terekam jelas di dalam kepalaku saat sekelompok pria menikam ayahku di ruang tamu. Mereka menyeret tubuh ayah yang tak berdaya di depan umum, lalu melecehkan ibuku di tengah hujan. Tidak ada yang berani menolongnya. Atau lebih tepat disebut sebagai …, tidak ada yang mau membantu keluarga kami.
Ingatan itu mendesakku untuk dipulihkan.
Aku sempat menjalani perawatan setelah kejadian tersebut. Orang tua angkatku bilang, aku mengalami trauma tapi beruntung bisa pulih. Ya, aku memang sangat beruntung. Lebih beruntung dari siapapun.
“Vivi, apakah kau siap?”
Kami semua menoleh ke arah pintu saat Tio, ayah Viviane sudah berdiri di sana. Pria paruh baya itu tersenyum lembut dan merangkul sang anak. Sebuah pelukan yang dia renggut dariku dan ayahku. Dadaku nyeri.
“Bagaimana penampilanku, Ayah?”
“Kau sangat cantik, Nak.”
“Benarkah?”
“Kau lebih cantik dari siapapun.”
“Terima kasih. Oh iya, Ayah, ini sahabatku. Namanya Tami.”
Tio tampak terkejut saat mendengar namaku, tetapi kemudian menyalamiku dengan ramah. “Kau orang itu?”
“Benar, Pak.”
“Aku akan menunggumu dalam casting. Semoga kau bisa memberikan yang terbaik.”
*_*
Saat aku masih kecil dahulu, ayahku yang seorang penulis selalu meyakinkanku bahwa aku terlahir menjadi pemain film. Meskipun aku yang masih kecil tidak begitu suka, pada awalnya.
Bagaimanapun juga tak semua orang bisa berakting. Namun, aku tumbuh dengan akting. Apakah ayahku melihat ini? Bukankah aku hebat, Ayah? Tapi tampaknya Ayah salah, semua orang pandai berakting. Semua orang di ruangan ini bahkan berakting dengan citranya masing-masing. Palsu.
Terima kasih sudah membaca sejauh ini.
Sementara acara berlangsung, aku memutuskan duduk di bangku hadirin sambil memakan potongaan buah segar yang disediakan. Menyaksikan keseruan Viviane dan keluarganya merayakan pesta. Gadis itu terlalu sempurna, dia punya fisik yang sangat cantik, talenta yang amat luar biasa dan orang-orang yang mencintainya. Sementara aku? Bahkan memimpikan ayahku di malam ulang tahun pun aku tak bisa. “Kenapa?” Aku kaget saat mendengar suara Angga. Ternyata, dia telah berdiri di depanku sambil membawa segelas alkohol di tangannya. “Kenapa kamu ke sini? Bagaimana kalau keluargamu melihat?” “Tidak akan ada yang curiga,” jawabnya. “Mereka sibuk pesta, sama seperti yang lain. Itulah kenapa aku ingin menemani yang tak berselera. Apakah ada masalah?” Aku membiarkannya duduk di bangku sebelahku. “Putramu tampan juga. Tak kusangka dia dan Viviane menjalin hubungan.” “Bukankah kamu tahu jika aku berencana membuatnya begitu sejak awal?” Angga tertawa. “Kamu harus mengenal putra sulungku.” “Untuk apa? Ka
“Apakah kamu benar-benar terlibat dalam pencucian uang?” “Eh?” “Sayang, tentu saja dia tidak melakukannya!” Angga menyela dan merangkul bahu Dina, sangat manja seolah dia kucing yang merindukan mainan. “Tami ini dijebak. Kamu kan tahu sendiri betapa gelapnya dunia industri. Aku yakin Broto yang brengsek itu hanya mencari aman.” “Broto pantas hancur. Dia sudah melawan kita!” Rio yang tua terbatuk sebentar, lalu melanjutkan, “Tami, kalau kau mau …, aku bisa membantumu melaporkan Broto ke polisi. Biar dia dipenjara untuk pelecehan seksual. Itu pasti merusak reputasinya.” “Aku sudah menyarankan Tami untuk itu sejak beberapa bulan lalu tapi dia takut.” Mulut manis Angga benar-benar putih, seolah tak ada racun di dalamnya. Dia penipu ulung. Aku tersenyum kecil. “Broto terlalu kuat, Pak.” “Dia tak ada apa-apanya dibanding kami!” kata Rio sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Pria mengerikan. Jadi, dia hendak menjadikanku pion? “Bisakah di pesta ini kita tidak membicarakan pekerjaan
Sebuah motor melaju dari arah berlawanan mendadak berhenti di depanku. Karena ketakutan, aku mundur beberapa langkah dan langsung mengeluarkan bubuk merica untuk jaga-jaga. “Siapa? Kenapa berhenti di sini?” Pria itu turun dari motornya dan langsung membuka helm. “Lo Tami, kan?” “Lo tahu nama gue?” “Ya!” jawab pria aneh itu sambil memuka helm yang menutupi wajahnya. “Oh, ternyata lo!” Aku menghela napas, tapi tetap waspada. Dengar! Dia pria yang tadi kutemui di pesta. Lebih tepatnya, Juna. “Bikin orang jantungan saja. Kenapa lo tiba-tiba menghadang gue?” “Gue nggak menghadang,” jawabnya. “Lo bisa nyasar kalau jalan sendirian di sini saat malam hari.” Yang benar saja? Aku tertawa. “Tenang saja, daya ingat gue cukup bagus.” “Lo tamu Vivi.” “Terus?” “Gue akan mengantar lo sampai di gerbang perumahan. Ini, pakai.” Juna menyodorkan helm yang sejak tadi ada di jok belakang motornya. Sepertinya dia selalu membawa helm ganda. “Ambil. Nggak usah takut. Lo bisa melaporkan gue ke polisi
Seperti yang biasanya terjadi, meskipun tidur dini hari tapi aku bangun lebih dulu dari pada Gina. Sebab gadis itu kalau sedang tidur seperti orang mati, lama dan tak akan bangun jika belum waktunya bangun. Jadi, percuma saja membangunkannya. “Mau langsung olahraga?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Mbok Yem yang sedang memasak di dapur. “Kalau Gina bangun, suruh nyusul saja. Aku di taman depan.” Mbok Yem mengangguk. “Jangan lupa bawa air minum, Mbak. Itu botolnya sudah saya siapkan.” “Terima kasih, Mbok!” ucapku sambil meraih botol air minum berwarna biru di atas meja makan. Lalu, segera keluar dari rumah. Dengan headset terpasang di kedua telinga, aku merenggangkan otot sebentar, pemanasan. Kemudian berlari menyusuri jalanan pagi di kompleks perumahan. Meskipun di tengah kota tetapi tempat ini lumayan juga. Banyak warga yang juga berolahraga hari ini. Maklum saja, ini adalah akhir pekan. Semua orang ingin bersantai di hari libur. Meskipun sebenarnya aku tak punya hari libur.
“Lo jadi ikut casting?” Gina sedang sarapan bersama Mbok Yem saat aku pulang. Aku mengambil gelas dan menuju kulkas. “Ini akan jadi awal yang bagus untuk karierku.” “Yang benar saja?” Gina hampir melempar sendok tapi diurungkan karena harus memasukkan potongan daging ke dalam mulut. “Gue rasa lo akan langsung dapat piala FFI. Penipu ulung. Jago drama.” Dia tertawa lebar. Namun, aku tak menanggapi. “Omong-omong, Mbak Tami mau casting film apa? Romantis? Aksi? Atau, apa? Tayang di televisi atau bioskop?” Mbok Yem bertanya. Aku mendekati meja makan dan duduk di sebelah wanita paruh baya itu. “Mbok, kalau menurutmu apakah aku cocok jadi pemain film drama?” “Jadi pemain utama?” Mbok Yem bertanya dengan serius. “Bukan! Jadi ibu tiri yang kejam,” sahut Gina. “Muka kayak Tami ini cocoknya peran jahat, Mbok. Kalau jadi tokoh utama, bisa-bisa nggak laku filmnya.” Mbok Yem menghela napas. “Tapi, memang Mbak Tami lagi digosipkan sama orang-orang. Pembantu kompleks sebelah, kapan lalu berte
“Semakin banyak serigala yang kamu punya, semakin kuat pula posisimu di alam liar.” Kalimat ini aku kutip dari sebuah buku karya penulis terkenal, Bulan Merah. Pertama kali aku membaca buku karya penulis misterius ini adalah saat menemani Gina memeriksakan giginya di klinik dokter gigi langganan kami. Bu Rinda, dokter gigi kami mengoleksi banyak buku dalam berbagai bahasa yang ditata rapi di ruang tunggu, untuk bisa dinikmati oleh para calon pasien. Dan sejak saat itu, aku menjadi penggemar berat Bulan Merah. Dalam bayanganku, Bulan Merah adalah seorang perempuan yang pemberani, kuat dan penuh hasrat. Dia selalu menggambarkan tokoh di mana seorang perempuan menjadi sentral bagi keberlangsungan cerita. Mulai dari seorang ibu yang menyelamatkan anaknya dari penculikan, seorang pedagang asongan yang menggagalkan penjualan organ anak-anak jalanan dan banyak cerita lainnya. Meskipun penggemar cerita misteri di Indonesia cukup jarang dan kurang laku, tapi buku Bulan Merah sangat terkenal.
Viviane menatapku dengan sangat kasihan, aku tidak suka ini tapi sebaiknya memang harus aku manfaatkan. “Kamu membenci orang tuamu, Tami?” “Hah? Apa?” “Karena mereka meninggalkanmu, apakah kamu membenci mereka?” Benci? Bagaimana mungkin aku bisa membenci ayah dan ibuku? Jika pertanyaaan ini diberikan kepadaku sebagai Tami, maka aku akan menjawabnya ‘ya’ tapi sebagai diriku yang lain, aku justru hidup untuk mereka. Orang tuaku rela hancur demi aku. Demi peran, aku menjawab, “Kadang.” “Kadang kamu benci mereka? Ya, itu wajar. Tidak seharusnya seorang anak ditelantarkan setelah ada. Kau tahu, teman bibiku memilih menggugurkan calon bayinya karena tak siap punya anak. Dulu aku pikir itu egois tapi sepertinya tidak. Itu pilihan. Pilihan paling bijak.” Pemikiran macam apa ini? Apakah dia gila? Dia memang sama gilanya dengan Tio. Mereka terlalu menyepelekan nyawa manusia lain. Aku muak dengan pembicaraan ini. “Anjas memintaku supaya punya banyak anak seperti keluarganya tapi aku meno
“Selamat datang!” Seorang wanita tua berambut putih sebahu menyambut kami di depan pintu. “Bagaimana perjalanan kalian?” “Baik, Nek!” Viviane mencium pipi kanan perempuan itu, lalu disusul oleh Anjas. “Bagaimana kesehatanmu, Nek?” “Seperti yang kalian lihat, aku sehat. Cepat masuk! Yang lain sudah menunggu.” “Oh iya, Nek, perkenalkan ini sahabatku!” Viviane merangkul bahuku. “Namanya Tami.” Si perempuan tua memperhatikanku selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar. “Aku Yuni, pengurus tempat ini. Selama kamu di sini, bersenang-senanglah tapi jangan sampai tergoda oleh para pria mesum di dalam. Percayalah, mereka berbahaya.” “Baik, Nek!” jawabku sambil tersenyum kecil. Berbahaya? Akulah pemilik bahaya sesungguhnya di sini. Sudah banyak korban tumbang sepanjang karierku sebagai predator. Tidak! Kata itu terlalu kasar, aku bukan predator tapi pekerja. Semua yang datang padaku cuma-cuma, tak ada paksaan. Malah, mereka membayarku. Mereka memberiku uang untuk bersenang-senang. Usia