Mia dan Satria tiba di ruang tengah saat obrolan Haris dan Isabella berakhir. “Beristirahatlah ....” senyuman lembut Mia mengarah pada putra dan menantunya. Jadi, kini Satria dan Isabellla masuk ke dalam kamar.
“Apa yang kamu bicarakan sama papa?” tanya dingin Satria.
“Tentang yang tadi.” Isabella tidak bertele-tele dan tidak menyembunyikan apapun.
“Orangtua kamu tahu?” Tatapan Satria segera menyelidik.
“Tidak.” Isabella menatap Satria, tetapi Satria tidak terlihat sebagaimana suami, justru sejak peristiwa tadi Isabella selalu merasa jika Satria adalah ancaman.
“Katakan saja!”
“Heuh?” Tentu saja ucapan Satria di luar dugaan Isabella.
“Kalau kamu mengadu, ada kemungkinan orangtua kamu semakin tidak menyukai saya, dan mungkin tidak lama lagi orangtua kamu meminta saya menceraikan kamu. Itu bagus.” Kini, Satria menyeringai.
“Saya tidak akan mengatakan apapun pada mama dan papa.” Kalimat Satria berbanding terbalik dengan orangtuanya. Itu mengejutkan, tetapi setelah mendengar alasannya, Isabella merasa itu bukan hal aneh.
“Jadi kamu ingin kita terus berumah tangga walaupun tidak ada cinta?” Tatapan Satria menyelidik sekalian mengiris.
“Saya tidak mau menyakiti papa dan mama setelah saya mengecewakan mereka.” Suara Isabella selalu santun dan terjaga.
“Ck. Jujur saja, kamu ingin kita terus menjalani pernikahan. Apa kamu mulai nyaman dengan saya?” Satria menyunggingkan bibirnya dengan kesan mengejek.
“Kita sudah menikah, jadi saya akan bersikap dan menjalankan kewajiban saya sebagaimana seorang istri.”
“Jangan membahas tentang kewajiban atau apapun itu. Itu menjijikan!” Raut wajah Satria terlihat sangat menakutkan di mata Isabella, seakan Satria ingin menyerangnya, tetapi dia sedang menahan niatnya.
Isabella menunduk sesaat untuk menghindari tatapan Satria yang bagaikan serigala haus memangsa, kemudian mengalihkan pembicaraan seiring menyiapkan selimut. Jadi, dia tidak perlu menatap mata Satria. “Sudah pukul sebelas malam.”
Satria berdecak, dia memandangi tidak suka ke arah Isabella, kemudian mendengus. “Jadi malam ini kamu akan tetap tidur di kamar saya?”
Isabella masih memunggungi Satria, tapi kali ini dia membalik tubuhnya. “Iya, saya tidak bisa tidur di tempat lain.”
Satria segera berjalan ke arah Isabella, menatapnya bersama dengusan seolah ingin memakan istrinya hidup-hidup. Namun, saat ini wajah mereka cukup dekat hingga isi kepala Satria mulai memikirkan hal lain. “Apa kamu masih perawan?”
Tentu saja Isabella kaget mendengar pertanyaan Satria yang seolah sedang merendahkannya. “Selama ini saya menjaga diri dari semua lelaki hingga tidak ada yang menyentuh saya.”
“Bagaimana pacar kamu?” Tatapan Satria memang sedang merendahkan Isabella.
“Saya tidak pernah berpacaran.”
“Usia kamu lebih tua dari saya. Tidak mungkin tidak pernah berpacaran dan tidak mungkin kamu masih perawan!” Satria semakin meremehkan Isabella dan terkesan menghina, menganggapnya wanita murahan.
“Saya berani bersumpah. Andai kamu menyentuh saya, kamu adalah laki-laki pertama yang melakukannya.” Matanya sudah mulai berkaca karena penghinaan Satria ternyata lebih menyakitkan dari sikap dinginnya.
Tatapan Satria mulai mengarah pada dada Isabella. Isabella menyadari hal ini, tetapi mereka adalah pasangan suami dan istri, bagaimanapun juga dia sudah berjanji akan menjalankan kewajiban seorang istri pada suaminya.
“Saya harus membuktikannya karena walaupun saya tidak berniat hidup sama kamu sampai akhir hayat, tapi saya tidak mau bersama perempuan kotor, apalagi perempuan itu sudah menjadi istri saya.” Seringai genit mulai menyala, tetapi Satria hanya akan memanfaatkan tubuh Isabella, bukan sedang menjalankan kewajiban suami pada istrinya.
Lagi, Isabella harus menelan rasa sakit sendirian. Dia hanya bisa menjerit di dalam hatinya saat mengartikan tatapan Satria. “Saya bisa membuktikannya.” Suaranya mulai gemetar karena rasa sakit di hatinya menghujani.
Satria kembali memandangi tubuh Isabella, kali ini mulai memandanginya dengan detail, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kulit Isabella tampak halus, kulitnya putih dan bercahaya, juga segar. Maka, imajinasinya mulai menganggap bahwa bagian yang tertutup lebih bagus dari pada yang terlihat. “Buka bajumu!” titahnya tanpa ragu.
Namun, Isabella mengerjap. “Sa-saya ... malu ....” Isabella masih berdiri di tempatnya, tidak ada pergerakan. Dia juga tidak menutupi bagian dadanya walaupun tatapan Satria sering mengarah kesana.
“Kenapa malu? Saya suami kamu. Itu kan yang selalu kamu bahas. Kamu akan menjalankan kewajiban seorang istri, jadi seharusnya kamu mengerti yang ini.” Satria semakin menyeringai karena dia mulai menikmati mempermainkan Isabella.
Saat ini Isabella tidak dapat melakukan apapun walaupun saat ini dia sangat malu. “Sa-saya ... akan membuka pakaian, tapi matikan lampu besarnya.” Suaranya semakin gemetaran karena gugup.
“Tidak. Biarkan lampu besarnya menyala. Saya tidak bisa melihat apapun kalau hanya memakai lampu tidur.” Seringai Satria semakin berkibar hingga seakan terlihat cabul.
Perlahan, tangan Isabella mulai mengarah pada bagian kancing di dadanya. Tanggannya gemetaran dan berkeringat. Dia sangat malu dan merasa sedang dipermainkan, dia merasa Satria menganggapnya sebagai wanita jalang, tetapi Satria adalah suaminya. Kedua prinsip ini sangat bertolak belakang bagaikan setan dan malaikat.
Namun, saat salah satu kancing terbuka justru Satria memalingkan wajahnya. “Kamu akan membukanya?” Satria bertanya tanpa menatap Isabella.
“Kamu yang minta.” Suara Isabella mulai mengecil karena terlalu gugup.
“Kenapa?”
“Karena kamu suami saya. Kamu berhak atas saya.”
Satria menghembus udara panjang. Dia membalik tubuhnya. “Bukan kamu yang saya mau, tapi Naura.” Suaranya terdengar sangat sendu.
“Saya tahu ....” Begitupun Isabella.
Selama beberapa saat, Isabella menatap lantai yang dingin tetapi tidak sedingin sikap Satria. Pun, Satria tidak pernah menoleh. Tetapi di detik kemudian Satria menarik lengan Isabella hingga tubuhnya terjatuh di atas tempat tidur, di bawah tubuh Satria.
Bersambung ....
Hari demi hari berganti, ucapan Satria bukan hanya bualan karena dia membuktikannya lewat sikap yang tulus walaupun Haris tidak melihatnya secara langsung karena pasangan suami dan istri ini tinggal terpisah dengan pria itu.Setiap malam, Satria menemani Isabella menyusui Attar, dia juga sering membantu mengganti popok atau pakaian basah Attar.Satria melakukannya diiringi senyuman lembut, tutur kata senada, serta belaian penuh kasih sayang pada Attar dan Isabella.Kini, usia Attar sudah dua minggu. “Nanti kita adakan acara potong rambut sama aqiqah. Saya sudah coba bicara sama Mama, tapi belum secara langsung,” ucap lembut Satria pada Isabella.Namun, bagaimanapun sikap Satria, nyatanya Isabella tetap bersikap datar. “Iya.”“Saya sudah menabung, semoga cukup buat acara besar.” Kini Satria terkekeh. Kemudian menyodorkan uang belanja sekalian uang susu dan pempers pada Isabella. “Kalau uangnya nggak sampai minggu depan, jangan sungkan minta lagi ya, Sayang.” Tatapannya sangat lembut.“
Ini adalah malam pertama Isabella dan Satria tidur bersama bayi mereka. Bayi merah itu terlentang di tengah-tengah pasangan suami istri ini. Tidak henti Satria menatapnya diiringi senyuman.Isabella menyadarinya, tetapi dia masih bersikap dingin dan datar. “Saya akan tidur, lagian Attar tidur. Ini kesempatan saya untuk ikut tidur.”“Ya, Sayang. Kamu tidur saja, biar nanti aku yang menjaga Attar.”Isabella tidak pernah meminta, tetapi tidak mungkin menolak perhatian Satria pada bayi mereka.Jadi saat Attar menangis tengah malam, Satria yang menjaga dan mengasuh. Dia juga menghangatkan asi yang sudah tersedia di dalam botol. Tidak lupa menyuruh Isabella kembali tidur setelah sempat terbangun karena tangisan Attar.Hingga saat pagi hari Satria terlambat bangun, tetapi Isabella membiarkan suaminya tanpa peduli aktivitas apa yang menanti Satria.Satria tersentak saat melihat jam dinding. “Hah, serius sudah jam sembilan!”“Ya,” jawab datar Isabella.“Harusnya saya kuliah pagi. Sekarang saya
Suana hening sangat lama, hingga Satria kembali bicara. “Apa kamu tetap akan melanjutkan perceraian, apa kamu akan mengubah keputusan kamu?”Isabella menjawab santun, “Saya yang harus menanyakan itu pada kamu.”“Kalau saya tetap melanjutkan?”“Saya juga ....” Hati Isabella seakan sudah kebal pada rasa sakit. Bahkan yang ini. “Kalau kamu memilih berpisah, sebelumnya kamu harus beri nama anak kita.” Ini adalah permintaan sederhana Isabella, tetapi diwajibkan pada Satria.Satria memandangi Isabella karena tatapan istrinya seolah tanpa keraguan walaupun mereka bercerai.Satria kembali menunduk, tetapi tidak melepaskan tangan Isabella. Lalu berkata lirih, “Naura pergi. Dia mencampakan saya. Apalagi yang harus saya lakukan karena andai berpisah sama kamu, saya tidak yakin Naura akan bersama saya ....”Isabella menjawab datar, “Itu urusan kamu. Jangan menjadikan saya cadangan karena kamu gagal mendapatkan Naura!”Satria kembali memandangi wajah Isabella. Kini, dalam tatapan Isabella terdapat
Satria masuk ke kamar rawat, jadi dia bertemu dengan orangtuanya dan orangtua Isabella yang sedang berkumpul.Semua orang menyambut kedatangan Satria dengan hangat, termasuk Isabella. Mia segera menggiring putranya menuju tempat mereka duduk berkumpul. “Alhamdulillah kamu sudah datang ....” Senyumannya menunjukan kebahagiaan, tetapi hatinya sangat kesal pada Satria setelah mengetahui sikap buruknya pada Isabella dan bayi mereka yang belum diberi nama.Tanpa persetujuan Isabella, Mia segera meraih amplop cokelat yang berisi laporan hasil test DNA hingga gadis ini terkejut.Namun, ternyata Mia menyampaikannya sangat bijak di hadapan suaminya, anaknya dan kedua mertuanya. “Ini hasil test DNA anak kalian. Dokter yang memberikannya karena Isabella seorang perawat walaupun bukan di rumah sakit ini, jadi Abel memiliki hak istimewa, yaitu mendapatkan test DNA tanpa perlu meminta.”Mia
Isabella hanya menatap sendu pada langit-langit. “Bukan perpisahan yang Abel mau karena sebelum itu Satria harus tahu jika selama ini saya mengandung anaknya ....”Pun, hatinya semakin lebur saat memikirkan bayi mereka. “Sabar ya, Sayang ... pasti akhirnya Papa kamu akan menerima kamu ....”Bayi mungil itu berada di dalam box yang sangat hangat, wajahnya sangat polos dan murni.Namun, ternyata hari ini Satria tidak datang ke rumah sakit dan dia juga tidak terlihat di rumah. Maka Haris sangat murka.Saat ini, hanya Mia yang menemai Isabella hingga ketukan pintu memecah keheningan dan membuat wanita ini bersemangat. “Pasti itu Satria! Mama buka dulu ya, pintunya.” Mia segera meletakan pisau di atas piring saat buah yang dikupasnya belum selesai.Isabella hanya memandangi punggung Mia yang semakin mendekati pintu, tetapi dia tidak yakin itu Satria. “Kalau itu Satria, harusnya tidak usah mengetuk pintu.”Mia tersenyum bahagia saat membukakan pintu, tetapi senyumannya perlahan redup karena
Satria berjuang demi menghentikan kepergian Naura, tapi sudah terlambat karena Naura sudah berjalan hendak masuk ke dalam pesawat. Namun, Satria juga melihat Devan yang berjalan di belalang Naura. Devan sempat melirik dan menyadari kehadiran Satria, tetapi dia memilih abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini kepala Satria dipenuhi pertanyaan. "Kenapa Naura bersama Devan?" Sekaligus, dia harus rela saat hatinya sakit dan hancur karena harus menyaksikan kepergian Naura. "Nay ...." Rintih Satria. Naura menoleh karena panggilan lemah Satria membuat dadanya berdebar, tetapi sayangnya keberadaan Satria terhalangi oleh lalu lalang. Naura menundukan wajahnya sangat sendu. "Pasti cuma perasaan karena tidak mungkin Satria mencegah saya pergi ...."Maka, akhirnya Naura terbang keluar negeri meninggalkan semua kenangannya bersama Satria. Pun, Satria harus menyaksikan hari-harinya dengan Naura berakhir dan mungkin tidak akan pernah terulang.Satria termenung cukup lama di bandara ka