Aku merasakan Mas Ardi perlahan naik ke ranjang. Tangannya mulai meraba lenganku, tetapi ia lepaskan lagi. Lama menunggu, dia tak lagi menyentuhku. Mungkinkah ada yang salah denganku? Suamiku tampak bergerak. Aku menunggunya cukup lama. Ketika aku membaringkan tubuhku ke arahnya, ternyata dia membelakangiku.
"Apakah aku kurang seksi mengenakan pakaian yang seperti ini?" tanyaku dalam hati. Aku mengenakan baju yang dibelikannya sebelum menikah dulu. Ini adalah baju malam yang sangat tipis dan terawang. Tidak mungkin jika suamiku tidak nafsu jika melihatku.
Cukup lama aku menunggunya yang terus membelakangiku hingga akhirnya aku tertidur.
***
Di pagi hari, ketika aku hendak bangun, Mas Ardi menarik tanganku. Namun, matanya masih terpejam.
"Leni ...."
Leni? Dia memanggilku dengan sebutan Leni. Suamiku sedang mengigau atau bagaimana? Leni adalah nama perempuan itu.
"Mas!"
"Mas!"
Mas Ardi membuka mata dan seperti orang kebingungan. "Ini sudah pagi, Dek?"
"Sudah."
"Perasaan aku baru tidur. Oh, iya, kenapa kamu memakai pakaian seperti itu?"
"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin memakai baju yang kamu belikan waktu itu."
"Kamu cantik memakai itu, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Maaf, aku belum bisa membuatmu bahagia. Aku capek banget, Dek, karena urusan pekerjaan. Entah kapan aku akan mempunyai waktu untuk kita berduaan."
Mas Ardi ini tidak seperti Mas Ardi yang dulu kukenal. Mungkin bukan sifatnya yang berubah, tetapi aku yang baru tahu sifat aslinya. Dia pandai sekali berbohong.
"Mas, kapan kita jalan berdua? Pengantin baru, tapi kita di rumah saja?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Kapan, ya, Dek? Aku juga nggak tahu."
"Nanti, ya!"
"Aku lihat dulu nanti. Kalau nggak sibuk, kita jalan berdua, ya?"
Alasannya selalu sibuk dan sibuk. Aku memakai pakaian seperti ini pun tak membuatnya tertarik. Aku menjadi penasaran dengan yang namanya Leni. Ingin sekali aku menemui wanita yang membuat suamiku sampai lupa waktu dan istri.
Setelah berganti pakaian, aku berdandan secantik mungkin. Mas Ardi seperti menatapku bingung. Dia terus memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Dek?"
"Kenapa, Mas?"
"Tumben kamu dandan? Terus pakai rok begini? Biasanya pakai celana jeans."
"Lagi pengin dandan saja. Sayang, 'kan, kalau make up seserahan dari kamu nggak dipakai?"
"Tapi bajunya tumben pakai rok?"
"Emang kenapa? Toh, aku nggak keluar ke mana-mana. Di rumah saja sama mama. Nggak apa-apa, 'kan?"
"Iya, nggak apa-apa, sih."
Mas Ardi pergi ke kamar mandi dengan sedikit melirikku. Biar saja dia keheranan dengan perubahanku. Memangnya hanya orang ke tiga saja yang dapat menarik perhatiannya? Aku juga bisa.
Bukan hanya Mas Ardi yang terkejut dengan penampilanku, tetapi mama dan papa juga. Mama sempat melihatku dari atas sampai bawah. Memang, biasanya aku hanya polosan saja. Tak ada polesan bedak atau pun lipstik.
"Kamu mau ke mana, Lily?" tanya papa.
"Nggak ke mana-mana, Pa."
"Ardi sudah bangun?"
"Sudah. Masih mandi, Ma."
Setelah sarapan bersama, Mas Ardi dan papa berangkat kerja. Seperti biasa, aku dan mama berkutat dengan pekerjaan rumah.
"Lily, kamu tumben dandan? Cantik banget lagi!" kata mama.
"Iseng, Ma," jawabku sambil tertawa kecil.
***
Siang hari, aku sibuk memilih beberapa produk kecantikan di sebuah aplikasi belanja online. Bukan hanya kosmetik, tetapi juga baju yang menurutku bagus. Tiba-tiba aku terpikir oleh sesuatu.
"Ma?" Aku mencari mama di setiap ruangan.
"Mama?"
"Ma?"
Di kamarnya pun tidak ada. Tidak biasanya mama pergi siang-siang begini. Aku menghubungi mama, tetapi ponselnya berdering di ruang tengah. Mama tidak membawa ponsel.
Beberapa menit kemudian, aku melihat mama datang dari luar dengan membawa sebuah kresek hitam yang entah apa isinya.
"Ma, dari mana?" tanyaku.
"Ini. Mama habis beli rujak. Panas-panas gini, makan rujak pasti enak."
"Mama nggak ngajak Lily?"
"Mama pikir, kamu tidur. Jadi, mama berangkat sendiri saja."
"Jalan kaki, Ma?"
"Iya. Dekat, kok. Di taman komplek sana. Ayo makan, Li!"
Aku siapkan dua piring untuk kami makan siang.
"Ma?"
"Kenapa, Li?"
"Mama biasa ke salon?"
"Nyalon? Perawatan?"
"Iya, Ma."
"Iya. Kenapa, Li? Mau ikut?"
"Mau, dong, Ma."
"Jadwal mama ke salon langganan mama, minggu depan, Li."
"Oke, Ma."
Aku harus membuat kulitku semulus dan secerah mungkin. Lelah karena bekerja bukanlah alasan yang utama suamiku tak mau menyentuhku, tetapi Leni adalah alasan suamiku tidak tertarik denganku.
***
Hari ini suamiku pulang pukul empat sore. Ini sangat jarang terjadi, tetapi aku senang. Dia ingin mengajakku untuk jalan-jalan dan makan malam di luar. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk aku memberondongnya dengan berbagai pertanyaan.
Selama ini, kami memang kurang komunikasi karena suamiku sangat sibuk. Ketika di rumah pun, dia hanya berbicara seperlunya saja. Selebihnya, dia akan banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Kalau begini terus, hubungan ini bisa retak.
"Mau makan malam di mana, Dek?"
"Terserah kamu, Mas. Tempat yang menurutmu nyaman di mana?"
"Gimana kalau ke tempat pertama kali kita makan berdua?"
"Boleh."
Kami akan mendatangi tempat di mana pertama kalinya kami jalan berdua. Kalau dulu terasa mendebarkan, kini tidak lagi. Aku sudah tidak sabar ingin tahu bagaimana reaksinya setelah aku menemukan semua kebenarannya.
"Siap, Dek?"
"Sudah, Mas."
Aku masuk ke mobil suamiku. Kami tidak banyak bicara. Aku sengaja menahan segala rasa keingintahuanku tengang Leni. Biarlah dia fokus pada kemudinya.
Ketika aku membenarkan posisi kakiku, aku merasa seperti menginjak sesuatu. Aku mengambil benda yang mengganjal itu.
"Mas, ini kalung siapa?"
"Kalung?" Mas Ardi masih tetap fokus pada kemudinya.
"Kalung ini? Ada inisial L." Tunjukku. Rasanya aku ingin marah ketika menemukan kalung berinisial L itu. Aku teringat akan beberapa gambar yang berinisial 'A&L'. Itu adalah nama Mas Ardi dan Leni, bukan namaku.
"Oh, i–itu sebenarnya kalung buat kamu, Dek. Aku beli buat kamu, tapi jatuh. Kemarin mau aku kasih ke kamu, tapi aku cari-cari nggak ketemu. Syukur, deh, kalau kamu sudah menemukan kalung itu."
"Dikasih ke aku, Mas?" tanyaku bingung.
"Iya, Dek."
"Cuma-cuma gini? Nggak dapat wadah atau tanda belinya? Kenapa jatuhnya bisa di sini? Kamu, 'kan, duduknya di situ terus."
Aku sengaja memancing Mas Ardi. Suamiku itu mendadak panik. Aku tahu kalau itu adalah kalung Leni, bukan kalung baru yang akan diberikan kepadaku. Nama kami memiliki huruf depan yang sama, Mas Ardi jadi mudah sekali berkilah.
"Iya, Dek. Kemarin itu aku taruh di situ. Terus waktu aku mau bawa masuk, cuma ada kantongnya saja. Ternyata, jatuhnya di situ."
"Oh, ya? Bisa gitu, ya, Mas?" Penjelasan Mas Ardi sama sekali tidak masuk akal, tetapi aku mencoba untuk tenang.
"Dek, HP-ku bunyi. Ada telepon penting. Aku angkat dulu, ya?" Mas Ardi menepikan mobilnya. Dia keluar dari mobil untuk menerima panggilan telepon itu. Pasti itu si Leni.
Aku memeriksa mobil suamiku. Mungkin saja aku akan menemukan bukti perselingkuhannya yang lain. Benar saja. Aku terkejut ketika menemukan lipstik dan sebuah kardus kecil berwarna merah. Itu adalah alat pengaman yang biasa digunakan untuk berhubungan badan.
Mas Ardi benar-benar membuatku ingin marah. Aku segera mengamankan benda-benda tersebut ketika ia sudah selesai menelepon. Aku menjadi ragu untuk bertahan dan berjuang. "Mas?" panggilku ketika ia memasuki mobil."Kenapa, Dek?""Pulang saja, yuk!" "Loh, kenapa?" Mas Ardi menatapku bingung. "Sebenarnya kamu cinta atau nggak sama aku?" tanyaku yang sudah tak mampu menahan semuanya. Melihat alat pengaman itu, bayanganku tentang Mas Ardi dan Leni di ranjang—menari-nari dalam pikiranku. "Ci–cinta, dong, Dek. Kenapa kamu tanya gitu?""Buktinya?""Buktinya kita sudah menikah, 'kan? Aku hanya menikahi wanita yang aku cintai.""Bohong!" bentakku. "Kamu ini kenapa, sih, Dek? Kok, jadi marah-marah?""Wanita inisial L itu siapa? Kamu selalu memasang foto dengan tulisan A&L di mana-mana.""Ya, kamu, dong. Ardi dan Lily.""Yakin Ardi dan Lily?" tanyaku sembari menatapnya tajam. "Yakinlah, Dek."Aku mendekatkan wajahku ke Mas Ardi. "Ardi dan Lily atau Ardi dan Leni?" tanyaku dengan menekankan s
"Mama tahu siapa Leni? Mama kenal sama dia?" tanyaku menatap mama dengan rasa penasaran yang membuncah."Mama ... mama kenal sama Leni.""Siapa dia, Ma? Kenapa Mama bisa kenal sama dia?" "Sebelum Ardi mengenalmu, dia sudah berpacaran dengan Leni. Mereka berpacaran sejak SMA. Awalnya, mama pikir kalau Leni adalah perempuan baik-baik, tapi dugaan mama salah. Waktu itu papanya Ardi nggak sengaja memergoki Leni jalan sama teman papanya Ardi.""Jalan berdua?""Iya, dekat sekali. Papanya Ardi ngira kalau mereka adalah bapak dan anak karena sangat dekat. Waktu papanya Ardi mendekati, mereka sudah pergi.""Terus?""Keesokan harinya, si papanya Ardi menyapa temannya itu dan bertanya 'kenapa buru-buru pergi? Dipanggil sampai tidak menoleh?'. Si teman papanya itu bilang kalau Leni yang meminta buru-buru pergi. Papanya Ardi tanya lagi apakah Leni itu putrinya, ternyata si temannya papa bilang kalau Leni hanya sugar baby-nya.""Apa?" Aku tercengang mendengar cerita mama."Jadi, temannya papa itu
"Tante? Apa kabar?" sapa wanita tersebut."Ini ...." Dia memperhatikanku dengan saksama.Mama menarik tangan wanita itu dan membawanya ke luar salon. Aku mengikuti di belakang mereka. Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu. Aku terkejut, tetapi aku baru menyadari sesuatu. Dia seperti ... Leni."Dasar wanita murahan! Tidak tahu diri!" Lagi. Mama menampar wanita itu."Ma, sudah, Ma!" Aku berusaha untuk menenangkan mama. "Awas kalau kamu berani mendekati Ardi lagi! Ardi sudah menikah. Jadi, jangan pernah kamu mengusik rumah tangga mereka!" kata mama kepada wanita itu. Aku semakin yakin kalau dia adalah Leni. Dia pergi meninggalkan kami sambil terus memegangi pipinya."Ma, apa itu tadi Leni?" tanyaku memastikan."Ya, Li. Itu Leni."Mama begitu emosi melihat perempuan itu. Nafasnya tersengal-sengal. Taksi online yang kami pesan sudah tiba. Aku segera mengajak mama masuk ke mobil. Aku berusaha menenangkan mama walau hatiku sendiri tiba-tiba mendidih. Wanita bertubuh mungil itu memang
"Ma-maksudku tadi ....""Sudahlah, Mas! Nggak perlu kita lanjutkan lagi!" Aku beranjak dari kasur tanpa mempedulikannya lagi."Dek?" Mas Ardi menarik tanganku, tetapi aku sekuat tenaga menariknya kembali.Segera kuganti baju malamku dengan baju tidur biasa. Aku sudah tidak mau lagi melanjutkan aktivitas tersebut. Di saat berduaan pun, dia menyebut nama Leni dan mengakui cintanya. Siapa yang tidak sakit hati jika mendengarnya?"Dek, aku minta maaf!""Dek, tolong dengarkan aku dulu!""Dengar apa?""Aku tidak bermaksud menyakiti kamu. Aku nggak ada niat untuk menyebut namanya.""Sudah, ya, Mas! Sudah jelas semuanya. Aku sudah berusaha memaafkanmu dan bersikap sebaik mungkin, tapi masih saja Leni yang ada di pikiranmu.""Tidak bisakah kamu melupakan dia sedetik saja? Berdua bersamaku pun kamu masih bisa menyebut namanya, Mas," kataku lagi. Aku mengambil bantal dan selimut."Kamu mau ke mana?""Aku tidur di ruang tengah saja.""Jangan, Dek! Kita tidur bersama di sini.""Aku tidak mau tidur
Jadi, Mas Ardi sudah tahu soal pertemuan itu. Pantas saja waktu itu Mas Ardi bersikap agak aneh dan begitu dingin ke mama. Ternyata, selingkuhannya sudah mengadu."Ayo kita pergi, Dek! Jangan dengarkan wanita ini!""Mas! Kamu nggak bisa ninggalin aku begini, dong!"Mas Ardi menarik tanganku dan mengajak masuk ke mobilnya. Tingkah Leni seperti anak-anak. Dia terus mengikuti sampai memukul-mukul kaca mobil. "Nggak ada malu sama sekali," batinku. Baru kali ini aku melihat wanita yang seperti Leni."Katanya mau makan di kafe pelangi, Mas? Jalan kaki saja bisa, 'kan?" tanyaku."Nggak jadi di sana. Leni pasti akan ngikut. Aku risih dan nggak enak dilihatin teman-teman. Dari tadi Leni terus mengikutiku. Kita makan di tempat lain saja nggak apa-apa, 'kan?""Ya, nggak apa-apa, sih. Terserah.""Kamu masih marah soal semalam? Aku minta maaf! Aku benar-benar nggak sengaja dan nggak ada niat untuk berkata begitu. Kamu tahu sendiri, 'kan, bagaimana sikapku ke Leni barusan?""Ya, Mas.""Iya apa, De
"Mas Ardi?" "Hai, Anda temannya Lily, bukan? Senang bertemu dengan Anda!" kata Mas Ardi."Ya. Maaf, waktu itu kami tidak bisa datang ke acara pernikahan kalian," kata Alan sambil sesekali melihatku."Ya, tidak masalah," ucap Mas Ardi kemudian merangkul bahuku. Entah apa yang membuat Mas Ardi tiba-tiba bersikap begini."Lily, kamu semakin cantik! Pasti hidupmu bahagia terus, ya?" kata Vina. "Wah, terima kasih. Apa pun akan saya lakukan demi membuat Lily bahagia," sahut Mas Ardi. Aku meliriknya dengan sedikit bingung."Kamu juga makin cantik, Vina. Pasti hidupmu juga bahagia bersama Alan," ujarku."Pasti, dong, Sayang. Mereka pasti bahagia. Lihatlah! Aura kebahagiaan terpancar di wajah mereka," timpal suamiku. "Bukan begitu, Tuan Alan?" tanya suamiku sambil menatap Alan."Tentu saja. Kami sangat bahagia," jawab Alan sambil merangkul istrinya. "Iya, 'kan, Sayang?" tanya Alan kepada Vina. Wanita berambut pendek itu mengangguk dan tersenyum bahagia.Aku merasa aneh dengan obrolan ini. Mu
"Siapa, Dek?""Em ... Vina, Mas.""Ngapain lagi?""Nggak ada apa-apa, sih. Cuma nanya aku sudah tidur apa belum.""Coba lihat!"Aku menyerahkan ponselku dengan perasaan yang aku tak tahu. Mas Ardi mengernyitkan dahi saat membacanya. Aku mengigit bibir bawah melihat reaksi Mas Ardi."Tuh, 'kan?""Kenapa, Mas? Kasihan, loh, si Vina.""Ini si Alan nggak bisa mencintai Vina pasti karena dia masih mencintai kamu," tutur Mas Ardi kemudian mematikan ponselku."Eh, Mas, kenapa dimatikan ponselnya?""Pasti ini si Alan masih cinta sama kamu.""Vina belum menceritakan lebih jauh. Kalau kamu matikan ponsel, kasihan dia, dong. Nanti dikiranya aku nggak mau mendengarkan keluh kesahnya."Mas Ardi tak menjawabku. Dia meletakkan ponselku di meja kemudian kembali menarik tanganku. ***Hari sudah berganti, Mas Ardi berangkat kerja seperti biasanya. Aku sibuk belajar dandan untuk diriku sendiri, tetapi dengan bantuan mama. Kami dikejutkan dengan suara bel rumah yang berbunyi."Siapa, ya, Li? Apa ada pak
Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Lebih baik aku menghapusnya sekarang juga sebelum Mas Ardi tahu hal ini. [Aku kangen. Akhirnya, waktu telah mempertemukan kita.] Alan kembali mengirim pesan kepadaku."What?" Aku mengernyitkan dahi tak percaya. Lebih baik aku memblokir nomor teleponnya saja agar tak lagi menggangguku.[Kamu jangan blokir aku, Lily! Semakin kamu menjauh, semakin aku berusaha keras untuk mengejar kamu.] Aku terkejut membaca pesan darinya lagi. Bisa-bisanya dia tahu apa yang akan aku lakukan. Aku pun batal memblokir nomor teleponnya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Si Alan sedang mengemudikan mobil. Tak mungkin jika dia bermain ponsel. Segera aku menghubungi Vina untuk memastikan."Halo, Lily?""Halo, Vina? Kamu lagi di mana?""Ini lagi di jalan. Kita belum sampai.""Kamu masih sama Alan?""Iya, Li. Cuma kita lagi berhenti. Alan lagi terima telfon penting. Dia keluar dari mobil.""Oh, ya sudah, hati-hati, Vin!""Ada apa emangnya, Li?""Nggak ada apa-ap