Share

04

Aruna tersentak kemudian kembali menoleh ke arah Chandra yang masih tetap diam di posisinya.

Pria itu menghela napas kasar kemudian mendekat ke arah Aruna dan menepuk bahu gadis itu pelan sebelum kemudian berkata sesuatu.

“Seperti yang kau katakan sebelumnya, tidak ada yang gratis di dunia ini,” ucapnya dengan senyum tipis yang saat ini terlihat begitu menjengkelkan di mata Aruna.

“Apa kau sengaja melakukannya?” pertanyaan yang meluncur bebas dari mulut Aruna membuat Chandra terdiam sebentar. Gadis itu melanjutkan kemudian.

“Kau sengaja melunasi hutang keluargaku dengan nominal yang jauh lebih besar agar kau bisa menggunakannya untuk menjebakku. Sebenarnya apa yang kau rencanakan!” teriakan Aruna membuat Chandra tersentak.

Pria itu kemudian berpikir sejenak sebelum kemudian menanyakan sesuatu pada si gadis.

“Jadi hutang keluargamu tidak sejumlah tujuh puluh juta?” 

Pertanyaan bodoh yang membuat Aruna mengerang frustasi. Ingin rasanya ia mematahkan leher pria di hadapannya saat ini yang justru melihatnya dengan wajah bertanya.

Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Aruna, Chandra hanya menggaruk kepalanya, malu.

“Informasi yang diberikan Adi sama sekali tidak berguna,” gumamnya lirih.

Pria itu kemudian kembali menatap Aruna yang saat ini tengah menatapnya dengan pandangan yang cukup suit untuk dijelaskan.

Ia seperti ingin melahap Chandra saat itu juga, namun juga ada tatapan sarat akan luka di sana.

Sebenarnya tanpa harus banyak menebak ataupun menerka, Chandra sudah tahu sedikit banyak soal apa yang mungkin saja sedang dirasakan oleh Aruna.

Ia sudah mendapatkan informasi mengenai gadis itu sebelumnya, tentu saja.

Sebuah dehaman yang keluar dari kerongkongan Chandra jadi suara yang terdengar pertama kali. 

Pria itu kemudian membenarkan kerah kemeja yang dikenakannya dengan sesekali mencuri pandang ke arah Aruna yang sejak beberapa menit lalu hanya menarik juga menghela napas dengan wajah gusar.

“Begini saja kau setuju saja dengan permintaan yang ku katakan tadi, dengan begitu kau bisa melunasi uang yang sudah ku gunakan untuk melunasi hutang keluargamu,” ucap Chandra kemudian.

Sempat terjadi jeda selama beberapa saat, sampai kemudian terdengar helaan napas panjang yang berasa dari Aruna.

Gadis itu sempat melirik sinis ke arah Chandra yang nampak kurang nyaman sebelum kemudian beranjak duduk kembali.

“Aku tidak mau, dan tidak akan pernah mau!” tekan Aruna.

Kali ini gadis itu berbicara dengan intonasi yang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Ia meletakkan dua telapak tangannya di depan wajah, menutup wajahnya sendiri sambil menghela napas panjang.

“Tapi dengan itu kau bisa melunasi uang yang sudah ku gunakan untuk melunasi hutang keluargamu,” sahut Chandra masih berusaha membujuk Aruna agar mau menyetujui permintaannya.

“Aku tidak ingin peduli. Lagipula itu bukan hutangku.”

Sahutan pendek yang terdengar amat berkebaikan dengan apa yang beberapa saat lalu didengar oleh Chandra.

Sekalipun gadis itu tidak mengatakan secara langsung soal kepeduliannya terhadap keluarganya, namun dari raut wajah juga ucapannya yang tersirat, cukup untuk Chandra memahami sedikit soal maksud dari apa yang disampaikan oleh Aruna.

“Ku kira kau begitu peduli dengan keluargamu,” sahut Chandra yang kini mengambil tempat di sebelah si gadis.

Terdengar tawa sumbang dengan volume lirih yang berasal dari sela bibir Aruna. Ia sempat menunduk sebelum kemudian mendongak, menatap angit malam gelap tanpa bintang.

“Tau apa kau soal aku dan keluargaku,” suara Aruna yang terdengar lirih, juga matanya yang nampak berkaca-kaca membuat Chandra sempat termenung selam beberapa saat.

Pria itu sempat terlarut dengan pikirannya sendiri sebelum kemudian suara Han kembali membawa kesadarannya dengan utuh.

“Sekalipun aku menyerahkan hidupku untuk mereka, apa mereka peduli? Apa dengan itu mereka akan melihatku dan bisa memperlakukan diriku dengan lebih baik? Ku rasa tidak.”

Setetes air mata sempat lolos dari mata Aruna sebelum dengan cepat tangan kecil gadis itu menghapusnya, ia seolah tidak ingin Chandra melihat hal itu meski kenyataanya pria itu meihatnya.

“Aku bahkan sudah memberikan hidupku, kebahagiaanku dan seluruh mimpiku selama ini pada mereka. Tapi tetap sja tidak adayang berubah. Semua justru kian bertambah parah,” ucapan Aruna sempat terjeda.

Lagi dan lagi, dirinya menarik napas panjang, membuangnya dengan perlahan hingga kemudian kembali mendongak dengan mata yang memerah juga air mata yang tergenang.

“Aku sudah mencoba bertahan sejauh ini, bahkan dengan gampangnya aku membodohi diriku sendiri dengan percaya jika suatu saat nanti semuanya akan berubah. Tapi ternyata sama saja,” tanpa sadar, Aruna menceritakan keluh kesah yang dialaminya selama ini kepada Chandra.

Gadis itu menunduk sekali lagi, berusaha menyembunyikan air mata yang mengalir kian deras, juga isak tangis yang tidak lagi dapat ia tahan.

Aruna menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan agar isak tangisnya bisa teredam meski itu sama halnya dengan menyakiti dirinya sendiri.

Terlihat sebuah cairan berwarna merah yang mengalir dari sela bibirnya, dan hal itu membuat Chandra bereaksi dengan cepat.

“Bibirmu berdarah,” katanya sembari menyodorkan sebuah sapu tangan yang memang selalu ada di saku celananya.

Melihat Aruna yang tidak kunjung mengambil sapu tangan miliknya, hal itu membuat Chandra dengan cepat meraih tangan si gadis dan meletakkan sapu tangan tersebut di sana.

“Sekalipun kau tengah sedih dan terluka, jangan sampai kau menyakiti dirimu sendiri. Hal itu tidak akan berimbas apapun pada mereka yang menyakiti mu. Kau harusnya bisa berpikir dan menjadi lebih kuat supaya bisa membalaskan dendam mu pada mereka dengan cara yang lebih baik,” ucap Chandra kemudian.

“Mudah bagimu mengatakannya karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya ku rasakan. Kebanyakan orang di luar sana akan mengatakan hal demikian hanya karena dasar kasihan,” sahut Aruna dengan senyum miring.

Chandra mengangguk perlahan. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Aruna. Kebanyakan orang yang baru saja mendengar isak sedih orang lain akan mengatakan hal-hal baik ataupun motivasi dengan tujuan yang tentu saja baik.

Namun tanpa mereka sadari, jika sebenarnya beberapa dari mereka tidak memerlukan itu. Mereka hanya butuh sebuah pelukan dan di dengar dengan baik, bukan pura-pura dipahami juga mengerti perasaan.

“Aku tahu. Tapi aku juga punya ide yang bagus untuk itu. Jika kau mau menerima tawaran ku, kau bisa terbebas dari keluarga mu yang hanya memanfaatkan dirimu selama ini. Dan jika semuanya telah selesai kau bisa bebas, dan aku akan memberikan mu sesuatu nantinya,” ujar Chandra dengan senyum tipis.

“Bebas? Apanya yang bebas jika pada akhirnya setelah aku memberikan anak untuk Wisnu aku akan kembali pada keluargaku? Akhirnya akan sama saja bukan?”

Gelengan kecil jadi respon pertama yang diberikan Chandra. Pria itu sempat melihat sejenak ke arah Aruna sebelum kemudian mendongak ke arah atas.

“Aku akan memberikan mu apartemen milikku yang ada di Surabaya. Kau bisa memulai hidup barumu di sana.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status