“Lho, kok, dia manggil ‘Ma’? Eh, Bik! Panggil dengan sebutan NYONYA! Kok pinter-pinteran manggil Ma! Gini, nih, kalau orang kampung baru masuk kota,” celetuk Tatiana ikut kaget.
“Sabar, Sayang! Namanya juga masih adaptasi!” Rahayu menenangkan sang menantu sombong, sembari kembali mencekal dan menekan lengan Rinay dengan kencang.
“Hem, ya, udah, lah, Ma! Ajarin dia etika seorang pembantu, jangan asal kepada majikan! Tian duluan, ya, mau istirahat di kamar.” Tatiana mendahului masuk. “Jangan lupa, suruh dia ke kamar kami, sikat lantai kamar mandi sampai bersih!” titahnya mengingatkan sekali lagi.
“Iya, Sayang!” sahut Rahayu bernafas lega. “Eh, Rinaaaay …, kenapa kamu datang? Sama siapa kamu ke sini? Kok tahu kamu alamat rumah ini? Dapat alamat dari siapa kamu, ha?” cecarnya kemudian, sambil mengguncang-guncang lengan Rinay dengan kasar.
“Sakit, Ma!” Rinay meringis dan berusaha melepas lagi cekalan di lengannya. Wajahnya memucat. Rasa kaget dan perlakuan Rahayu padanya membuatnya kehilangan semangat. Lututnya terasa lemas. Tenaganya menghilang seketika.
“Kamu juga, Aman! Kenapa kamu mengizinkan orang asing masuk ke dalam! Untung saja Tatiana tidak curiga!” sungut Rahyu mendelik kepada sang security.
“Maaf, Nyonya, Kakak ini mengaku kalau dia adalah istri Pak Bagas, meskipun saya tidak percaya. Tapi tiba-tiba dia menerobos masuk. begitu saja” Aman membela diri.
“Lain kali ini tidak boleh terulang! Mau kamu dipecat?”
“Maaf, Nyonya. Lain kali saya akan lebih hati-hati. Tapi, kasihan kakak ini, Nyonya. Dia sepertinya kelelahan. Wajahnya pucat sekali. Bagaimana kalau disuruh masuk dulu, atau saya ambilkan minum untuknya, ya, Nyonya?” usul Aman merasa iba dengan kondisi Rinay yang kian melemah.
“Tidak perlu, panggilkan saja becak yang melintas di depan! Suruh dia mengantar perempuan ini kembali ke terminal! Dia harus balik ke kampung sekarang juga!” perintah Rahayu semakin mengagetkan Rinay.
“Tidak, Ma! Saya jauh-jauh datang dari kampung ke sini buat bertemu Mas Bagas, juga Mama dan Papa. Saya sengaja datang diam-diam tanpa ngomong dulu sama Mas Bagas. Saya mau ngasih kejutan, Ma!” tutur Rinay memohon.
“Kejutan? Ok, saya benar-benar terkejut. Saya sangat terkejut dengan kedatangan kamu. Bahkan hampir saja saya kena serangan jantung sangkin terkejutnya. Cukup, ya, sekarang kamu pulang saja! Oh, iya, jangan khawatir dengan ongkos Bus dan uang saku, saya akan ngasih sangu buatmu! Kau juga harus beli oleh-oleh buat orang tuamu, kan? Sebentar, ini … ini ambil!” Rahayu mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari dalam saku gaunnya. Uang itu dia genggamkan di tangan sang menantu.
“Tidak, Ma! Saya tidak mau pulang! Mama harus dengar penjelasan saya. Ada berita bagus yang ingin saya kasih tahu sama Mas Bagas, juga mama dan papa!” Rinay menepis pemberian Rahayu.
“Berita bagus? Berita bagus apa?” Tak ayal Rahayu penasaran juga dengan kalimat Rinay.
“Saya akan memberi tahu kalau Mas Bagas ada. Saya akan tunggu dia pulang kerja. Tapi, saya harus tahu siapa perempuan yang bernama Tatiana tadi, Ma! Kenapa Mama mengancam saya enggak boleh bicara apa-apa dengannya?”
“Dia bukan siapa-siapa. Enggak penting kamu tahu tentang dia! Eeem, begini saja! Kita ke luar ayo! Jangan di sini. Kita bicara di luar!” Rahayu lalu menarik lengan Rinay lagi, kali ini keluar gerbang. “Bawa tas dia!” perintahnya kepada Aman.
“Saya nunggu Mas Bagas di kamarnya saja, Ma! Saya capek, saya merasa lemas banget. Saya mau istirahat!” pinta Rinay, langkahnya terseret mengikuti Rahayu yang menariknya secara paksa.
“Kita bicara di sini! Tutup gerbangnya, Man! Jangan sampai Tatiana tahu kalau kami di sini!” teriaknya kepada Aman.
“Baik, Nyonya. Tapi, itu, kakak itu semakin pucat saja, kasihan. Saya belikan dia air mineral di warung seberang itu, ya, Nyonya?” usulnya semakin prihatin melihat kondisi Rinay.
“Ya, sudah. Belikan sana!”
Aman bergegas menyeberang jalan sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Sengaja dia mencari kesempatan agar bisa menelepon Bagas.
“Sekarang, bilang, berita bagus apa yang ingin kau sampaikan, cepat!” Rahayu mengalihkan tatapan kepada Rinay.
“Nanti saja kalau suami saya sudah pulang, saya mau istirahat, Ma! Saya mual. Saya mau muntah, ouuugh …!” Rinay menangkup mulutnya.
“Kamu? Sebenarnya kamu kenapa? Berita baik apa yang ingin kau sampaikan sebenarnya? Jangan bilang kalau kamu ham ….”
“Ooooeg …. Oooouek …!” Rinay beringsut ke dekat selokan, mengeluarkan seluruh isi perutnya di sana.
“Kamu hamil?" teriak Rahayu dengan kedua mata membulat sempurna.
Rinay belum bisa berbicara, mual dan pusing kian mendera.
“Astaga, Rinay? Kamu ini muntah-muntah kenapa? Kamu tidak hamil, kan? Kamu cuma mabuk karena tadi naik bus dari kampung, kan?” cecar Rahayu lagi.
“Saya … saya mual mungkin karena saya …, ooouugh …!” sahut Rinay kembali mengeluarkan lendir dri mulutnya. Jemarinya berusaha menekan sendiri tengkuknya. Berharap mual dan pusing yang mendera segera reda. Wajah pucatnya kian mengapas. Peluh sebesar biji jagung bermunculan di kening, leher dan tengkuknya.
“Kamu mual karena apa? Jawab, Rinay! Mual karena apa?”
Rinay belum menjawab. Dia menunggu sesaat sampai merasa sedikit lebih tenang. Wanita itu terduduk di trotoar jalan, lemas, dia tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya. Isi perutnya sudah habis keluar.
“Beberapa hari ini saya memang sering tiba-tiba dilanda mual dan pusing. Tapi tidak separah kali ini,” ucapnya kemudian.
“A-apa? Kamu sering dilanda mual dan pusing tiba-tiba? Kamu … kamu udah periksa ke dokter?” Rahayu gelisah.
“Di kampung saya enggak ada dokter, Ma. Yang ada bidan.”
“Iya, sama saja. Apa kata bidan saat kamu periksa?”
“Saya akan memberitahu kalau Mas Bagas sudah pulang.”
“Astaga, Rinay! Kenapa harus menunggu Bagas! Bilang saja apa kata Bidan!”
“Ini kejutan, Ma! Saya mau Mas Bagas adalah orang pertama yang mendengarnya. Soalnya, dia sudah lama sekali menunggu hal ini.”
“Bagas udah lama menunggu hal ini? Menunggu apa?”
“Saya akan menunggu Mas Bagas dulu.”
“Kamu … kamu, eeeeh! Habis kesabaranku kau buat!” Rahayu mengepalkan kedua tangannya yang gemetar menahan geram.
*****
Bersambung
Aman yang pura-pura membeli minuman buat Rinay terlihat celingukan. Dia menoleh ke kiri dan kanan jalan sekali lagi. Pria itu memastikan apakah sang Nyonya majikan tak akan mencurigai perbuatannya. Rasa iba yang tumbuh di hatinya melihat Rinay, membuatnya terpaksa nekat menelpon Bagas. “Hallo, Pak Bagas! Maaf, saya terpaksa nelpon Bapak penting!” sapa Aman begitu panggilannya dijawab oleh sang putra majikan. “Ada apa, Pak Aman?” Terdengar nada panik dari ujung sana. Itu suara Bagaskara. “Tolong Bapak pulang sekarang. Di rumah sedang ada masalah!” “Ada apa? Mama dan istri saya baik-baik saja, kan?” “Mereka baik, tapi ada satu lagi istri Bapak yang tidak baik. Eh, maksud saya, ada seorang perempuan kampung yang mengaku istri Bapak baru datang ke sini. Apa benar Bapak punya istri lain selain Nona Tatiana?” “Ma-maksud Pak Aman?” “Ini, Pak. Ada seorang perempuan kampung yang baru datang. Dia mengaku sebagai istri Bapak. Wajahnya pucat, kondisinya sangat memprihatinkan. Nyonya
“Kau jumpai dia di terminal! Kau bujuk dia agar menggugurkan kandungannya, paham!” perintah Rahayu kepada Bagas dengan suara agak berbisik. Namun, tetap terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. Rinay tak lagi kaget mendengarnya. Sebuah garis tegas dia tarik di sudut bibir ranumnya. Senyum sinis terbentuk di sana. “Apa? Rinay hamil? Bagaimana bisa?” Terdengar nada panik dari suara Bagas di ujung telepon. Itu terdengar juga oleh Rinay. Rahayu memang sengaja mengaktifkan pengeras suara di ponsel itu. Tanpa pengeras suara, dia tak bisa mendengar suara lawan bicaranya jika melalui saluran telepon. “Kenapa kau nanya Mama? Kau yang meniduri perempuan kampung itu! Bukan Mama!” Tak sadar, Rahayu meninggikan suaranya karena terbakar emosi. “Iya, Ma. Tapi aku sudah memberi dia obat anti hamil. Kok, bisa … dia hamil, coba?” keluh Bagas. Kali ini Rinay tersentak kaget. Kalimat Bagas seperti petir menyambar gendang telinga. Salah dengarkah dia? Bukankah Bagas memberi dia obat penyubur rahi
“Baik, aku mau bukti! Dia harus mengugurkan kandungannya di depan mataku, lalu Mas Bagas harus talak dia, juga di depan mataku! Bawa perempuan ini masuk!” tegas Tatiana lalu melangkah pergi. “Begitu? Itu yang kau inginkan?” Rinay menghentikannya. “Kau berani berbicara padaku? Lihat dirimu! Apa pantas manusia rendah seperti kau berbicara dengan perempuan terhormat seperti aku, ha?” Tatiana berbalik, lalu mencengkram dagu Rinay dengan kasar. “Jangan pernah sentuh aku!” bentak Rinay menepis cengkraman di dagunya. “Jangan pernah kalian bermimpi bisa mengugurkan kandunganku! Aku bisa membesarkannya meski tanpa suami! Aku tak butuh laki-laki bangsat itu! Ambil dia untukmu!” “Aku tak butuh laki-laki bangsat itu! Ambil dia untukmu!” ketus Rinay langsung beranjak pergi. Tas kain miliknya tak lupa dia ambil dulu di dekat gerbang. “Mau ke mana kau?” Tatiana menyambar tangannya. “Kau pikir, kau bisa keluar dari rumah ini begitu saja, setelah aku tahu kau mengandung anak suamiku, ha? Si
Dengan tangan gemetar, Bagas memutar anak kunci. Dia menguakkan daun pintu sedikit, lalu menyusup masuk. Dadanya berdebar hebat, saat netranya menemukan tubuh yang teronggok di sudut gudang.“Nay, Sayang …,” lirihnya memanggil nama wanita itu sambil berjalan cepat ke arah sudut. “Sayang, kamu baik-baik saja?” tanyanya menempelkan punggung tangan di kening sang wanita.“Kenapa menyusul ke sini? Apa benar kamu hamil, Sayang? Nay …,” bisiknya seraya memeluk sang istri.“Lepaskan aku, ba … jingan!” Dengan gerakan pelan, Rinay mendorong dada Bagas. Masih ada sisa tenaga yang dia punya. Bik Lastri tadi sempat memberinya segelas minuman hangat tadi.“Jangan sentuh aku! Mulai sekarang, haram tanganmu menyentuh tubuhku!” ancamnya dengan suara serak.“Jangan bicara begitu, Nay! Mas sayang sama kamu! Dengar, nanti Bik Lastri akan memberi kamu ramuan, kamu minum, ya! Biar cepat kuat dan pulih. Setelah kamu kuat, Mas akan mengantarkanmu pulang. Kamu tunggu di desa, Sayang! Seperti biasa. Ingat,
“Aku tidak ada maksud begitu! Aku hanya tidak tega melenyapkan darah dagingku sendiri! Aku tidak mau menjadi pembunuh! Sedikitpun aku tak peduli padamu!” lirih Rinay menurunkan volume suaranya. Air mata mulai berlinang di kedu pipi. Putus asa, dia mulai kehilangan semangat.“Begini saja, kalau kau memang tak ingin kehilangan janinmu, kau ikuti saranku! Kau pulang ke desa, pura-pura tak terjadi apa-apa di sini! Jangan pernah datang ke sini, cukup aku saja yang datang seminggu sekali ke desamu, seperti bisanya, kau mau?”“Tidak!”“Kenapa? Apa masalahnya bagimu, coba? Toh, aku tetap memberi kau dan juga keluargamu jatah belanja tiap minggu? Itu sebenarnya yang kau dan keluargamu inginkan, kan? Uang, kan? Apakah orang tuamu merasa kurang? Ok, aku akan tambah dua kali lipat. Bagaimana?”“Aku tidak mau! Dari tadi aku sudah bilang kalau aku tidak mau menjadi istrimu lagi! Aku jijik padamu, Tuan Bagas! Aku jijik pada senjatamu yang kau celup sana sini itu! Perutku mual bila ingat ternyata
“Kamu harus mengumpulkan tenaga dulu, biar kuat lari sebentar lagi. Biasanya jam lima sore, Nyonya mandi. Kira-kira setengah jam lagi. Non Tatiana biasanya asik nonton drama korea di kamarnya. Gunakan kesempatan itu untuk lari! Bibik ambil minum dan makanan buat kamu, ya! Biar kamu bertenaga dan kuat untuk lari,” tutur Bik Lastri mengembalikan semangat hidup Rinay. Perempuan itu lalu bangkit, kemudian berjalan menuju dapur. Menuangkan segelas air hangat ke dalam gelas, membubuhkan dua sendok gula putih ke dalamnya. Setelah mengaduk hingga gula hancur, dia meraih dua potong roti di atas meja dapur. Segera dia membawanya kembali ke dalam gudang. Rinay masih terkulai lemas di lantai gudang yang dingin dan kotor. Kepalanya terasa begitu berat, pandangannya berkunang-kunang. Wanita itu tak sanggup untuk duduk menegakkan tubuh, apalagi untuk berdiri. Tenaganya sudah terkuras habis karena berusaha melawan tadi. “Nduk, ayo, minum dan isi perut kamu sedikit, biar ada tenaga!” Bik Lastr
“Tidak, Bik! Aku enggak tega melihat wajah kecewa Bapak sama Ibuku, bila aku pulang ke kampung dengan situasi seperti ini. Aku kabur dari rumah suamiku, karena sumiku tak menerimaku. Tak menerima janin di perutku. Bagaimana aku bisa mengatakan hal ini kepada Bapak dan Ibu. Bagaimana caraku menjelaskan kalau ternyata suamiku sudah punya istri baru di kota ini, wanita pilihan orang tuanya, sedangkan aku dibuang begitu saja. Aku enggak tega, Bik!” “Iya, tapi kamu bisa apa? Kita ini orang miskin, lemah, enggak punya kekuatan apa-apa! Ingat, Nduk! Kita cuma bisa nerima kenyataan! Manut pada nasip yang sudah ditetapkan oleh Allah buat kita yang lemah dan miskin ini!” “Tidak, Bik! Aku yakin, Allah juga tidak mau melihat aku diinjak-injak seperti ini. Dia juga pasti ingin aku bangkit.” “Buktinya kita dia ciptakan menjadi manusia miskin, Nduk!” “Aku memang miskin, aku perempuan kampung yang sempat tertipu mulut manis laki-laki kaya tapi licik itu. Tetapi, aku bukan perempuan bodoh yang h
“Iya … iya, ayo!” Aman buru-buru membuka pintu gerbang. Membawakan tas kain milik Rinay yang tadi dia sembunyikan di pos jaga. Bik Lastri segera melambai ke sebuah beca yang melintas. “Tolong antarkan gadis ini ke Ladang Bambu Pancur Batu. Jalan Krakatau No 40 A. Ini ongkosnya, bisa, ya, Bang!” titahnya kepada sang supir beca. “Wah, jauh banget itu! Mana cukup dua puluh ribu,” tolak sang supir cepat. “Ya, sudah, ini, aku tambahi!” Aman mengeluarkan uang sepuluh ribu. “Lima ribu lagi, kalau enggak cari beca lain saja. Jauh itu, dibayar cuma segitu!” sungut sang supir. “Ya, sudah ini … ini! Antar sampai tempat, ya!” Aman menambahi lagi. “Sementara kamu tinggal di rumah anak bibik! Nanti bibik telpon dari sini, biar dia enggak kaget kedatanganmu! Baik-baik di sana, ya, Nduk!” Rinay memeluk Bik lastri, menyalam dan mencium punggung tangan bang Aman. “Non …! Nyonya …! Non Tatiana …! Nyonya …!” Terdengar Bik Lastri berteriak-teriak panik. Segera para penghuni rumah berhamburan