“Terima kasih, Sayang! Kamu memang pandai memuaskan suami!” Bagas melemparkan tubuhnya di samping Rinay. Senyum penuh kepuasan tersungging di bibirnya.“Harus, dong, Mas! Suami udah capek kerja, jauh-jauh pulang ke desa, masa enggak aku servis seistimewa mungkin, iyakan?” sahut Rinay tersenyum manja. Hatinya berbunga-bunga. Tangan gemulainya lalu menarik selimut yang teronggok di bagian kaki ranjang, lalu menutupi tubuh polos mereka berdua hingga sebatas dada.“Tapi jangan lupa minum obatnya secara rutin, ya, Sayang!” Bagas menunjuk pil di atas nakas. Pil anti hamil yang sengaja dia bawa dari kota.“Itu obat apa, sih, Mas?” tanya Rinay merubah posisi tidurnya. Wanita itu tidur miring menghadap ke arah Bagas. “Itu vitamin biar rahim kamu subur! Biar cepat hamil. Mas pengen banget kita cepat-cepat punya anak Makanya kamu jangan pernah telat minumnya, ya! Dan satu lagi, jangan sampai Ibu atau Bapak tahu kalau kamu mengkonsumsi itu! Pokoknya siapapun tak boleh tahu, hem!” jawab Baga
“Mas Bagas, Mas datang? Alhamdulillah!” Rinay membuka pintu kamar, lalu menghambur ke pelukan Bagas. “Kenapa minggu lalu Mas enggak datang? Mas, kan, udah janji akan datang seminggu sekali,” rajuknya menenggelamkan tubuh di dada sang suami.“Maaf, ya! Minggu lalu Mas enggak bisa datang. Mas sibuk banget urusan kantor,” sahut Bagas mengeratkan pelukan.“Biasanya juga sibuk kantor. Tapi, kan, enggak sampai bolos datang! Aku kangen, Mas!”“Iya, Sayang, Mas juga kangen. Maaf, ya!”Bagas terpaksa berdusta, minggu lalu dia tak datang karena sibuk dengan pernikahannya. Tatiana, putri sang Big Bos yang telah lama diincarnya kini sudah sah menjadi istrinya. Istri sah, bukan istri siri seperti Rinay yang sengaja dia sembuyikan di desa.Malam ini dia sengaja mencuri waktu, diam-diam mendatangi Rinay di desa. Padahal baru empat hari yang lalu dia menikahi Tatiana. Mereka bahkan masih dalam suasana bulan madu. Bulan madu yang dia rasakan sangat hambar. Setiap detik memang mereka lewatkan bers
“Kamu yakin akan menyusul Bagas ke kota?” tanya Rusni saat Rinay mengemasi pakaiannya ke dalam sebuah tas berukuran sedang.“Iya, Bu. Yakin banget,” sahut Rinay memaksa mengulas senyum. Wajah cantik tanpa polesan itu terlihat sedikit pucat. Namun, senyum tetap dia ulas di sana. Sengaja, agar sang bunda tidak mengkhawatirkannya. “Baiklah, ibu akan mengantarmu,” usul Rusni bangkit dari duduknya. “Ibu akan ganti baju dulu,” lanjutnya seraya berjalan menuju kamar pribadinya, di sebelah kamar sang putri.“Enggak usah, Ibu. Ibu suka mabuk kalau naik Bus, kan? Nanti Ibu muntah lagi di perjalanan. Ibu enggak usah ikut, Rinay enggak tega. Perjalanan ke Medan itu butuh waktu empat jam, lho, dari kampung kita ini. Biar Rinay berangkat sendiri saja, ya!” cegah Rinay berusaha menghalangi ibunya.“Tapi, Ibu enggak tenang kalau kau berangkat sendiri, Nay! Bagaimana kalau terjadi apa-apa sama kamu, di sana nanti?” kata Rusni bimbang.“Memangnya apa yang akan terjadi, Ibu? Rinay datang ke rumah su
“Lho, kok, dia manggil ‘Ma’? Eh, Bik! Panggil dengan sebutan NYONYA! Kok pinter-pinteran manggil Ma! Gini, nih, kalau orang kampung baru masuk kota,” celetuk Tatiana ikut kaget.“Sabar, Sayang! Namanya juga masih adaptasi!” Rahayu menenangkan sang menantu sombong, sembari kembali mencekal dan menekan lengan Rinay dengan kencang.“Hem, ya, udah, lah, Ma! Ajarin dia etika seorang pembantu, jangan asal kepada majikan! Tian duluan, ya, mau istirahat di kamar.” Tatiana mendahului masuk. “Jangan lupa, suruh dia ke kamar kami, sikat lantai kamar mandi sampai bersih!” titahnya mengingatkan sekali lagi.“Iya, Sayang!” sahut Rahayu bernafas lega. “Eh, Rinaaaay …, kenapa kamu datang? Sama siapa kamu ke sini? Kok tahu kamu alamat rumah ini? Dapat alamat dari siapa kamu, ha?” cecarnya kemudian, sambil mengguncang-guncang lengan Rinay dengan kasar.“Sakit, Ma!” Rinay meringis dan berusaha melepas lagi cekalan di lengannya. Wajahnya memucat. Rasa kaget dan perlakuan Rahayu padanya membuatnya keh
Aman yang pura-pura membeli minuman buat Rinay terlihat celingukan. Dia menoleh ke kiri dan kanan jalan sekali lagi. Pria itu memastikan apakah sang Nyonya majikan tak akan mencurigai perbuatannya. Rasa iba yang tumbuh di hatinya melihat Rinay, membuatnya terpaksa nekat menelpon Bagas. “Hallo, Pak Bagas! Maaf, saya terpaksa nelpon Bapak penting!” sapa Aman begitu panggilannya dijawab oleh sang putra majikan. “Ada apa, Pak Aman?” Terdengar nada panik dari ujung sana. Itu suara Bagaskara. “Tolong Bapak pulang sekarang. Di rumah sedang ada masalah!” “Ada apa? Mama dan istri saya baik-baik saja, kan?” “Mereka baik, tapi ada satu lagi istri Bapak yang tidak baik. Eh, maksud saya, ada seorang perempuan kampung yang mengaku istri Bapak baru datang ke sini. Apa benar Bapak punya istri lain selain Nona Tatiana?” “Ma-maksud Pak Aman?” “Ini, Pak. Ada seorang perempuan kampung yang baru datang. Dia mengaku sebagai istri Bapak. Wajahnya pucat, kondisinya sangat memprihatinkan. Nyonya
“Kau jumpai dia di terminal! Kau bujuk dia agar menggugurkan kandungannya, paham!” perintah Rahayu kepada Bagas dengan suara agak berbisik. Namun, tetap terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. Rinay tak lagi kaget mendengarnya. Sebuah garis tegas dia tarik di sudut bibir ranumnya. Senyum sinis terbentuk di sana. “Apa? Rinay hamil? Bagaimana bisa?” Terdengar nada panik dari suara Bagas di ujung telepon. Itu terdengar juga oleh Rinay. Rahayu memang sengaja mengaktifkan pengeras suara di ponsel itu. Tanpa pengeras suara, dia tak bisa mendengar suara lawan bicaranya jika melalui saluran telepon. “Kenapa kau nanya Mama? Kau yang meniduri perempuan kampung itu! Bukan Mama!” Tak sadar, Rahayu meninggikan suaranya karena terbakar emosi. “Iya, Ma. Tapi aku sudah memberi dia obat anti hamil. Kok, bisa … dia hamil, coba?” keluh Bagas. Kali ini Rinay tersentak kaget. Kalimat Bagas seperti petir menyambar gendang telinga. Salah dengarkah dia? Bukankah Bagas memberi dia obat penyubur rahi
“Baik, aku mau bukti! Dia harus mengugurkan kandungannya di depan mataku, lalu Mas Bagas harus talak dia, juga di depan mataku! Bawa perempuan ini masuk!” tegas Tatiana lalu melangkah pergi. “Begitu? Itu yang kau inginkan?” Rinay menghentikannya. “Kau berani berbicara padaku? Lihat dirimu! Apa pantas manusia rendah seperti kau berbicara dengan perempuan terhormat seperti aku, ha?” Tatiana berbalik, lalu mencengkram dagu Rinay dengan kasar. “Jangan pernah sentuh aku!” bentak Rinay menepis cengkraman di dagunya. “Jangan pernah kalian bermimpi bisa mengugurkan kandunganku! Aku bisa membesarkannya meski tanpa suami! Aku tak butuh laki-laki bangsat itu! Ambil dia untukmu!” “Aku tak butuh laki-laki bangsat itu! Ambil dia untukmu!” ketus Rinay langsung beranjak pergi. Tas kain miliknya tak lupa dia ambil dulu di dekat gerbang. “Mau ke mana kau?” Tatiana menyambar tangannya. “Kau pikir, kau bisa keluar dari rumah ini begitu saja, setelah aku tahu kau mengandung anak suamiku, ha? Si
Dengan tangan gemetar, Bagas memutar anak kunci. Dia menguakkan daun pintu sedikit, lalu menyusup masuk. Dadanya berdebar hebat, saat netranya menemukan tubuh yang teronggok di sudut gudang.“Nay, Sayang …,” lirihnya memanggil nama wanita itu sambil berjalan cepat ke arah sudut. “Sayang, kamu baik-baik saja?” tanyanya menempelkan punggung tangan di kening sang wanita.“Kenapa menyusul ke sini? Apa benar kamu hamil, Sayang? Nay …,” bisiknya seraya memeluk sang istri.“Lepaskan aku, ba … jingan!” Dengan gerakan pelan, Rinay mendorong dada Bagas. Masih ada sisa tenaga yang dia punya. Bik Lastri tadi sempat memberinya segelas minuman hangat tadi.“Jangan sentuh aku! Mulai sekarang, haram tanganmu menyentuh tubuhku!” ancamnya dengan suara serak.“Jangan bicara begitu, Nay! Mas sayang sama kamu! Dengar, nanti Bik Lastri akan memberi kamu ramuan, kamu minum, ya! Biar cepat kuat dan pulih. Setelah kamu kuat, Mas akan mengantarkanmu pulang. Kamu tunggu di desa, Sayang! Seperti biasa. Ingat,