Share

5. Perubahanku

"Mama tahu siapa Leni? Mama kenal sama dia?" tanyaku menatap mama dengan rasa penasaran yang membuncah.

"Mama ... mama kenal sama Leni."

"Siapa dia, Ma? Kenapa Mama bisa kenal sama dia?" 

"Sebelum Ardi mengenalmu, dia sudah berpacaran dengan Leni. Mereka berpacaran sejak SMA. Awalnya, mama pikir kalau Leni adalah perempuan baik-baik, tapi dugaan mama salah. Waktu itu papanya Ardi nggak sengaja memergoki Leni jalan sama teman papanya Ardi."

"Jalan berdua?"

"Iya, dekat sekali. Papanya Ardi ngira kalau mereka adalah bapak dan anak karena sangat dekat. Waktu papanya Ardi mendekati, mereka sudah pergi."

"Terus?"

"Keesokan harinya, si papanya Ardi menyapa temannya itu dan bertanya 'kenapa buru-buru pergi? Dipanggil sampai tidak menoleh?'. Si teman papanya itu bilang kalau Leni yang meminta buru-buru pergi. Papanya Ardi tanya lagi apakah Leni itu putrinya, ternyata si temannya papa bilang kalau Leni hanya sugar baby-nya."

"Apa?" Aku tercengang mendengar cerita mama.

"Jadi, temannya papa itu sugar daddy-nya si Leni?" tanyaku. 

"Ya, Li. Sejak itu kami menentang hubungan Leni dan Ardi. Mereka harus pisah bagaimana pun caranya. Sampai kapan pun, mama dan papa tidak akan merestui hubungan mereka."

"Mas Ardi tahu, Ma?"

"Tahu dan dia sempat nggak percaya sama kita. Sampai pada akhirnya, kita memaksa mengenalkan Ardi sama kamu. Kami pikir, kalian cocok karena Ardi juga tampak bahagia ketika akan menikah dengan kamu."

"Jadi, Mas Ardi mau kenal sama aku itu karena paksaan dari Mama dan papa?" tanyaku tak percaya. 

Mama mengangguk dan kembali menangis. "Maaf, Li! Maaf! Mama nggak tahu kalau akan begini. Mama pikir, Ardi sudah benar-benar melupakan si Leni. Mama juga nggak ngerti kenapa si Ardi masih punya hubungan sama si Leni."

Aku terdiam mendengar penuturan mama.  Selama ini, aku telah mencintai orang yang tak mencintaiku. Aku telah berharap besar kepada orang yang tidak mengharapkanku. 

"Li! Maafkan mama!" 

"Ini bukan salah Mama, kok." Aku tersenyum dan berusaha setegar mungkin. Begitu pahit kenyataan yang ada di hidupku. Sungguh, ini jelas sebuah pernikahan yang tak diinginkan oleh suamiku.

"Tapi mama akan membantu kamu, Li."

"Membantu apa, Ma?"

"Tapi berjanjilah sama mama kalau kamu akan memperjuangkan rumah tangga kalian! Kamu adalah wanita yang tepat untuk mendampingi hidup Ardi," ujar mama mengiba.

Di saat terpuruk dan hancur seperti ini aku harus berjanji untuk mempertahankan rumah tangga. Bagaimana mungkin aku berjuang untuk lelaki yang mencintai wanita lain?

"Tapi, Ma—"

"Mama mohon, Li! Cuma kamu satu-satunya menantu idaman mama. Mama akan membantu hubunganmu dengan Ardi menjadi lebih baik."

"Bagaimana bisa, Ma? Sepertinya itu tidak mungkin."

"Mungkin, Li. Segala kemungkinan pasti akan terjadi. Berjanjilah sama mama untuk mempertahankan rumah tangga ini!" 

Aku menatap mama tak tega. Tanpa sadar, aku pun mengangguk pelan. Ini semua aku lakukan demi mama mertuaku. Semoga saja usaha mama dalam membantuku tiada sia-sia.

***

Semenjak kejadian itu, Mas Ardi bersikap begitu hangat kepadaku. Dia mulai menunjukkan perhatian-perhatian kecilnya. Namun, aku masih menaruh curiga dan mengawasi setiap gerak-geriknya. Sebenarnya, aku ingin ke rumah orang tuaku untuk menemui mereka, tetapi mama melarangku. Mama takut jika aku akan bercerita masalah perselingkuhan Mas Ardi.

"Dek, kamu mau dibawakan apa nanti?" tanya Mas Ardi seraya mengenakan kemejanya. 

"Nggak usah, Mas."

"Aku bawakan martabak, mau?"

"Nggak perlu, Mas."

"Tapi itu, 'kan, makanan kesukaan kamu."

"Terserah, deh, Mas."

Entah kenapa aku susah sekali untuk tersenyum kepadanya. Menyahuti perkataannya pun hanya seperlunya saja. 

"Kamu masih marah sama aku, Dek?"

"Aku ingin bertanya, tapi jawab jujur, Mas!"

Mas Ardi mendekati dan memegang kedua bahuku. "Apa, Dek? Aku pasti akan menjawab jujur." 

"Seberapa sering kamu tidur dengan Leni, Mas?" 

"A–apa maksudmu, Dek?"

"Jujur, Mas!"

"Dengar, Dek! Meski aku ada main sama Leni, tapi aku nggak pernah tidur dengannya."

"Terus, alat pengaman itu untuk apa?"

"Itu milik temanku, Dek. Jujur, kalau lipstik itu memang punya Leni, tapi kalau alat pengaman itu, aku nggak pernah memakainya. Aku nggak pernah sampai kebablasan begitu," ujarnya. Tatapan Mas Ardi begitu meyakinkanku, tetapi hati kecilku masih ragu.

Pria berkulit putih itu masih menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk dan berkata, "Ya, Mas, aku percaya."

"Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku tidak akan memiliki hubungan apa pun dengan Leni lagi." Perkataannya begitu meyakinkan diriku.

Mas Ardi merogoh saku dan mengambil dompet. "Dek, kamu pegang ini," ujarnya sambil menyerahkan kartu debitnya kepadaku. 

"Untuk apa, Mas?"

"Mulai sekarang, kamu yang pegang kartu ini. Terserah mau gunakan untuk beli apa."

"Oh, iya, sarapan, yuk, Dek! Aku sudah lapar, nih," katanya lagi. 

"Ya, Mas."

***

Siang hari, mama mengajakku pergi ke pusat perbelanjaan. Aku membeli beberapa baju baru dan baju malam sesuai saran mama. Setelah itu mama membawaku ke salon langganannya. Aku diminta untuk ikut melakukan perawatan kulit tubuh. 

"Pokoknya mama akan sering-sering ajak kamu ke sini."

"Kenapa gitu, Ma?"

"Biar kamu seneng, Li. Biar nggak suntuk di rumah terus. Iya, 'kan? Oh, ya, setelah pulang dari sini, nanti kita salon rias, ya?"

"Salon rias? Untuk apa, Ma?" 

"Merias kamu, dong, Li. Kamu harus tampil sangat cantik ketika Ardi pulang nanti. Biar Ardi semakin jatuh cinta sama kamu dan membuang jauh-jauh si Leni."

"Lily sama Leni cantik siapa, Ma?" tanyaku  ragu.

"Cantik kamu, dong, Lily! Putih juga putih kamu. Kamu tanpa make up saja sudah cantik apalagi kalau diberi make up pasti tambah cantik."

Melihat foto profil Leni, sepertinya ia memang pandai berdandan sehingga terlihat sangat menarik. Mungkin Mas Ardi suka dengan wanita yang selalu berdandan. Baiklah, aku akan mencoba menuruti seleranya.

***

Aku mulai mengubah penampilanku yang biasanya sederhana menjadi sedikit berbeda. Kali ini aku akan mencoba untuk membuat suamiku tertarik dan jatuh cinta. Entah bagaimana hasilnya nanti, yang penting aku sudah berusaha.

"Ma? Gimana, Ma?" tanyaku kepada mama yang menunggu di sofa.

"Wah!" Mama memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah. "Sangat-sangat cantik!" pujinya dengan senyum yang merekah.

Aku mengakui kalau dandanan di wajahku ini begitu bagus, berbeda dengan dandanan yang aku poles sendiri beberapa waktu lalu. Maklum saja, aku memang tidak pandai berdandan. 

"Ardi pasti terpukau sama penampilanmu, Li," ujar mama sambil mengepalkan kedua tangannya gemas. 

"Semoga saja, ya, Ma!" 

"Pasti, deh, pasti terpukau. Leni, mah, lewat."

Tak terasa aku dan mama menghabiskan waktu cukup lama di luar rumah. Hari sudah sore, mama mengajakku untuk segera pulang. Penampilanku benar-benar berbeda. Semoga saja Mas Ardi akan menyukai penampilanku yang seperti ini. 

Ketika kami keluar dari salon, tak sengaja aku bersenggolan dengan seorang wanita yang baru saja masuk. Dia memang berjalan tertunduk sambil bermain ponsel. 

"Aduh, hati-hati, dong, Mbak!" tegurnya kepadaku.

"Kamu?" Mama terkejut melihat wanita itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status