Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi.
"Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang."Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua.Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku lagi.Ibu mertua menggeleng pelan, "dia itu terlalu sibuk, sekalinya anak-anak merengek Nata akan marah sama anak-anak, ya yang seperti kamu lihat sendiri, El," jawab beliau lesu."Mamanya anak-anak 'kan sering ke sini, Bu," ucapku lagi, sebetulnya aku masih penasaran kalau Niami datang ke sini, apa yang dia lakukan di rumah ini?"Halah malas Ibu bicarakan dia, baru jadi model majalah aja udah banyak banget dia tuh gayanya, jangankan urus anak-anak, Niami itu ke sini cuma mau ikut tidur doang, katanya sih di rumahnya itu sepi karena hanya tinggal sendirian, tapi meski datang kesini Niami tak pernah pedulikan anak-anak, paling hanya ngasih anak-anak hadiah, setelah itu ya udah Niami akan kembali sibuk dengan urusannya sendiri," desah Ibu mertua kesal.Aku hanya manggut-manggut sambil menatapi Adira yang mulai terlelap di tempatnya."Kamu mau bawa Adira ke dokter tapi tanganmu sendiri sakit, El." Ibu mertua bicara lagi."Tidak apa-apa Bu, hanya tinggal sakit sedikit saja."***Esok bari.Setelah matahari mulai naik, Ayyara dan Alvin juga sudah berangkat sekolah, aku segera membawa Adira pergi naik taksi online. Aku harap kami dapat antrian pertama karena aku juga harus menemui tukang urut sebelum tanganku lebih bengkak dari ini.Tapi sebelum pergi ke rumah sakit, sengaja aku mampir dulu ke sekolah Adira karena tadi pagi aku lupa tidak menitipkan surat izin sakit saat Alvin berangkat."Maaf Bu, saya mau memberikan surat izin ini supaya Adira diperkenankan istirahat 2 sampai 3 hari ke depan atau sampai dia sembuh sana." Aku memberikan selembar surat yang telah aku masukan ke dalam amplop.Kepala sekolah Adira yang bernama Bu Nurma segera membaca dan menyetujuinya."Semoga anak-anaknya cepat sembuh ya, Bu," ucap Bu Nurma seraya memberikanku senyuman ramah.Aku sudah bangkit dan hendak menuntun Adira dari kursi itu setelah aku pamit, tapi aku kembali duduk saat aku menyadari ada perkataan Bu Nurma yang janggal kudengar."Apa tadi Ibu bilang? Anak-anak?" tanyaku."Iya, Alvin dan Adira sakit bersamaan, bukan?" Bu Nurma balik bertanya. Aku terhenyak mendengar ucapannya."Tapi saya hanya minta izin untuk Adira saja, Bu."Bu Nurma mengerutkan keningnya, memeriksa kembali beberapa surat dari laci mejanya."Ini bukannya surat dan tanda tangan wali murid Alvin ya?" Bu Nurma memperlihatkanku selembar kertas berisi pernyataan mohon izin sakit lengkap dengan tanda tangan wali murid di bawahnya, entah tanda tangan siapa.Hatiku mulai tak tenang, jelas aku lihat tadi pagi Alvin berangkat bersama kakaknya Ayyara. Kemana anak itu sekarang? Masih SD sudah berani berbohong dan membolos seperti ini."Sudah seminggu lebih Alvin izin sakit, dan sudah sekitar 2 bulan ini nilainya juga menurun, anak itu jarang kembali ke kelas setelah jam istirahat," ujar Bu Nurma lagi."Apa Ibu sudah membicarakan hal ini dengan papanya Alvin? Atau pihak keluarganya? Kebetulan saya orang baru, jadi saya baru mengetahui hal ini sekarang," cecarku serius."Sudah, sudah saya coba berkali-kali memanggil pihak keluarga Alvin ke sekolah lewat surat yang saya berikan sendiri pada Alvin, tapi pihak keluarganya tak pernah ada yang datang, karena itu rencananya saya ada niat berkunjung ke rumah Alvin saat tugas saya sudah sedikit longgar."Aku menarik napas dalam, sering dipanggil ke sekolah tapi dari anggota keluarga tak ada yang mau datang ke sekolah? Apa sebegitu sibuknya Mas Nata dan Niami itu? Kalau ibu mertua aku tahu, beliau gak mungkin memenuhi panggilan kepala sekolah, tapi Mas Nata dan Niami, sesibuk-sibuknya mereka, setidaknya mereka bisa menyuruh bibik atau siapapun untuk mewakilkan mereka.Keterlaluan memang mereka itu, lalai sekali jadi orang tua, apa mereka itu bener-bener tidak peduli pada anak-anak mereka? Pantas saja kata Bu Nurma Alvin izin sakit sudah sekitar satu minggu, anak itu pasti bohong karena dia merasa tidak akan ada yang memgetahui kelakuannya itu."Oh ya sudah kalau begitu, saya permisi ya Bu, hal ini biar saya kabarkan langsung pada keluarga Alvin," ucapku kemudian.Bu Nurma mengangguk dan aku bergegas pergi keluar membawa Adira.---Selesai dari sekolah Alvin, aku buru-buru membawa Adira ke dokter gigi, tapi karena ini sudah siang aku mengurungkan niatku membawanya ke dokter gigi yang ada di rumah sakit, aku tahu jam segini pasti antriannya sudah panjang, sedangkan tukang urut juga pasti sudah menugguku di rumah, jadilah untuk hari ini aku hanya membawa Adira ke klinik yang tak jauh dari sekolahnya saja.Untunglah di klinik yang kudatangi itu fasilitasnya juga tak kalah dari rumah sakit, banyak dokter rumah sakit yang juga praktek di sana, ada sekitar 7 poli dokter praktek di klinik ini yang salah satunya adalah poli gigi.Aku mendaftar dan menyelesaikan adminsitrasi lalu menunggu di kursi yang sudah di sediakan cukup jauh dari ruang poli gigi. Untunglah hari ini klinik juga tidak ramai pengunjung jadilah aku bisa cepat-cepat kembali ke rumah setelah Adira selesai diperiksa oleh dokter."Adira."Seorang suster memanggil nama Adira, aku segera bangkit hendak mengantar Adira masuk ke dalam poli gigi.Dari tempatku menunggu antrian aku melewati satu pintu poli lainnya yang ada di klinik itu. Tapi langkahku tiba-tiba mati ketika sekilas aku melihat Ayyara ada di dalam ruangan poli yang kulewati."Ayyara? Itu bener Ayyara 'kan?" gumamku sendiri.Aku meneliti dengan baik sekali lagi lewat kaca pintu ruangan itu, ternyata memang benar Ayyara ada di dalam sana, ia masih memakai seragam SMA lengkap seperti yang ia pakai tadi pagi. Meski aku hanya melihatnya dari samping tapi aku tahu itu benar-benar Ayyara, gadis itu tampak sedang membicarakan sesuatu yang serius dengan seorang dokter di ruangan itu."Ayo Tante." Adira menarik tanganku, aku mengerjap dan buru-buru masuk ke dalam ruang poli gigi."Wah ini giginya bolong, sepertinya lebih baik dicabut saja karena kalau ditambal sudah parah," kata Dokter Herman."Gimana baiknya saja, Dok," responku sekenanya.Niat hati mau periksakan kondisi gigi Adira ke sini tapi saat melihat Ayyara tadi pikiranku jadi bercabang,Parahnya sekarang aku lebih banyak memikirkan Ayyara. Sebenarnya sedang apa gadis itu di klinik ini? Apa dia juga sakit? Sakit apa?Ya ampun. Aku menepuk kenging saat kusadari ternyata tadi aku belum sempat melihat di poli apa Ayyara sedang bicara dengan dokter itu."Biar nanti kupastikan Ayyara sedang periksa di poli apa saat nanti Adira selesai dicabut gigi," gumamku dalam hati.-Akhirnya dokter Herman selesai mencabut gigi Adira, untunglah anak itu tak banyak drama, jadi prosesnya cepat, aku sudah tak sabar ingin melihat Ayyara di ruangan itu."Terimakasih Dok, saya permisi."Cepat kupegang pergelangan tangan Adira dan buru-buru keluar, aku ingin segera melihat ruangan di mana tadi Ayyara sedang bicara dengan seorang dokter.Aku terkejut saat mendengar obrolan mereka berubah jadi pertikaian. Dengan gerakan refleks aku pun mendorong pintu kamar itu sampai terbuka lebar. "Hanaa!" Aku teriak spontan saat kulihat wanita itu tengah berusaha mencekik Ayyara.Wanita itu melonjak kaget, dia menatapku dengan wajah pucat pasi. Sementara Ayyara yang tadi sedang dicekiknya cepat menjauhkan diri, gadis itu berlari ke arahku."Apa yang kau lakukan, hah? Kenapa kau mencekik anakku?""Ny-Nyonya, tadi ... tadi itu ... tadi ...." Hana panik, mulutnya bahkan mendadak kelu."Ma, tolong Yara Ma, dia berusaha melenyapkan Yara," kata Ayyara di belakangku.Dapat kurasakan tubuhnya yang gemetar dan napas yang menderu hebat, Ayyara benar-benar ketakutan rupanya."Ti-tidak Nyonya, itu tidak benar, saya hanya sedang bercanda, tadi Non Yara kesulitan minum obat jadi saya ...," tampik wanita itu cepat."Jadi saya apa? Apa perlu kau cekik anakku juga, hah?!""Ti-tidak. Anu ... itu ... anu." Hana mendekat.Braak. Prengg."Aaaw!"Hana
"Itulah aku tidak tahu Mas, makanya kakiku masih lemas saat aku dengar penjelasan dokter itu, aku benar-benar shock, pasalnya bagaimana bisa?"Rahang Mas Nata mengerat, sementara tangannya juga mengepal hebat sampai menampakan urat-urat kehijauannya."Kalau begitu ayo, ayo kita tanya gadis itu, apa alasan dia melakukan ini, dan dari mana dia dapatkan barang terlarang itu." Mas Nata menarik lenganku kuat-kuat. Tanpa melihat wajahnya pun, aku sudah dapat menyimpulkan, betapa ia sedang marah besar sekarang.Aku dibawa jalan terburu-buru, saking buru-burunya aku sampai merasa sedang diseret-seret oleh Mas Nata, gawat, pria ini pasti akan murka semurka murkanya, tapi aku juga tidak bisa mencegah, walau bagaimanapun Ayyara perlu diperingatkan dengan tegas agar gadis itu tidak berulah lagi.Kreet. Bruk.Mas Nata langsung melempar kursi roda yang diletakan di dekat pintu saat kami masuk. Ayyara sampai melonjak kaget, ia terbangun dari tidurnya."Papa, ada apa?" "Ada apa katamu? Bagus sekali
Pulang dari mall, sengaja kubawakan Ayyara kentang goreng kesukaannya itu. Walau aku tahu dia pasti menolak, tapi tak ada salahnya mencoba 'kan? Lagipula aku ikhlas membawakannya makanan, bukan agar dia menerimaku lagi, tapi karena aku memang sedang ingat dia saja, rasanya sayang jika aku pergi ke tempat makan yang biasa kami kunjungi tapi aku tak beli apa-apa untuk Ayyara.Sampai di rumah aku langsung pergi ke kamar gadis itu. Masih pukul 10, aku harap dia belum tidur.Tok tok tok."Yaraa!"Tok tok tok."Yaraa!""Non Yara sudah tidur, Nyonya," kata Hana di belakang.Aku memutar badan. Wanita ini, kenapa selalu muncul di mana saja, huh sebal jadinya."Saya hanya mau memberikan ini." Aku mengangkat kentang goreng dalam plastik yang kubawa."Ya sudah, biar saya saja yang berikan Nyonya, takut Nyonya capek mau istirahat."Hana akan segera meraih plastiknya tapi cepat kutarik ke belakang."Tidak usah, biar saya saja," ucapku ketus."Oh ya sudah Nyonya, kalau begitu saya permisi," katanya
Mas Nata bangkit karena aku terburu-buru menyuruhnya pergi."Ada-ada saja, ya sudah tunggu."Huh, untunglah dia mau, coba kalau Mas Nata ngeyel seperti biasanya, mungkin terpaksa aku harus turun ke jalan lagi.---1 jam kemudian Mas Nata kembali. Aku yang masih mondar-mandir cemas di kamar, cepat turun saat tahu mobil Mas Nata memasuki gerbang rumah."Mas, bagaimana? Apa kamu ketemu sama Ayyara?""Tidak Elia, sudahlah, mungkin mereka memang sedang pergi cari hiburan, yang penting 'kan Ayyara tidak pergi sendiri, kamu tidak usah cemas begini."Aku menghela napas panjang saat Mas Nata malah ceramah di depanku."Mas, kamu ini bagaimana? Sama anak sendiri kok begitu? Justru karena Ayyara tidak pergi sendiri kamu harusnya lebih hati-hati, aku 'kan sudah bilang, meski Hana diambil dari yayasan, tidak ada yang tahu bagaimana hatinya bukan?" Aku mulai emosi karena Mas Nata terkesan santai dan meremehkan firasatku.Ah entahlah, memang aku yang terlalu berlebihan atau Mas Nata yang terlalu sa
"Yaraa, kok bicaranya begitu pada Mama Elia?" Ibu mertua bertanya lembut.Gadis itu tak menjawab, tapi tetap melanjutkan makan malamnya dengan malas. "Kak Yara, kenapa tidak mau pergi jalan-jalan bareng kami?" tanya Adira setelah hening menjeda beberapa menit."Kak Yara sedang banyak urusan penting.""Urusan pentingnya lebih penting dari Mama Elia ya? Sampai-sampai Kak Yara tidak mau ikut pergi bersama kami.""Ya tentu saja," tandasnya tak acuh, gadis itu lalu bangkit dan gegas menaiki anak tangga.Sementara hatiku mendadak nyeri, ucapan dan sikap Ayyara sekarang benar-benar menunjukan bahwa memang ada yang sedang tidak beres pada gadis itu."Ih kenapa Kak Yara bicara begitu? Memangnya boleh ya, Oma?" tanya Adira polos."Tentu tidak Nak, Kak Ayyara mungkin sedang banyak pikiran dan tugas di sekolahnya, karena itu kita lebih baik jangan ganggu dia dulu ya, biarkan saja Kak Ayyara sendiri dulu.""Oh gitu ya Oma." Adira manggut-manggu sambil terus mengunyah makan malamnya."Elia, tolong
"Ya, 10 menit lagi saya turun," balas Ibu.Setelah bicara dengan ibu mertua, Hana kembali keluar."Bu, Hana itu profesional sekali ya kerjanya? Apa Mas Nata ambil dia di yayasan?" tanyaku penasaran.Ibu terkekeh, "hehehe kamu betul sekali, Nak.""Ouuh." Aku manggut-manggut dengan mulut membola.Benar dugaanku ternyata, pantas saja, tidak heran kalau dia terlihat sudah lihai."Oh ya Bu, Ibu ganti langganan laundry ya?""Iya Nak, soalnya di tempat langganan biasa.Hana lebih harum dan rapi hasilnya, maaf ya Ibu jadi pindah akhirnya," jawab beliau sungkan."Eh tidak Bu, tidak apa-apa, tidak perlu sungkan begitu ah, ini 'kan hanya masalah laundry."Memang hanya masalah laundry, tapi sejujurnya aku merasa tersisih, selera si Hana itu ternyata jauh lebih baik dariku."Ya sudah, takut Ibu mau mandi, Elia ke kamar dulu ya Bu, mau sekalian lihat anak-anak juga, tadi hanya sebentar ketemu mereka," ujarku lagi.Ibu mertua mengangguk, "oh ya sudah, sana gih, biasanya Adira jam segini sedang mengga