"Alvin, Alvin kenapa? Ya ampun hidungnya juga mimisan.""Ayo ayo diperiksa ke dokter Khalid saja," kata Dokter Fauzan cepat."Sudah diperiksa tapi saya dapat surat rujukan ke rumah samit Dok, jadi saya harus bawa dia ke rumah sakit sekarang juga." Sebisanya kugandeng Alvin bangkit dari kursi."Biar saya bantu." Sigap Dokter Fauzan mengambil tugasku dan membawa Alvin ke depan."Naik motor?"Aku mengangguk sambil buru-buru memakai helmku."Tidak tidak, lebih baik naik mobil saya saja," kata Dokter Fauzan lagi, buru-buru ia gandeng Alvin ke dekat mobilnya."Tapi Dok, tidak usah, kami naik motor saja.""Ini bahaya Bu, mari saya antar mumpung saya sedang jam istirahat," katanya memaksa.Akhirnya karena darurat, aku tak banyak membantah lagi. Cepat kulepas helm yang sudah menempel di kepalaku lalu bergegas masuk ke dalam mobil Dokter Fauzan.-"Terimakasih Dok, sudah memberi kami tumpangan untuk kami.""Tenang saja Bu, tadi saya khawatir jika kalian naik motor takutnya malah terjadi apa-ap
Wajah Niami makin meruncing, dadanya naik turun tak beraturan."Kamu siapa berani mengaturku di sini, hah? Ini rumahku, rumah yang dibangun bersama Mas Nata, meski sekarang ia sudah menjadi mantan suamiku tapi aku masih berhak atas rumah ini, kamu tidak perlu macam-macam atau mengaturku seperti ini jika kamu masih ingin tinggal di sini!" semburnya kemudian. Niami bertelunjuk jari tepat di depan hidungku.Napasku mulai tersengal, tapi aku tak takut sedikitpun dengan wanita tinggi putih ini, aku tahu aku tindakanku ini memang sudah benar."Ada apa ini ribut-ribut?" Kami menoleh saat Mas Nata keluar dari kamar.Keningku spontan mengerut, tumben siang-siang begini Mas Nata ada di rumah? "Mas, tolong ajari istrimu ini agar dia bersikap sopan padaku, berani sekali dia atur-atur hidupku, dia pikir dia siapa? Jangan mentang-mentang dia udah jadi istrimu lalu dia merasa punya hak sepenuhnya atas rumah ini, ingat ya Mas, rumah ini adalah rumahku juga dan aku berhak melakukan apapun di sini!"
"Sepertinya saya sudah harus kembali ke klinik, kalau begitu saya permisi ya Bu Elia," pamit Dokter Fauzan kemudian. Aku mengangguk, syukurlah Dokter Fauzan buru-buru pamit, kalau enggak, bisa-bisa dia lihat lagi si pria dingin itu marah-marah di sini. Setelah Dokter Fauzan pergi aku duduk sebentar di sofa, kuregangkan otot-ototku yang lelah, dari pagi sampai detik ini tak terasa ternyata aku belum istirahat barang sebentar pun.Huhhhffhhh. Banyak sekali drama yang harus kulalui hari ini, ditambah cuacanya juga panas sekali, tentu bukan hal yang mudah bagi orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.Blaak. Mas Nata datang lagi, ia membuka pintu dengan kencang. Aku refleks bangkit."Mas, bisa tidak kamu buka itu pintu pelan-pelan aja? Kenapa sih suka sekali membuat rusuh?" protesku."Mulai sekarang kamu tidak boleh lagi bertemu dengan kekasihmu, lebih-lebih saat di dekat anak-anakku, kamu denger ya? Jangan mentang-mentang Alvin sekarang sedang tidak sadarkan diri, jadi kamu bisa seen
Mas Nata kembali, kulihat ia datang membawa dua box pizza di tangannya. Tapi aku memilih diam saja, malas sekali kalau aku harus bicara padanya, buang-buang energi.Selesai memotong buah dan memakannya beberapa potong, aku juga membawanya ke dekat Alvin."Alvin, mau Tante suapin buah?"Alvin memasang wajah ketus, tapi karena ada papanya dia tak berani macam-macam atau menolakku lagi. Dia terima suapan buah dariku meski dengan wajah dan kunyahan amat malas."Itu pizza buat kamu, makan saja dulu, biarkan Alvin," kata Mas Nata kemudian.Kuhiraukan saja dia dan melanjutkan pekerjaanku."Makan." Terkejut bukan main saat tiba-tiba Mas Nata sudah berdiri di samping sambil menyodorkan sepotong pizza ke dekat mulutku."Ayo makan, cepat," paksanya."Tidak usah, aku sudah makan buah," tolakku kecut."Makan tidak?" paksanya lagi.Dadaku kembali kembang kempis, kesal, akhirnya kubuka juga mulutku ini dan melahap pizza dari tangannya dengan perasaan tak karuan.Gondok sekali, antara kesal dan ingi
Aku berhenti menguyah sebentar."Memangnya kenapa? Perutku ini yang merasakan, lagipula selama ini tidak pernah tuh ada orang yang overdosis karena kebanyakan makan gorengan setiap hari," ketusku."Tapi lemaknya akan tertimbun dalam perutmu menjadi tumpukan penyakit, kamu mau saat kamu tua nanti kamu jadi sakit-sakitan? Diabetes, gula dan lainnya."Aku menjebik, dasar pria angkuh dan tukang ngatur. Rese sekali emang dia tuh."Ya sudah biarkan saja, aku ini yang akan sakit bukan kamu," balasku ketus."Ya tapi kalau nanti kamu sakit siapa yang akan jagain ak ...." Mas Nata tak melanjutkan ucapannya."Apa?" "Ah sudahlah lupakan," tandasnya seraya mengibas tangan lalu bangkit dari kursi.Aku menjebik dan lanjut makan gorengan."Buruan makannya, kamu belum salat Isya 'kan?" ucapnya lagi.Alisku menaut, gak salah ini orang nanya begini? "Aku nanya, kamu belum salat Isya atau sudah?" tanyanya lagi."Belum," ketusku."Habis ini berjamaah, percepat makan gorengannya.""Hm," balasku pendek sa
Kreeet.Aku terbangun saat mendengar suara Mas Nata datang. Setelah mengucek mata kutengok jam dinding menunjukan pukul 11 siang."Dari mana, Mas?" tanyaku kemudian."Tuh pakai," katanya sambil melempar papper bag berwarna coklat ke atas sofa. Keningku mengerut, dan cepat bangkit mengambil papper bag itu."Jilbab, Mas? Buat aku?" tanyaku lagi setelah aku membuka papper bag itu."Hmmm."Aku bergeming, mendadak benakku juga menerka, entah dalam rangka apa tiba-tiba si pria angkuh itu membelikanku jilbab? "Mulai sekarang kamu harus pakai jilbab dan pakai baju panjang," katanya lagi. Alisku menaut."Kenapa? tidak suka?" "Tidak," ketusku."Punya baju panjang, 'kan?" Mas Nata bertanya lagi."Punyalah, banyak dari Niami," jawabku seadanya.Mas Nata melirik tak suka."Mulai besok jangan pernah lagi pakai baju atau apapun bekas wanita itu," tegasnya."Loh memangnya kenapa, Mas? Daripada aku harus beli 'kan sayang uangnya, lagipula baju-baju dari Niami itu juga masih bagus-bagus dan layak p
"Sudah berapakali aku tegaskan, dia itu bukan kekasihku, bukan Mas bukan, dia itu dokter yang membantuku selama ini," imbuhku lagi. Aku benar-benar makin geram saja sekarang, pasalnya omongan Mas Nata itu makin hari makin ngaco. Dan tuduhannya itu benar-benar tak bisa kuterima.Enak saja dia mengira aku punya kekasih, dia pikir aku wanita apa?"Ya ya terserah kau saja," balasnya sambil bangkit lalu kembali membanting bobot ke atas kasur.Dasar pria keras kepala, daripada kepalaku lama-lama pecah, aku memilih pergi saja ke kamar Ayyara."Yaraaa." Aku celingukan memindai setiap sudut kamar gadis yang sepertinya kosong itu. Entah kemana Ayyara pergi, atau apa mungkin dia sekolah? Ya Tuhan, padahal dokter sudah bilang dia harus bed rest.Brukk. Sesuatu terjatuh saat aku tak sengaja menyenggol plastik kecil, cepat kupungut, ternyata obat-obat yang diceritakan Dokter Fauzan.Aku mengulum senyum, syukurlah ternyata Ayyara sudah benar-benar mengurungkan niatnya untuknya menggugurkan kandun
"ah sudahlah," tandasnya lalu pergi ke kamar mandi.Aku meremas wajah lalu membanting bobot ke atas kasur, kesal, marah, malu dan bingung jadi satu. Gara-gara alat kontrasepsi ini harga diriku sekarang jatuh. Bukan hanya ibu mertua yang kini berpikir jauh, si pria dingin itu juga pasti mengira aku mau menghabiskan malam dengannya sebagai pasangan suami istri, padahal tidak, itu sama sekali tidak benar, jangankan menghabiskan malam bersama, satu kasur pun aku tak sudi."Gara-gara kamu aku jadi malu," hadrikku pada barang itu.Saking kesalnya kulemparkan barang itu ke lantai, biarlah, aku sudah tidak peduli lagi pada barang pembawa sial itu, gara-gara barang terkutuk itu aku jadi malu sampai ke ubun-ubun."Aaaaa Ibuuuu."***Esok hari setelah subuh dan melakukan ritual bersih-bersih aku membuka papper bag yang masih berserakan di atas kasur.Kemarin aku belum sempat membereskannya karena terlanjur kesal dengan insiden salah paham memalukan itu."Isssshh, masih di sana kau rupanya ya?"