Aman yang pura-pura membeli minuman buat Rinay terlihat celingukan. Dia menoleh ke kiri dan kanan jalan sekali lagi. Pria itu memastikan apakah sang Nyonya majikan tak akan mencurigai perbuatannya. Rasa iba yang tumbuh di hatinya melihat Rinay, membuatnya terpaksa nekat menelpon Bagas.
“Hallo, Pak Bagas! Maaf, saya terpaksa nelpon Bapak penting!” sapa Aman begitu panggilannya dijawab oleh sang putra majikan.
“Ada apa, Pak Aman?” Terdengar nada panik dari ujung sana. Itu suara Bagaskara.
“Tolong Bapak pulang sekarang. Di rumah sedang ada masalah!”
“Ada apa? Mama dan istri saya baik-baik saja, kan?”
“Mereka baik, tapi ada satu lagi istri Bapak yang tidak baik. Eh, maksud saya, ada seorang perempuan kampung yang mengaku istri Bapak baru datang ke sini. Apa benar Bapak punya istri lain selain Nona Tatiana?”
“Ma-maksud Pak Aman?”
“Ini, Pak. Ada seorang perempuan kampung yang baru datang. Dia mengaku sebagai istri Bapak. Wajahnya pucat, kondisinya sangat memprihatinkan. Nyonya mengusirnya secara paksa. Kasihan dia, Pak.”
“Astaga! Rinay?”
“I-iya, kalau tidak salah dengar, nyonya memanggilnya Rinay. Maaf, Pak, apakah dia benar istri Bapak?”
“Tatiana, gawat! Jangan sampai istri saya tahu tentang dia.”
“Kenapa, Pak?”
Tut …tuts … tuts ….
“Pak! Pak Bagas ….! Wah, diputus lagi!” Aman terperangah menatap ponselnya.
*
Bagas kelabakan di kantornya. Ketakutan mendera. Janjinya kepada Tatiana, menjatuhkan talak kepada istri sirinya di kampung. Itu adalah syarat utama sebelum dia menikahi putri kesayangan Direktur Utama di perusahaan tempat dia dan papanya bekerja.
“Jangan sampai Rinay mengacaukan semuanya,” gumamnya panik. Segera dia menekan tombol di ponsel, memanggil nomor ibunya. Panggilannya tersambung, namun tak diangkat. Dia mengulang hingga tiga kali.
“Berarti di rumah keadaan benar-benar sedang kacau. Mama bahkan tak sempat mengangkat telponnya,” terkanya semakin was-was. Buru-buru dia memanggil nomor Tatiana.
“Sayang, kamu di mana?” tanyanya berdebar begitu panggilannya diterima.
“Di rumah, kenapa, Sayang? Kangen, ya?” sahut Tatiana menggoda.
Sontak Bagas menarik nafas lega. Apa yang dia khwatirkan tak terjadi rupanya. “Eem, kangen, banget. Nanti malam, ya! Kamu juga kangen, kan, aku bisa menangkap dari nada suaranya” jawabnya balik menggoda.
“Iya, cepat pulang, ya! Kebetulan ada pembantu baru, aku sudah menyuruh dia membersihkan kamar mandi kita. Sesekali pengen main di kamar mandi, dong! Di bawah pancuran shower, atau di dalam bathup. Sepertinya sensasinya luar biasa, deh.”
“Pembantu baru?”
“Iya.”
“Baru datang?”
“Iya, kenapa, sih, Mas, kok, kayaknya kaget banget?”
“Eeee-nggak, Sayang. Eeem, iya, ikut senang saja, imajinasi bercinta kamu membuat anganku melambung, jadi enggak sabar pengen cepat pulang, hehehe …. Baiklah, suruh pembantu baru itu yang bersih sikat kamar mandinya, ya, Sayang!”
“Ok!”
Bagas merasa luar biasa lega. Rinay ternyata dikira pembantu baru oleh Tatiana. Ini pasti karena kemahiran sang mama mengatur segalanya. Tetapi, dia masih merasa belum tenang juga bila belum bicara langsung dengan ibunya.
“Eem, Mama mana, ya, Sayang? Ponselnya gak diangkat, bolak-balik aku telpon?” tanyanya kemudian.
“Mama? Bentar, aku kasihkan ponsel aku ke Mama, ya! Jangan matiin!” Tatiana bergerak keluar kamar untuk mencari sang ibu mertua.
*
“Ma? Mama di sini? O … alah, Tian nyari Mama ke mana-mana? Rupanya di sini. Mas Bagas nelpon, Ma!”
Rahayu tersentak, sontak menoleh ke arah pintu gerbang yang sudah terkuak. Tatiana berjalan ke arah mereka dengan ponsel menyala di tangannya.
“Hey, Bibik-bibik ini, kok ada di sini? Bukannya langsung di suruh kerja? Tapi, tunggu! Halo Mas, ini Mama!” Tatiana menyodorkan ponselnya kepada Rahayu.
“Bagas nelpon? Dia bilang apa?” tanya Rahayu semakin panik. Segera dia raih benda pipih di tangan Tatiana, dan membawanya agak jauh agar pembicaraannya dengan Bagas tak terdengar oleh siapa siapa.
Tatiana menoleh kepada Rinay, memindai wajah pucat wanita itu dengan tatapan bingung.
“Kenapa Bibik di luar? Bukannya tadi saya perintahkan Bibik langsung kerja! Sikat kamar mandi jangan sampai suamiku pulang! Kenapa malah duduk di trotoar begini?” tanyanya bingung.
“Suami?” sergah Rinay terkejut.
“Ya, kenapa melotot begitu? Kayaknya kaget banget?”
“Mas Bagas itu suami Mbak?” ulang Rinay dengan suara serak.
“Ya, kenapa kaget? Bibik kenal suamiku?”
Rinay tidak menjawab. Lidahnya terasa kelu, otaknya serasa penuh. Sejenak bumi ini seolah berputar. Pandangannya menjadi gelap. Namun, detik berikutnya wanita itu berangsur tegak. Kini dia mulai bisa mencerna kenyataan yang tengah dihadapinya. Dia mulai sadar akan kejanggalan sikap ibu mertua. Perlahan dia bangkit, menepis debu yang menempel di rok lebarnya, lalu berjalan menghampiri sang ibu mertua.
Rahayu tak menyadari akan kehadiran Rinay di belakangnya.
“Gas, kamu bagaimana, sih? Kenapa kamu memberikan alamat rumah kita kepada Rinay! Sudah mama bilang, talak dia! Talak dia, Bagas! Kenapa masih kau tunda! Lihat sekarang hasilnya! Dia nekat menyusul ke sini, dan hampir saja mengacaukan segalanya! Untung saja Tatian tidak tahu siapa dia!” omel Rahayu menumpahkan kekesalannya.
“Maaf, Bagas pasti akan menalak dia, Ma! Tolong suruh dia pulang ke desanya lagi! Mama pasti bisa memaksanya!” sahut Bagas dari ujung sana.
“Kau pikir segampang itu menalak dia sekarang! Perempuan kampung itu hamil! Kok bisa, coba dia hamil! Mama udah bilang sama kamu, jangan sampai dia hamil! Dengar! Mama akan memaksanya pulang! Kau jumpai dia di terminal! Kau bujuk dia agar menggugurkan kandungannya, paham!”
*****
Bersambung
*****“Rindi … Rin … Rindi ….” Rinay memanggil. Bocah dua tahun itu tak ada di kamarnya. Harusnya dia tidur siang di jam seperti ini. Di kamar anak-anak hanya ada Deo sedang tertidur pulas.“Ning, Rindi mana?” teriak Rinay sambil berjalan menuju dapur.“Enggak ada di kamarnya, ya, Bu? Palingan main di halaman depan, seperti biasa,” jawab Ningrung sambil mencuci piring di samping meja kompor.“Loh, kan ini jam tidur siang anak-anak, Ning? Kenapa dibiarin main?”“Non Rindi selalu terbangun di jam seperti ini, Bu! Dia udah kenyang tidur siang, kok!”“Terus, dia main sendiri di halaman depan, begitu? Enggak ada yang mengawasi?”“Biasanya juga enggak lama, Bu. Bentar lagi juga balik. Dia marah kalau saya ikutin. Katanya dia mau main sendiri. Lagian di depan kan ada penjaga dan satpam.”“Lain kali, tolong jangan biarkan anak anak main sendiri! Meskipun ada penjaga di depan!”“Baik, Bu! Saya akan susul Non Rindi!”“Enggak usah, biar saya susulin sendiri!”***“Ooom …. Oooom …!” Seorang
*****“Bapak … saya … saya tidak percaya ini?” lirih Rinay kembali menundukkan wajah basahnya.Aldo kembali meraih dagu wanita itu, membawanya tengadah, lalu mengikis jarak di antara mereka. Embusan napas keduanya saling menerpa wajah masing masing. Betapa Rinay ingin menunduk, namun tak bisa lagi karena Aldo menahannya.Tak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata, saat wajah Aldo kian mendekat, hingga tak ada lagi jarak. Sebuah kecupan lembut mendarat di keningnya. Sentuhan paling lembut yang pernah dia terima. Bahkan Bagas tak pernah seperti ini caranya. Sentuhan sang manta suami selama ini teramat brutal, selalu membabi buta mengacak acak setiap senti kulit wajahnya.“Aku mencintaimu, Rinay! Tolong terima aku dan anakku! Kumohon,” pinta Aldo berbisik lembut di dekat telinganya.Tak ada penolakan, tak ada gelengan kepala. Namun, Rinay juga tak sanggup meski sekedar untuk mengangguk. Aldo telah menyatukan mulut dan bibir mereka.Wanita yang tengah hamil tiga belas mingg
*****Aldo pulang lebih awal sore ini. Keputusan Hendrawan yang akan memecat Bagas dan memaksa pria itu menceraikan Tatiana sangat mengganggu pikirannya. Bagas pasti akan marah dan bis saja melampiaskannya kepada Rinay. Tatiana juga sama. Dengan status jandanya dia pasti akan datang mengacau kehidupan Aldo selanjutnya. Semua itu akan berdampak pada Rinay. Wanita itulah yang akan menjadi sasaran mereka selanjutnya.“Rinay di mana?” tanyanya begitu memasuki rumah, Bik Yuni yang menyambutnya.“Di kamar Den Deo, Pak,” jawab Bik Yuni seraya meraih tas kerja sang majikan.“Ya, saya akan langsung menemuinya!” Aldo menuju tangga. Itu membuat Bik Yuni gelisah.“Maaf, Pak. Saya duluan, ya!” pamit seraya berjalan cepat menapaki anak tangga. Sikapnya yang gelisah dan buru-buru sempat membuat Aldo curiga, namun dia urung menegurnya. Dengan langkah tenang dia mengikuti Bik Yuni. Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar putranya.“Nay …! Bangun! Bapak Datang! Nay …! Nanti Bapak marah, kalau nge
“Anda … pasti berbohong!” Hendrawan menatap Aldo dengan tajam.“Saya tidak bohong, sebenarnya saya tak ingin mengatakan hal ini kepada Om. Saya berharap Om akan mengetahui sendiri nanti, tapi tidak dari mulut saya. Nyatanya Om membuat saya emosi. Maaf, Om harus mendengar informai tak enak ini,” tutur Aldo dengan nada rendah. Betapa dia khawatir sekarang, dia takut Hendrawan kenapa-napa.“Jadi, perempuan kampung itu ada di kota ini? Peremupan licik, murahan, tak tau malu! Buat apa dia mengejar Bagas ke sini? Baik, aku akan mengembalikannya ke kampung sana dengan caraku! Tapi, kenapa Bagas dan Tatiana merahasiakan ini dariku?” Hendrawan yang awalnya emosi, berubah sayu. Dengan tatapan menerawang dia lalu mendesah berat.“Om mengenal Rinay?” tanya Aldo kebingungan.“Bagaimana dia bisa hamil, bukankah Bagas sudah menalak dia begitu proyek irigasi itu selesai waktu itu? Lalu, Bagas meninggalkannya di kampung sana. Bagas juga berjanji tak akan pernah tidur dengan perempuan itu. Tapi, ke
“Masuk, Om!” sapa Aldo langsung bangkit dan keluar dari mejanya. Pria itu berjalan menyongsong Hendrawan.“Apa kabar, Om?” tanya Aldo lalu mengulurkan tangan hendak menyalam pria yang sebaya dengan papanya itu. Namun, tangannya mengambang di udara. Hendrawan tak mau menerima uluran tangannya.“Nih, Lihat!” Hendrawan melemparkan dua lembar kertas foto di lantai, tepat di kaki Aldo.“Ini hasil perbuatan Anda, bukan? Anda puas?” bentaknya menunjuk wajah Aldo.“I-ini, ini apa, Om?” Aldo terkejut. Pelan dia berjongkok, lalu meraih kedua foto itu. Gambar sebuah mobil yang sudah remuk terlihat di foto itu. Sesaat Aldo berfikir dn mencoba mengingat, dia seperti mengenal mobil itu. Tetapi lupa, di mana dan mobil siapa.“Oh, ini … mobil Pak Bagas. Ya, saya ingat sekarang, ini mobil Pak Bagas,” ucap Aldo kemudian. Kini dia paham, apa maksud kedatangan Hendrawan. Pasti untuk menuntut dirinya, karena anak buah Aldo yang telah menghancurkan mobil itu.“Apa maksud Anda melakukan ini, Pak
“Lepaskan saya, Pak?” kata Rinay setelah semua penyerang bar-bar itu diusir paksa oleh anggota Aldo.“Oh, iya, maaf! Kamu baik-baik saja?” Aldo spontan melepas pelukannya.“Hem, terima kasih. Untung Bapak datang, dari tadi saya mengetuk pintu kamar, tapi Bapak tidak bukakan,” lirih Rinay mengusap pergelangan tanganya yang memar karena bekas cekalan paman Maya tadi.“Aku tidak mendengar, bukan tidak mau membukakan. Aku terbangun justru karena mendengar tangis Deo. Astaga, itu artinya Deo yang menyelamatkanmu, Rinay!” Aldo bagai tersadar.“Begitukah? Bapak terbangun karena mendnegar tangisnya, itu artinya ikatan batin di antar kalian begitu kuat, Pak.”“Sepertinya dia sengaja membangunkanku, karena pengasuh yang sangat dia sayangi dalam bahaya.”“Oh.”“Hem. Kamu mungkin tidak sadar, ikatan batin justru terjalin antara kau dan Deo. Bukan dengan Maya.” Aldo menatap Rinay dengan lekat.Rinay menunduk. “Maaf, saya pamit ke kamar Den Deo. Permisi, Pak!” pamitnya merasa jengah.“Ya, Bik Yuni