Daffin tidak bisa menutupi rasa cemas dan gugupnya. Bagaimana bila Hana kehilangan kedua tangannya karena perbuatan yang dilakukannya. Dilihatnya Hana sekilas dan kembali fokus dengan kemudinya.Hana sangat takut ketika melihat Daffin yang mengemudi dengan kecepatan tinggi seperti ini. Pria itu tidak ada henti-hentinya membunyikan klakson mobilnya. "Tuan, tolong pelan sedikit, saya takut."Daffin baru menyadari akan bahayanya mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi seperti ini. Saat ini meskipun tidak ada kemacetan, namun kondisi jalan cukup padat. Ia menurunkan gas mobilnya dan sedikit melambat.Daffin memberhentikan mobilnya di parkiran rumah sakit. Ia kemudian turun dari dalam mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit. Mobil ditinggalkan dalam keadaan masih menyala. "Yang sakit aku, kenapa dia yang lari ke dalam dan tinggalkan aku. Apa dia gak tahu, kalau aku gak bisa buka pintu." Hana menangis. Disaat kondisi sakit seperti ini, suaminya tetap tidak peduli kepadanya. Hana men
"Istri pak Daffin mengalami Dislokasi bahu di tangan sebelah kanan dan dislokasi siku di tangan sebelah kiri. Saya sangat kasihan sekali lihat istri, pak Daffin." Dokter Irwan berkata sambil memandang hasil ronsen di tangannya."Apa itu dislokasi dok?Apa ini parah?" Tanya Daffin."Dislokasi bahu ini, adalah kondisi ketika bonggol tulang lengan bagian atas terlepas dari sendi bahu. Dalam artian tulang bagian bahu bergeser. Sedangkan bagian siku, juga mengalami hal yang sama. Jadi tidak ada yang namanya patah tulang ,namun rasa sakit yang diderita oleh pasien, sangat sakit sekali."Lalu apa penanganannya dok, apa perlu dioperasi?" tanya Daffin dengan panik."Untuk sementara ini saya tidak menyarankan di operasi." Dokter Irwan sedikit tersenyum."Lalu dok?" Daffin tidak tega melihat Hana yang terus menangis dan kesakitan seperti ini. Untuk pertama kalinya ia merasa kasihan dan merasa bersalah seperti ini, melihat kondisi Hana."Kita akan melakukan penanganan segera, untuk mencegah send
"Ini kamar rawat kamu. Bagaimana, apa kamu suka?" Daffin memandang Hana dengan tersenyum. Hana diam ketika mendengar ucapan suaminya yang begitu sangat menjengkelkan. Bila dirinya memiliki keberanian, sudah pasti Hana ingin memaki-maki pria yang saat ini berdiri di depannya. Ia ingin melupakan rasa kemarahannya. Namun Hana hanya bisa berangan dan bermimpi. Pada kenyataannya, ia sungguh tidak berani melakukan hal tersebut. Apa yang dilakukan Daffin, membuat rasa ketakutan dan trauma untuknya. "Aku tinggal sebentar, kamu duduklah di sini." Daffin memandang sofa yang ada di dalam kamar. Hana hanya diam memandang sofa yang di tunjukkan oleh suaminya. Setelah memastikan, istrinya berada di dalam kamar, Daffin kemudian pergi. Hana hanya diam memandang ke sekeliling kamarnya. Kamar ini memiliki fasilitas yang sama seperti hotel. Ia tidak menduga bahwa suaminya mengambil kamar kelas presiden suite seperti ini. Melihat kamar yang saat ini ditempatinya, membuat Hana tak tenang dan memili
Daffin diam memandang istrinya. Pria itu tidak berbicara apa-apa lagi. Diberikannya waktu untuk Hana beristirahat."Permisi pak, saya mengantarkan makanan siang pasien." Ucap petugas rumah sakit yang mengantarkan makan siang pasien di jam 11 siang."Iya letak saja." Daffin masih duduk di tepi tempat tidur yang saat ini ditiduri oleh Hana. Sejak tadi ia hanya diam memandang wajah istrinya yang pucat.Setelah petugas rumah sakit meletakkan nasi, jus, buah dan cake, wanita yang berseragam biru itu keluar.Daffin mengambil nasi goreng yang tadi di belinya. kemudian duduk di sofa dan memakan nasi gorengnya. Daffin beranjak dengan cepat dari duduknya ketika mendengar Hana menangis meminta tolong. Ia berlari ketempat tidur Hana. Daffin diam ketika dilihatnya Hana yang ternyata sedang tertidur.Air mata menetes di celah matanya. "Tolong hentikan sakit. Tolong jangan buat saya seperti ini. Tolong lepaskan saya." Hana berkata dengan menangis. dirinya begitu sangat rapuh saat ini. tidak ada
Hana terbangun setelah dirinya merasa tidur cukup lama. Selama menikah dengan Daffin ini untuk pertama kalinya, ia merasakan tidur dengan waktu yang lama seperti ini, sehingga rasa lelah di tubuhnya sedikit berkurang. Hana diam ketika merasakan bahwa ia sedang dikompres. Dipandangnya tangan kiri dan kanannya yang juga sedang dikompres. "Sudah bangun?" Mita mengusap kepalanya dengan lembut. Wanita paruh baya itu tersenyum dan mencium pipi Hana. Hana diam ketika melihat ternyata ada mama mertuanya di dalam kamarnya. "Sudah tante," jawabnya."Jangan panggil tante, panggil mama." Mita tersenyum dan mengambil handuk yang menempel di kening Hana. Ia kembali membasahkan handuk itu dengan air dingin dan meletakkan di kening Hana. "Gimana apa masih sakit?" Mita mengusap pipi Hana.Hana menggelengkan kepalanya. "Tangan Hana rasanya kebas dan seperti kesemutan," ucapnya yang masih belum bisa merasakan tangannya."Tidak apa-apa, itu karena efek dari obat bius." Mita tersenyum.Hana hanya diam
Hana berpikir sejenak. Dalam kondisi sakit seperti ini, rasanya malu harus di abaikannya. Ia begitu sangat takut dengan Daffin. Apa yang dilakukan suaminya semalam, masih terbayang jelas oleh ingatannya. "Ayo Mama antar." Mita membantu Hana untuk duduk. "Iya ma." Hana yang sudah tidak tahan ingin membuang air kecil, akhirnya menerima niat baik mertuanya. Ia berangsur duduk dengan sangat berhati-hati dan kemudian turun dari tempat tidur dengan dibantu mama mertuanya. Daffin tidak bisa membayangkan, bagaimana kemarahan mamanya bila mengetahui perbuatan yang dilakukannya terhadap istrinya.Mita berjalan dengan memegang pinggang Hana. Ia masuk ke dalam kamar mandi bersama dengan Hana. Tanpa bertanya, Mita mengangkat rok yang saat ini dipakai menantunya. Melihat bagian paha Hana, membuatnya terkejut. Goresan yang berdarah dan cukup panjang. Dengan darah yang sudah mengering. Luka gigitan yang masih tampak jejak gigi. Mita diam sejenak saat melihat ini semua. Dibukanya celana dal
Apa yang dilakukan suaminya, bukan hanya melukai tubuh, dan hatinya, namun memberikan rasa trauma untuk Hana. Ia diam memandang Daffin beberapa detik dan kemudian memandang ke arah yang berbeda. Sikap baik yang diberikan Daffin untuknya, hanya sandiwara belaka. Pria itu begitu sangat pandai berakting seperti ini, berpura-pura baik dan menyayanginya di depan depan kedua mertuanya. Hana diam sejenak dan kemudian mengganggu kan kepalanya. Apapun yang terjadi saat ini, dirinya hanya bisa bersyukur karena selama berada di dekat kedua mertuanya, suaminya mungkin tidak akan mau menyakitinya. Sandiwara apapun yang akan dilakukan suaminya, akan diikutinya. Mita bisa melihat, ketakutan yang dirasakan Hana. Dipandangnya Daffin dengan membesarkan matanya.Dilihat dengan cara seperti ini, membuat dirinya merasa tidak nyaman. Ia tahu, bahwa mamanya sangat marah terhadapnya. Sejak tadi mata mamanya memandangnya dengan melotot. Pasrah dan menerima amukan mamanya. Hanya ini jalan satu-satunya yang aka
"Papa rasa ini adalah keputusan terbaik." Surya sudah memikirkan hal ini, namun dirinya enggan untuk mengatakan kepada Daffin. Setelah mendengar apa yang dikatakan istrinya, membuat dirinya yakin dengan keputusan yang akan diambilnya."Aku janji ma, aku nggak akan ulang lagi yang seperti ini." Daffin berusaha mempertahankan istrinya."Di mana letak perasaan kamu ketika kamu memperlakukan istrimu dengan tidak wajar. Apa kamu lihat seperti apa tatapan matanya. Bila mama menjadi dia, mungkin mama menganggap kematian adalah hal terindah daripada hidup dengan binatang yang berwujud manusia seperti kamu."Perkataan yang keluar dari mulut mamanya bagaikan belati yang menancap jantungnya. Mengapa perkataan mamanya, terasa begitu amat pedih dirasakannya."Tujuan kamu menikahinya hanya untuk menyakitinya. Kamu berharap mantan tunangan kamu akan menyesal dengan perbuatannya. Sesakit apapun hati kamu tidak semestinya kamu memperlakukan dia seperti itu. Sekarang lepaskanlah dia." Surya memandang