Mas Ardi benar-benar membuatku ingin marah. Aku segera mengamankan benda-benda tersebut ketika ia sudah selesai menelepon. Aku menjadi ragu untuk bertahan dan berjuang.
"Mas?" panggilku ketika ia memasuki mobil.
"Kenapa, Dek?"
"Pulang saja, yuk!"
"Loh, kenapa?" Mas Ardi menatapku bingung.
"Sebenarnya kamu cinta atau nggak sama aku?" tanyaku yang sudah tak mampu menahan semuanya. Melihat alat pengaman itu, bayanganku tentang Mas Ardi dan Leni di ranjang—menari-nari dalam pikiranku.
"Ci–cinta, dong, Dek. Kenapa kamu tanya gitu?"
"Buktinya?"
"Buktinya kita sudah menikah, 'kan? Aku hanya menikahi wanita yang aku cintai."
"Bohong!" bentakku.
"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Kok, jadi marah-marah?"
"Wanita inisial L itu siapa? Kamu selalu memasang foto dengan tulisan A&L di mana-mana."
"Ya, kamu, dong. Ardi dan Lily."
"Yakin Ardi dan Lily?" tanyaku sembari menatapnya tajam.
"Yakinlah, Dek."
Aku mendekatkan wajahku ke Mas Ardi. "Ardi dan Lily atau Ardi dan Leni?" tanyaku dengan menekankan suara.
"Le–leni siapa? Kamu jangan ngarang, Dek," jawabnya gugup.
"Jangan berpura-pura, Mas! Lebih baik kamu jujur sekarang sebelum pernikahan kita terlampau jauh!"
"A–apa maksudmu, Dek? Kamu habis makan apa? Leni siapa? Aku nggak kenal."
Aku paling tidak suka dengan pria yang pembohong. "Ini apa? Kamu menggunakan alat ini untuk berhubungan dengan siapa? Tuh, lihat isinya sudah tinggal beberapa!" Aku menunjukkan kardus merah kecil itu.
"Ini punya teman aku, Dek. Dia titip di mobil aku."
"Terus ini lipstik siapa?" Aku mengeluarkan lipstik dan menunjukkannya tepat di wajah Mas Ardi. Dia tertegun dan tak lagi menjawabku.
"Kapan hari aku menemukan dua bekas lipstik di kemejamu, Mas. Selama ini aku berusaha untuk diam karena pernikahan kita masih baru," kataku lagi.
"Tidak ada kata-kata lagi untuk berbohong, 'kan?" tanyaku yang membuatnya tertunduk.
Mas Ardi tak lagi melihat ke arahku. Dia menutup wajah dan menyandarkan kepalanya ke kursi mobil.
"Oke, aku memang salah. Aku minta maaf!" ucapnya lirih.
"Apa kesalahanmu, Mas?"
"Aku ...." Mas Ardi tampak ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Katakan!"
"Aku selingkuh, ta—"
"Cukup!" Aku menunjuk wajahnya. "Oke, cukup! Jangan mengatakan apa pun lagi! Aku tahu semuanya. Sekarang, kita pulang saja!"
Mas Ardi masih menatapku tanpa berkata apa-apa lagi. Dia berusaha meraih tanganku, tetapi aku menepisnya. Pengakuannya membuat hatiku seperti tersayat. Aku menyesal karena baru mengetahui sifatnya setelah menikah.
***
"Loh, katanya kalian makan malam?" tanya mama yang melihat kami sudah kembali ke rumah. Aku tak kuasa menahan air mataku sedari tadi. Tanpa menjawab pertanyaan mama, aku langsung masuk ke kamar.
"Lily!" Mama menegurku, tetapi tak kuindahkan.
"Ardi!"
"Hei, ada apa, sih?" Mama dan papa pasti bingung dengan apa yang terjadi di antara kami.
Aku mengemasi semua pakaianku. Lebih baik aku pulang saja ke rumah orang tuaku. Biarlah mereka tahu kenyataan yang sebenarnya.
"Loh, Lily!" Mama mencekal pergelangan tanganku.
"Ini ada apa? Kamu kenapa?"
"Ma, maafin Lily, ya! Lily harus pergi dari sini."
"Kenapa? Ada apa?"
"Dek! Tolong, jangan begini! Aku bisa memperbaiki semuanya. Kita mulai dari awal lagi!"
"Ardi! Apa maksudnya? Kenapa Lily sampai menangis dan mau pergi dari sini?"
Aku berhenti dan menoleh ke arah mama. "Ma, apa Mama masih ingat bekas lipstik di baju Mas Ardi?"
Mama mengangguk cepat. "Iya, mama ingat. Kenapa?"
"Itu bukan bekas lipstik aku, Ma."
"Jangan bilang kalau ...."
"Mama tanya saja sama Mas Ardi!"
Mereka berdua mencegahku agar aku tak pergi dari sini. Mama memeluk dan menenangkanku. Tangisku pecah dalam pelukan mama. Mungkin aku sudah mendapatkan cinta dari mertuaku, tetapi tidak dengan suamiku. Menyakitkan sekali.
Mama dan papa meminta kami untuk duduk dan menyelesaikan perkara dengan kepala dingin. Mereka kecewa kepada Mas Ardi. Mereka sendiri tidak menyangka jika Mas Ardi akan melakukan hal ini.
"Biarlah, Ma, Pa! Biarkan Mas Ardi melakukan apa yang ia suka. Biar Lily pergi dari hidupnya!"
"Nggak bisa begitu, Lily! Pernikahan kalian ini belum ada satu bulan. Nanti apa kata orang?"
"Dek, aku mengaku salah. Maafkan aku! Aku janji tidak akan melakukan kesalahan itu lagi!" sela Mas Ardi.
"Kamu pikir aku akan percaya begitu saja, Mas?"
"Kalau kamu tidak mencintaiku, seharusnya katakan dari awal! Kita tidak perlu menikah seperti ini." Aku bangkit dan berlari ke kamar. Tak kupedulikan mereka mengetuk pintu berkali-kali.
Sampai malam tiba, aku tak juga membuka pintu. Mama khawatir dengan keadaanku yang belum makan, tetapi aku sama sekali tak lapar. Mama selalu memohon agar dibukakan pintu, begitu juga dengan Mas Ardi, tapi tak kuhiraukan.
***
Pagi hari, aku tak mempedulikan Mas Ardi yang ingin mengambil pakaiannya. Dia mengatakan akan terlambat kalau aku tak segera membuka pintu. Aku tak mempedulikan dia yang terus memohon.
Tak lama kemudian, aku mendengar deru mobil Mas Ardi meninggalkan halaman rumah. Sepertinya, Mas Ardi sudah pergi ke kantor. Mungkin dia memakai pakaian yang ada di ruang setrika.
"Li, buka pintunya, Li! Ini mama. Ardi sudah pergi."
Rasanya tak tega membiarkan mama terus saja memohon. Aku pun membuka pintu kamar untuk mama.
"Lily!" Mama memelukku dengan erat. "Mama ingin bicara sesuatu denganmu."
"Apa, Ma?"
"Sambil duduk, ya!" Mama menuntunku ke ruang tengah.
"Kapan kamu tahu kalau Ardi selingkuh?"
"Baru beberapa hari ini, Ma. Lily banyak menemukan bukti-bukti perselingkuhan Mas Ardi. Dugaan Lily tidak salah setelah membuka ponsel Mas Ardi. Lily membaca pesan-pesannya dengan selingkuhannya itu, Ma," ucapku. Air mata ini kembali menetes.
Mama memelukku kembali dengan mengusap kepalaku. "Maafkan mama, Li! Mama nggak nyangka kalau akan begini. Kamu harus menderita karena mama. Sekali lagi maafkan mama!"
Aku bingung dengan ucapan mama. "Maksudnya apa, Ma? Kenapa mama bilang seperti itu? Kenapa harus mama yang meminta maaf?"
Mama melepaskan pelukannya dan berusaha menghapus air matanya. Aku semakin bingung melihat mama yang menangis tersedu-sedu itu.
"Ma? Apa maksud Mama?"
"Kalau saja mama nggak egois, pasti kamu nggak akan menderita seperti ini. Mama sangat bersalah kepada kamu dan orang tuamu."
"Maksud Mama apa? Katakan yang jelas, Ma!"
Mungkinkah mama sudah tahu perselingkuhan Mas Ardi dan menutupinya dari aku? Sedari tadi mama terus saja melontarkan kata maaf kepadaku.
"Mama mau tanya satu hal sama kamu, Li," katanya dengan bibi bergetar.
"Apa, Ma? Tanyakan saja!" Aku menatap mama mertuaku itu lekat-lekat.
"Apa kamu tahu siapa selingkuhan Ardi?" tanya mama dalam isak tangisnya.
Aku membuang pandangan ke segala arah dan menghela napas. "Tahu, Ma," jawabku lesu.
"Apa dia bernama Leni?" tanya mama yang membuatku menoleh ke arahnya dengan cepat.
"Mama tahu siapa Leni? Mama kenal sama dia?" tanyaku menatap mama dengan rasa penasaran yang membuncah."Mama ... mama kenal sama Leni.""Siapa dia, Ma? Kenapa Mama bisa kenal sama dia?" "Sebelum Ardi mengenalmu, dia sudah berpacaran dengan Leni. Mereka berpacaran sejak SMA. Awalnya, mama pikir kalau Leni adalah perempuan baik-baik, tapi dugaan mama salah. Waktu itu papanya Ardi nggak sengaja memergoki Leni jalan sama teman papanya Ardi.""Jalan berdua?""Iya, dekat sekali. Papanya Ardi ngira kalau mereka adalah bapak dan anak karena sangat dekat. Waktu papanya Ardi mendekati, mereka sudah pergi.""Terus?""Keesokan harinya, si papanya Ardi menyapa temannya itu dan bertanya 'kenapa buru-buru pergi? Dipanggil sampai tidak menoleh?'. Si teman papanya itu bilang kalau Leni yang meminta buru-buru pergi. Papanya Ardi tanya lagi apakah Leni itu putrinya, ternyata si temannya papa bilang kalau Leni hanya sugar baby-nya.""Apa?" Aku tercengang mendengar cerita mama."Jadi, temannya papa itu
"Tante? Apa kabar?" sapa wanita tersebut."Ini ...." Dia memperhatikanku dengan saksama.Mama menarik tangan wanita itu dan membawanya ke luar salon. Aku mengikuti di belakang mereka. Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu. Aku terkejut, tetapi aku baru menyadari sesuatu. Dia seperti ... Leni."Dasar wanita murahan! Tidak tahu diri!" Lagi. Mama menampar wanita itu."Ma, sudah, Ma!" Aku berusaha untuk menenangkan mama. "Awas kalau kamu berani mendekati Ardi lagi! Ardi sudah menikah. Jadi, jangan pernah kamu mengusik rumah tangga mereka!" kata mama kepada wanita itu. Aku semakin yakin kalau dia adalah Leni. Dia pergi meninggalkan kami sambil terus memegangi pipinya."Ma, apa itu tadi Leni?" tanyaku memastikan."Ya, Li. Itu Leni."Mama begitu emosi melihat perempuan itu. Nafasnya tersengal-sengal. Taksi online yang kami pesan sudah tiba. Aku segera mengajak mama masuk ke mobil. Aku berusaha menenangkan mama walau hatiku sendiri tiba-tiba mendidih. Wanita bertubuh mungil itu memang
"Ma-maksudku tadi ....""Sudahlah, Mas! Nggak perlu kita lanjutkan lagi!" Aku beranjak dari kasur tanpa mempedulikannya lagi."Dek?" Mas Ardi menarik tanganku, tetapi aku sekuat tenaga menariknya kembali.Segera kuganti baju malamku dengan baju tidur biasa. Aku sudah tidak mau lagi melanjutkan aktivitas tersebut. Di saat berduaan pun, dia menyebut nama Leni dan mengakui cintanya. Siapa yang tidak sakit hati jika mendengarnya?"Dek, aku minta maaf!""Dek, tolong dengarkan aku dulu!""Dengar apa?""Aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Aku nggak ada niat untuk menyebut namanya.""Sudah, ya, Mas! Sudah jelas semuanya. Aku sudah berusaha memaafkanmu dan bersikap sebaik mungkin, tapi masih saja Leni yang ada di pikiranmu.""Tidak bisakah kamu melupakan dia sedetik saja? Berdua bersamaku pun kamu masih bisa menyebut namanya, Mas," kataku lagi. Aku mengambil bantal dan selimut."Kamu mau ke mana?""Aku tidur di ruang tengah saja.""Jangan, Dek! Kita tidur bersama di sini.""Aku tidak mau tidur
Jadi, Mas Ardi sudah tahu soal pertemuan itu. Pantas saja waktu itu Mas Ardi bersikap agak aneh dan begitu dingin ke mama. Ternyata, selingkuhannya sudah mengadu."Ayo kita pergi, Dek! Jangan dengarkan wanita ini!""Mas! Kamu nggak bisa ninggalin aku begini, dong!"Mas Ardi menarik tanganku dan mengajak masuk ke mobilnya. Tingkah Leni seperti anak-anak. Dia terus mengikuti sampai memukul-mukul kaca mobil. "Nggak ada malu sama sekali," batinku. Baru kali ini aku melihat wanita yang seperti Leni."Katanya mau makan di kafe pelangi, Mas? Jalan kaki saja bisa, 'kan?" tanyaku."Nggak jadi di sana. Leni pasti akan ngikut. Aku risih dan nggak enak dilihatin teman-teman. Dari tadi Leni terus mengikutiku. Kita makan di tempat lain saja nggak apa-apa, 'kan?""Ya, nggak apa-apa, sih. Terserah.""Kamu masih marah soal semalam? Aku minta maaf! Aku benar-benar nggak sengaja dan nggak ada niat untuk berkata begitu. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana sikapku ke Leni barusan?""Ya, Mas.""Iya apa, De
"Mas Ardi?" "Hai, Anda temannya Lily, bukan? Senang bertemu dengan Anda!" kata Mas Ardi."Ya. Maaf, waktu itu kami tidak bisa datang ke acara pernikahan kalian," kata Alan sambil sesekali melihatku."Ya, tidak masalah," ucap Mas Ardi kemudian merangkul bahuku. Entah apa yang membuat Mas Ardi tiba-tiba bersikap begini."Lily, kamu semakin cantik! Pasti hidupmu bahagia terus, ya?" kata Vina. "Wah, terima kasih. Apa pun akan saya lakukan demi membuat Lily bahagia," sahut Mas Ardi. Aku meliriknya dengan sedikit bingung."Kamu juga makin cantik, Vina. Pasti hidupmu juga bahagia bersama Alan," ujarku."Pasti, dong, Sayang. Mereka pasti bahagia. Lihatlah! Aura kebahagiaan terpancar di wajah mereka," timpal suamiku. "Bukan begitu, Tuan Alan?" tanya suamiku sambil menatap Alan."Tentu saja. Kami sangat bahagia," jawab Alan sambil merangkul istrinya. "Iya, 'kan, Sayang?" tanya Alan kepada Vina. Wanita berambut pendek itu mengangguk dan tersenyum bahagia.Aku merasa aneh dengan obrolan ini. Mu
"Siapa, Dek?""Em ... Vina, Mas.""Ngapain lagi?""Nggak ada apa-apa, sih. Cuma nanya aku sudah tidur apa belum.""Coba lihat!"Aku menyerahkan ponselku dengan perasaan yang aku tak tahu. Mas Ardi mengernyitkan dahi saat membacanya. Aku mengigit bibir bawah melihat reaksi Mas Ardi."Tuh, 'kan?""Kenapa, Mas? Kasihan, loh, si Vina.""Ini si Alan nggak bisa mencintai Vina pasti karena dia masih mencintai kamu," tutur Mas Ardi kemudian mematikan ponselku."Eh, Mas, kenapa dimatikan ponselnya?""Pasti ini si Alan masih cinta sama kamu.""Vina belum menceritakan lebih jauh. Kalau kamu matikan ponsel, kasihan dia, dong. Nanti dikiranya aku nggak mau mendengarkan keluh kesahnya."Mas Ardi tak menjawabku. Dia meletakkan ponselku di meja kemudian kembali menarik tanganku. ***Hari sudah berganti, Mas Ardi berangkat kerja seperti biasanya. Aku sibuk belajar dandan untuk diriku sendiri, tetapi dengan bantuan mama. Kami dikejutkan dengan suara bel rumah yang berbunyi."Siapa, ya, Li? Apa ada pak
Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Lebih baik aku menghapusnya sekarang juga sebelum Mas Ardi tahu hal ini. [Aku kangen. Akhirnya, waktu telah mempertemukan kita.] Alan kembali mengirim pesan kepadaku."What?" Aku mengernyitkan dahi tak percaya. Lebih baik aku memblokir nomor teleponnya saja agar tak lagi menggangguku.[Kamu jangan blokir aku, Lily! Semakin kamu menjauh, semakin aku berusaha keras untuk mengejar kamu.] Aku terkejut membaca pesan darinya lagi. Bisa-bisanya dia tahu apa yang akan aku lakukan. Aku pun batal memblokir nomor teleponnya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Si Alan sedang mengemudikan mobil. Tak mungkin jika dia bermain ponsel. Segera aku menghubungi Vina untuk memastikan."Halo, Lily?""Halo, Vina? Kamu lagi di mana?""Ini lagi di jalan. Kita belum sampai.""Kamu masih sama Alan?""Iya, Li. Cuma kita lagi berhenti. Alan lagi terima telfon penting. Dia keluar dari mobil.""Oh, ya sudah, hati-hati, Vin!""Ada apa emangnya, Li?""Nggak ada apa-ap
"Kamu luar biasa," bisik Mas Ardi di telingaku. Aku menggeliat karena geli. Tangannya mulai meraba-raba tubuhku. Namun, aktivitasnya terhenti karena sebuah pesan yang masuk di ponselnya. Mas Ardi kembali menatap layar ponselnya dengan serius."Ada masalah apa, sih, Mas, teman kamu itu?""Biasa, Dek. Rumah tangga. Istrinya nggak mau tinggal serumah sama orang tuanya temanku.""Kenapa bisa gitu?""Katanya, sih, nggak cocok, Dek."Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapannya. Sama sekali aku tidak merasa penasaran dengan isi pesan tersebut. Aku memberikan waktu kepada Mas Ardi untuk berbalas pesan dengan temannya."Aku merasa beruntung, Dek.""Beruntung kenapa, Mas?""Orang tua dan istriku bisa saling hidup rukun. Aku senang melihat kedekatan kalian. Mama bahkan lebih dekat denganmu daripada dengan anaknya sendiri.""Aku juga merasa beruntung memiliki mertua seperti mama dan papa. Mereka begitu baik dan peduli padaku. Mereka sangat sayang kepadaku, Mas."Mas Ardi kembali sibuk dengan po