Sementara acara berlangsung, aku memutuskan duduk di bangku hadirin sambil memakan potongaan buah segar yang disediakan. Menyaksikan keseruan Viviane dan keluarganya merayakan pesta.
Gadis itu terlalu sempurna, dia punya fisik yang sangat cantik, talenta yang amat luar biasa dan orang-orang yang mencintainya. Sementara aku? Bahkan memimpikan ayahku di malam ulang tahun pun aku tak bisa.
“Kenapa?”
Aku kaget saat mendengar suara Angga. Ternyata, dia telah berdiri di depanku sambil membawa segelas alkohol di tangannya. “Kenapa kamu ke sini? Bagaimana kalau keluargamu melihat?”
“Tidak akan ada yang curiga,” jawabnya. “Mereka sibuk pesta, sama seperti yang lain. Itulah kenapa aku ingin menemani yang tak berselera. Apakah ada masalah?”
Aku membiarkannya duduk di bangku sebelahku. “Putramu tampan juga. Tak kusangka dia dan Viviane menjalin hubungan.”
“Bukankah kamu tahu jika aku berencana membuatnya begitu sejak awal?” Angga tertawa. “Kamu harus mengenal putra sulungku.”
“Untuk apa? Kau mau mencarikan pacarmu …, tunggu! Kamu mau menjadikan kekasihmu sebagai menantu? Kamu gila, Angga!”
Angga tertawa kecil, membuat lesung di kedua pipinya makin jelas. “Dia calon pewaris utama.”
“Kamu memang gila, Angga.”
“Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Tetapi sayangnya, aku salah soal kamu.”
“Memangnya kamu berpikir aku bagaimana?”
Angga meneguk air dalam gelas bening yang dia bawa. “Ternyata kamu lebih mencintaiku dari yang kupikirkan selama ini. Jadi, bersabarlah. Bersabarlah sampai semuanya kita dapatkan.”
“Lebih dari dua puluh tahun aku menunggu dan kamu ragu kalau aku orang yang sabar? Kupikir, aku harus dapat anugerah manusia yang tersabar, setidaknya di ruangan ini.”
Angga mengangguk-anggukkan kepala. “Akan aku cetakkan piala besar untuk itu. Omong-omong, maukah kamu berkenalan dengan Dina?”
“Kamu sudah gila?”
“Berapa kali kamu bilang aku gila hari ini? Apakah belum puas?”
“Tidak sampai aku mengucapkannya seribu kali.”
*_*
Orang mungkin akan mengira bahwa yang kulakukan sebatas untuk mendapatkan uang dan popularitas –meskipun tidak sepenuhnya salah tetapi sebenarnya lebih dari itu –aku rela menukar masa muda yang berharga, menghancurkan masa depanku dan keluarga para pria hidung belang tak tahu malu yang menyatakan cinta padaku. Aku terlalu menghabiskan waktu, padahal secara fisik aku tak jelek-jelek amat, malah mungkin terlalu cantik. Kalau mau, aku bisa memilih pria muda lain untuk dijadikan pasangan, merencanakan pernikahan dan memulai keluarga bahagia seperti perempuan seusiaku.
Namun, hidup tidak sesederhana itu. Tidak banyak pria yang bisa mencapai kesuksesan matang di usia muda, lagipula tujuanku bukan sekadar uang. Harus kutegaskan ini, bahwa uang bukan prioritas utamaku. Ada terlalu banyak alasan yang tak bisa kujelaskan. Dan lagipula, pernikahan? Aku memang sempat memikirkan rencana semacam itu saat hubunganku dan Ruben sedang berada di puncak asmara tapi semakin ke sini aku makin yakin bahwa pernikahan tidak cocok untukku.
Pernikahan bukan untuk mereka yang diliput kegelapan.
“Jangan kurang ajar! Saya akan melaporkan Anda ke polisi!”
Lamunanku buyar saat mendengar suara perempuan di meja tak jauh dari tempatku berada. Perempuan yang kemudian kukenali sebagai Anjani Kisa, model majalah dewasa yang terkenal. Beberapa bulan terakhir aku tahu bahwa dia sedang mencoba dunia akting. Itulah kenapa ada Rio Sabar bersamanya.
Pria tujuh puluh tahun yang selalu dikawal oleh penjaga. Meskipun kelihatan renta tapi dia sangat berkuasa di industri, dan bagian buruknya dia adalah penjahat perempuan. Banyak selebritis yang telah dia lecehkan. Tapi, menurut Angga, karena kekuasaannya dan reputasi keluarga Sabar, Rio selalu berhasil lolos. Kekuatan uang.
“Akan saya pastikan Anda hancur, Pak!”
“Silakan saja. Siapa juga yang mau mendengarkan omonganmu. Kau bukan siapa-siapa tanpa aku.”
Karena jarak kami yang tak begitu jauh, aku bisa melihat Anjani yang terisak lalu menyambar tas jinjingnya, sebelum akhirnya pergi. Gadis itu sepertinya baru saja menjadi korban. Dan sayang sekali, kariernya yang baru dimulai akan hancur. Gadis yang malang. Padahal dia cukup punya bakat akting. Akan tetapi, juga paham betapa mengerikannya pria-pria di sana. Yang lebih banyak memandang perempuan sebagai barang, alih-alih manusia. Padahal mereka sendiri adalah binatang.
“Hai, kau!” Rio melambaikan tangan padaku. “Kemarilah!”
“Saya?” Aku menunjuk diriku sendiri, kaget.
Rio mengangguk. “Benar. Kau.”
Aku segera mendekat dan duduk di meja bekas Anjani. “Ada apa, Pak?”
“Kau cantik sekali. Siapa namamu?”
“Dia Tami.” Pria di sebelah Rio menjawab.
“Yang sedang jadi pembicaraan media itu?”
“Benar, Pak.”
Lalu, Rio menatapku. Tidak! Dia memperhatikan setiap bagian dari penampilanku. Mata itu menandakan hinaan tapi juga pujian. “Aku sudah dengar bahwa kau berencana masuk industri. Dan skandalmu meskipun cukup buruk tentu memiliki peluang menghasilkan uang yang sangat besar. Kau tahu itu, kan?”
“Ya, Pak!” jawabku. “Saya akan sangat senang jika bisa menjajal industri ini.”
Rio tertawa, lalu meminum anggur di gelas kecil yang dituang oleh pria di sampingnya. “Sayangnya, cantik saja tidak cukup.”
“Dia tidak sekadar cantik tetapi juga berbakat!”
Angga?
Mataku membulat saat dia kembali datang, kali ini bersama Dina. Istrinya sangat cantik meskipun tentu usianya sudah tua. Hanya saja, jika dibandingkan dia bahkan jauh lebih cantik ketimbang aku.
“Kamu mengenalnya, Mas?” Dina bertanya dengan heran.
Angga menggeserkan kursi supaya istrinya bisa duduk. Dia memang romantis. “Ya, Sayang. Dia pernah magang di kantor kita selama dua bulan saat masih kuliah dulu.”
“Benarkah?”
“Ya. Untuk apa aku bohong? Kau bisa mengecek datanya jika perlu.”
Dina yang kelihatan ragu menoleh padaku. Dia memperhatikanku dengan sangat detail, seolah bisa membaca kebusukan yang kusimpan. Ini membuatku tak nyaman.
“Apakah kamu benar-benar terlibat dalam pencucian uang?”
Terima kasih sudah membaca sejauh ini
“Apakah kamu benar-benar terlibat dalam pencucian uang?” “Eh?” “Sayang, tentu saja dia tidak melakukannya!” Angga menyela dan merangkul bahu Dina, sangat manja seolah dia kucing yang merindukan mainan. “Tami ini dijebak. Kamu kan tahu sendiri betapa gelapnya dunia industri. Aku yakin Broto yang brengsek itu hanya mencari aman.” “Broto pantas hancur. Dia sudah melawan kita!” Rio yang tua terbatuk sebentar, lalu melanjutkan, “Tami, kalau kau mau …, aku bisa membantumu melaporkan Broto ke polisi. Biar dia dipenjara untuk pelecehan seksual. Itu pasti merusak reputasinya.” “Aku sudah menyarankan Tami untuk itu sejak beberapa bulan lalu tapi dia takut.” Mulut manis Angga benar-benar putih, seolah tak ada racun di dalamnya. Dia penipu ulung. Aku tersenyum kecil. “Broto terlalu kuat, Pak.” “Dia tak ada apa-apanya dibanding kami!” kata Rio sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Pria mengerikan. Jadi, dia hendak menjadikanku pion? “Bisakah di pesta ini kita tidak membicarakan pekerjaan
Sebuah motor melaju dari arah berlawanan mendadak berhenti di depanku. Karena ketakutan, aku mundur beberapa langkah dan langsung mengeluarkan bubuk merica untuk jaga-jaga. “Siapa? Kenapa berhenti di sini?” Pria itu turun dari motornya dan langsung membuka helm. “Lo Tami, kan?” “Lo tahu nama gue?” “Ya!” jawab pria aneh itu sambil memuka helm yang menutupi wajahnya. “Oh, ternyata lo!” Aku menghela napas, tapi tetap waspada. Dengar! Dia pria yang tadi kutemui di pesta. Lebih tepatnya, Juna. “Bikin orang jantungan saja. Kenapa lo tiba-tiba menghadang gue?” “Gue nggak menghadang,” jawabnya. “Lo bisa nyasar kalau jalan sendirian di sini saat malam hari.” Yang benar saja? Aku tertawa. “Tenang saja, daya ingat gue cukup bagus.” “Lo tamu Vivi.” “Terus?” “Gue akan mengantar lo sampai di gerbang perumahan. Ini, pakai.” Juna menyodorkan helm yang sejak tadi ada di jok belakang motornya. Sepertinya dia selalu membawa helm ganda. “Ambil. Nggak usah takut. Lo bisa melaporkan gue ke polisi
Seperti yang biasanya terjadi, meskipun tidur dini hari tapi aku bangun lebih dulu dari pada Gina. Sebab gadis itu kalau sedang tidur seperti orang mati, lama dan tak akan bangun jika belum waktunya bangun. Jadi, percuma saja membangunkannya. “Mau langsung olahraga?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Mbok Yem yang sedang memasak di dapur. “Kalau Gina bangun, suruh nyusul saja. Aku di taman depan.” Mbok Yem mengangguk. “Jangan lupa bawa air minum, Mbak. Itu botolnya sudah saya siapkan.” “Terima kasih, Mbok!” ucapku sambil meraih botol air minum berwarna biru di atas meja makan. Lalu, segera keluar dari rumah. Dengan headset terpasang di kedua telinga, aku merenggangkan otot sebentar, pemanasan. Kemudian berlari menyusuri jalanan pagi di kompleks perumahan. Meskipun di tengah kota tetapi tempat ini lumayan juga. Banyak warga yang juga berolahraga hari ini. Maklum saja, ini adalah akhir pekan. Semua orang ingin bersantai di hari libur. Meskipun sebenarnya aku tak punya hari libur.
“Lo jadi ikut casting?” Gina sedang sarapan bersama Mbok Yem saat aku pulang. Aku mengambil gelas dan menuju kulkas. “Ini akan jadi awal yang bagus untuk karierku.” “Yang benar saja?” Gina hampir melempar sendok tapi diurungkan karena harus memasukkan potongan daging ke dalam mulut. “Gue rasa lo akan langsung dapat piala FFI. Penipu ulung. Jago drama.” Dia tertawa lebar. Namun, aku tak menanggapi. “Omong-omong, Mbak Tami mau casting film apa? Romantis? Aksi? Atau, apa? Tayang di televisi atau bioskop?” Mbok Yem bertanya. Aku mendekati meja makan dan duduk di sebelah wanita paruh baya itu. “Mbok, kalau menurutmu apakah aku cocok jadi pemain film drama?” “Jadi pemain utama?” Mbok Yem bertanya dengan serius. “Bukan! Jadi ibu tiri yang kejam,” sahut Gina. “Muka kayak Tami ini cocoknya peran jahat, Mbok. Kalau jadi tokoh utama, bisa-bisa nggak laku filmnya.” Mbok Yem menghela napas. “Tapi, memang Mbak Tami lagi digosipkan sama orang-orang. Pembantu kompleks sebelah, kapan lalu berte
“Semakin banyak serigala yang kamu punya, semakin kuat pula posisimu di alam liar.” Kalimat ini aku kutip dari sebuah buku karya penulis terkenal, Bulan Merah. Pertama kali aku membaca buku karya penulis misterius ini adalah saat menemani Gina memeriksakan giginya di klinik dokter gigi langganan kami. Bu Rinda, dokter gigi kami mengoleksi banyak buku dalam berbagai bahasa yang ditata rapi di ruang tunggu, untuk bisa dinikmati oleh para calon pasien. Dan sejak saat itu, aku menjadi penggemar berat Bulan Merah. Dalam bayanganku, Bulan Merah adalah seorang perempuan yang pemberani, kuat dan penuh hasrat. Dia selalu menggambarkan tokoh di mana seorang perempuan menjadi sentral bagi keberlangsungan cerita. Mulai dari seorang ibu yang menyelamatkan anaknya dari penculikan, seorang pedagang asongan yang menggagalkan penjualan organ anak-anak jalanan dan banyak cerita lainnya. Meskipun penggemar cerita misteri di Indonesia cukup jarang dan kurang laku, tapi buku Bulan Merah sangat terkenal.
Viviane menatapku dengan sangat kasihan, aku tidak suka ini tapi sebaiknya memang harus aku manfaatkan. “Kamu membenci orang tuamu, Tami?” “Hah? Apa?” “Karena mereka meninggalkanmu, apakah kamu membenci mereka?” Benci? Bagaimana mungkin aku bisa membenci ayah dan ibuku? Jika pertanyaaan ini diberikan kepadaku sebagai Tami, maka aku akan menjawabnya ‘ya’ tapi sebagai diriku yang lain, aku justru hidup untuk mereka. Orang tuaku rela hancur demi aku. Demi peran, aku menjawab, “Kadang.” “Kadang kamu benci mereka? Ya, itu wajar. Tidak seharusnya seorang anak ditelantarkan setelah ada. Kau tahu, teman bibiku memilih menggugurkan calon bayinya karena tak siap punya anak. Dulu aku pikir itu egois tapi sepertinya tidak. Itu pilihan. Pilihan paling bijak.” Pemikiran macam apa ini? Apakah dia gila? Dia memang sama gilanya dengan Tio. Mereka terlalu menyepelekan nyawa manusia lain. Aku muak dengan pembicaraan ini. “Anjas memintaku supaya punya banyak anak seperti keluarganya tapi aku meno
“Selamat datang!” Seorang wanita tua berambut putih sebahu menyambut kami di depan pintu. “Bagaimana perjalanan kalian?” “Baik, Nek!” Viviane mencium pipi kanan perempuan itu, lalu disusul oleh Anjas. “Bagaimana kesehatanmu, Nek?” “Seperti yang kalian lihat, aku sehat. Cepat masuk! Yang lain sudah menunggu.” “Oh iya, Nek, perkenalkan ini sahabatku!” Viviane merangkul bahuku. “Namanya Tami.” Si perempuan tua memperhatikanku selama beberapa detik, lalu tersenyum lebar. “Aku Yuni, pengurus tempat ini. Selama kamu di sini, bersenang-senanglah tapi jangan sampai tergoda oleh para pria mesum di dalam. Percayalah, mereka berbahaya.” “Baik, Nek!” jawabku sambil tersenyum kecil. Berbahaya? Akulah pemilik bahaya sesungguhnya di sini. Sudah banyak korban tumbang sepanjang karierku sebagai predator. Tidak! Kata itu terlalu kasar, aku bukan predator tapi pekerja. Semua yang datang padaku cuma-cuma, tak ada paksaan. Malah, mereka membayarku. Mereka memberiku uang untuk bersenang-senang. Usia
Tanpa menunggu jawaban, Viviane menerobos kamar dan mulai mengobrak-abrik isi lemari yang ternyata sangat-sangat banyak. Baju-baju itu memang sudah agak kekecilan untuk Viviane tapi pas di badanku. Hanya saja, bukan tipekal pakaian yang aku suka. Terlalu banyak pakaian kenakak-kanakan, warnanya terlalu terang dengan motif bunga dan binatang. “Bagaimana kalau yang ini saja?” Seperti dugaanku, Viviane memilihkan kaos pendek di atas pusar dengan gambar beruang dan celana jins di atas lutut. “Astaga, kamu mau aku pakai ini?” Dia mengangguk yakin. “Kenapa? Tidak usah cemas, kita semua juga pakai baju santai. Sore ini, kita hanya akan bersantai dan berenang.” “Berenang? Selarut ini?” “Kenapa, tidak?” jawabnya. “Ya sudah, cepat pakai baju ini. Aku akan turun duluan dan membantu yang lain menyiapkan makanan.” Yang benar saja? Aku mengangkat baju yang dipilihkan oleh Viviane lalu menelan ludah kasar. Pakaian ini sangat tidak sopan, meskipun sebenarnya aku juga sering mengenakan pakaian