Share

3. Perubahanku dan Bukti Baru

Aku merasakan Mas Ardi perlahan naik ke ranjang. Tangannya mulai meraba lenganku, tetapi ia lepaskan lagi. Lama menunggu, dia tak lagi menyentuhku. Mungkinkah ada yang salah denganku? Suamiku tampak bergerak. Aku menunggunya cukup lama. Ketika aku membaringkan tubuhku ke arahnya, ternyata dia membelakangiku.

"Apakah aku kurang seksi mengenakan pakaian yang seperti ini?" tanyaku dalam hati. Aku mengenakan baju yang dibelikannya sebelum menikah dulu. Ini adalah baju malam yang sangat tipis dan terawang. Tidak mungkin jika suamiku tidak nafsu jika melihatku.

Cukup lama aku menunggunya yang terus membelakangiku hingga akhirnya aku tertidur.

***

Di pagi hari, ketika aku hendak bangun, Mas Ardi menarik tanganku. Namun, matanya masih terpejam. 

"Leni ...."

Leni? Dia memanggilku dengan sebutan Leni. Suamiku sedang mengigau atau bagaimana? Leni adalah nama perempuan itu. 

"Mas!"

"Mas!"

Mas Ardi membuka mata dan seperti orang kebingungan. "Ini sudah pagi, Dek?"

"Sudah."

"Perasaan aku baru tidur. Oh, iya, kenapa kamu memakai pakaian seperti itu?" 

"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin memakai baju yang kamu belikan waktu itu."

"Kamu cantik memakai itu, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Maaf, aku belum bisa membuatmu bahagia. Aku capek banget, Dek, karena urusan pekerjaan. Entah kapan aku akan mempunyai waktu untuk kita berduaan."

Mas Ardi ini tidak seperti Mas Ardi yang dulu kukenal. Mungkin bukan sifatnya yang berubah, tetapi aku yang baru tahu sifat aslinya. Dia pandai sekali berbohong.

"Mas, kapan kita jalan berdua? Pengantin baru, tapi kita di rumah saja?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Kapan, ya, Dek? Aku juga nggak tahu."

"Nanti, ya!" 

"Aku lihat dulu nanti. Kalau nggak sibuk, kita jalan berdua, ya?" 

Alasannya selalu sibuk dan sibuk. Aku memakai pakaian seperti ini pun tak membuatnya tertarik. Aku menjadi penasaran dengan yang namanya Leni. Ingin sekali aku menemui wanita yang membuat suamiku sampai lupa waktu dan istri. 

Setelah berganti pakaian, aku berdandan secantik mungkin. Mas Ardi seperti menatapku bingung. Dia terus memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Dek?"

"Kenapa, Mas?"

"Tumben kamu dandan? Terus pakai rok begini? Biasanya pakai celana jeans."

"Lagi pengin dandan saja. Sayang, 'kan, kalau make up seserahan dari kamu nggak dipakai?"

"Tapi bajunya tumben pakai rok?"

"Emang kenapa? Toh, aku nggak keluar ke mana-mana. Di rumah saja sama mama. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Iya, nggak apa-apa, sih."

Mas Ardi pergi ke kamar mandi dengan sedikit melirikku. Biar saja dia keheranan dengan perubahanku. Memangnya hanya orang ke tiga saja yang dapat menarik perhatiannya? Aku juga bisa. 

Bukan hanya Mas Ardi yang terkejut dengan penampilanku, tetapi mama dan papa juga. Mama sempat melihatku dari atas sampai bawah. Memang, biasanya aku hanya polosan saja. Tak ada polesan bedak atau pun lipstik.

"Kamu mau ke mana, Lily?" tanya papa.

"Nggak ke mana-mana, Pa."

"Ardi sudah bangun?"

"Sudah. Masih mandi, Ma."

Setelah sarapan bersama, Mas Ardi dan papa berangkat kerja. Seperti biasa, aku dan mama berkutat dengan pekerjaan rumah. 

"Lily, kamu tumben dandan? Cantik banget lagi!" kata mama.

"Iseng, Ma," jawabku sambil tertawa kecil.

***

Siang hari, aku sibuk memilih beberapa produk kecantikan di sebuah aplikasi belanja online. Bukan hanya kosmetik, tetapi juga baju yang menurutku bagus. Tiba-tiba aku terpikir oleh sesuatu.

"Ma?" Aku mencari mama di setiap ruangan.

"Mama?"

"Ma?"

Di kamarnya pun tidak ada. Tidak biasanya mama pergi siang-siang begini. Aku menghubungi mama, tetapi ponselnya berdering di ruang tengah. Mama tidak membawa ponsel.

Beberapa menit kemudian, aku melihat mama datang dari luar dengan membawa sebuah kresek hitam yang entah apa isinya. 

"Ma, dari mana?" tanyaku.

"Ini. Mama habis beli rujak. Panas-panas gini, makan rujak pasti enak."

"Mama nggak ngajak Lily?"

"Mama pikir, kamu tidur. Jadi, mama berangkat sendiri saja."

"Jalan kaki, Ma?"

"Iya. Dekat, kok. Di taman komplek sana. Ayo makan, Li!"

Aku siapkan dua piring untuk kami makan siang. 

"Ma?"

"Kenapa, Li?"

"Mama biasa ke salon?"

"Nyalon? Perawatan?"

"Iya, Ma."

"Iya. Kenapa, Li? Mau ikut?"

"Mau, dong, Ma."

"Jadwal mama ke salon langganan mama, minggu depan, Li."

"Oke, Ma."

Aku harus membuat kulitku semulus dan secerah mungkin. Lelah karena bekerja bukanlah alasan yang utama suamiku tak mau menyentuhku, tetapi Leni adalah alasan suamiku tidak tertarik denganku.

***

Hari ini suamiku pulang pukul empat sore. Ini sangat jarang terjadi, tetapi aku senang. Dia ingin mengajakku untuk jalan-jalan dan makan malam di luar. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk aku memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. 

Selama ini, kami memang kurang komunikasi karena suamiku sangat sibuk. Ketika di rumah pun, dia hanya berbicara seperlunya saja. Selebihnya, dia akan banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Kalau begini terus, hubungan ini bisa retak. 

"Mau makan malam di mana, Dek?"

"Terserah kamu, Mas. Tempat yang menurutmu nyaman di mana?"

"Gimana kalau ke tempat pertama kali kita makan berdua?"

"Boleh."

Kami akan mendatangi tempat di mana pertama kalinya kami jalan berdua. Kalau dulu terasa mendebarkan, kini tidak lagi. Aku sudah tidak sabar ingin tahu bagaimana reaksinya setelah aku menemukan semua kebenarannya. 

"Siap, Dek?"

"Sudah, Mas."

Aku masuk ke mobil suamiku. Kami tidak banyak bicara. Aku sengaja menahan segala rasa keingintahuanku tengang Leni. Biarlah dia fokus pada kemudinya. 

Ketika aku membenarkan posisi kakiku, aku merasa seperti menginjak sesuatu. Aku mengambil benda yang mengganjal itu. 

"Mas, ini kalung siapa?" 

"Kalung?" Mas Ardi masih tetap fokus pada kemudinya.

"Kalung ini? Ada inisial L." Tunjukku. Rasanya aku ingin marah ketika menemukan kalung berinisial L itu. Aku teringat akan beberapa gambar yang berinisial 'A&L'. Itu adalah nama Mas Ardi dan Leni, bukan namaku. 

"Oh, i–itu sebenarnya kalung buat kamu, Dek. Aku beli buat kamu, tapi jatuh. Kemarin mau aku kasih ke kamu, tapi aku cari-cari nggak ketemu. Syukur, deh, kalau kamu sudah menemukan kalung itu."

"Dikasih ke aku, Mas?" tanyaku bingung. 

"Iya, Dek."

"Cuma-cuma gini? Nggak dapat wadah atau tanda belinya? Kenapa jatuhnya bisa di sini? Kamu, 'kan, duduknya di situ terus." 

Aku sengaja memancing Mas Ardi. Suamiku itu mendadak panik. Aku tahu kalau itu adalah kalung Leni, bukan kalung baru yang akan diberikan kepadaku. Nama kami memiliki huruf depan yang sama, Mas Ardi jadi mudah sekali berkilah.

"Iya, Dek. Kemarin itu aku taruh di situ. Terus waktu aku mau bawa masuk, cuma ada kantongnya saja. Ternyata, jatuhnya di situ."

"Oh, ya? Bisa gitu, ya, Mas?" Penjelasan Mas Ardi sama sekali tidak masuk akal, tetapi aku mencoba untuk tenang. 

"Dek, HP-ku bunyi. Ada telepon penting. Aku angkat dulu, ya?" Mas Ardi menepikan mobilnya. Dia keluar dari mobil untuk menerima panggilan telepon itu. Pasti itu si Leni.

Aku memeriksa mobil suamiku. Mungkin saja aku akan menemukan bukti perselingkuhannya yang lain. Benar saja. Aku terkejut ketika menemukan lipstik dan sebuah kardus kecil berwarna merah. Itu adalah alat pengaman yang biasa digunakan untuk berhubungan badan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status