"Aku hanya khawatir karena Aruna pagi-pagi sekali sudah tidak ada di rumah."Jawaban Wisnu membuat satu alis Chandra memicing. Belum lagi pria itu yang sesekali menghindari kontak mata dengan dirinya, seolah tengah menyembunyikan sesuatu."Aku cuma nyari tukang bubur, buat sarapan," Sahut Aruna cepat.Wisnu mengganguk saja, kemudian pria itu menggandeng tangan Aruna, hendak membawanya pergi sebelum suara Chandra lebih dulu menginterupsi."Mau ke mana?""Pulang," itu Wisnu yang menyahut."Tunggu. Buburnya biar di bungkus, sayang mubazir nanti."Mereka menunggu penjual bubur membungkus pesanan Aruna, baru setelahnya dua orang tersebut meninggalkan Chandra sendirian di sana."Gebetannya mas?" celetuk penjual bubur membuat Chandra menoleh.Pria itu hanya tersenyum kecil dan kembali menyantap bubur ayam miliknya.Sementara itu, Diandra yang sudah terbangun sejak tadi sudah berkeliling rumah mencari keberadaan Wisnu.Ia sudah bertanya pada Bibi pembersih rumah, namun wanita baya itu juga ti
"Jadi maksud kamu, kamu mau merahasiakan soal kehamilan kamu dari Wisnu juga Diandra?"Chandra bertanya kebingungan setelah Aruna menceritakan soal kehamilannya.Wanita itu mengangguk, ia menghela napas dan menatap lekat ke arah Chandra yang duduk di kursi tunggal."Aku minta tolong sama kamu, rahasiakan ini, ya.""Tapi kenapa? Bukannya ini yang ditunggu-tunggu juga sama mereka?"Aruna diam. Ia menundukkan kepala dengan dua tangan yang saling tertaut satu sama lain."Aruna?"Pelan-pelan wanita itu mendongak, ia menghela napas beberapa kali sebelum berbicara."Aku juga nggak tahu. Aku nggak tahu kenapa aku justru merasa lebih aman buat merahasiakan kehamilan ku dari Wisnu ataupun Diandra." "Aku bakal ngasih tahu mereka kok, karena bagaimanapun juga anak ini bakalan jadi anak mereka nantinya. Tapi…."Perkataan Aruna terjeda, wanita itu mendongakkan kepalanya dan mengusap sekitar pipi. Matanya memerah dengan air mata yang sesekali menetes."Kamu mulai sayang sama anak itu?"Aruna diam.
"Apa katamu?" Wisnu bertanya dengan lirih. Ekspresi wajahnya sulit untuk dijelaskan, antara terkejut juga tidak percaya.Diandra diam, napasnya naik turun akibat menahan isak dalam dada. Rasanya begitu sesak sekarang."Diandra Safa, katakan apa maksudmu!"Penekanan pada tiap kata yang dilontarkan Wisnu kian mengiris perasaan Diandra. Ia takut, benar-benar takut akan kehilangan pria di hadapannya ini."Aruna, dia hamil anak kamu," sahut Diandra lirih.Air mata yang semula coba ia tahan pada akhirnya jatuh, luruh bersama isak kecil yang coba ia redam dengan bungkaman telapak tangan."Darimana kamu tahu? Kemaren Aruna bilang kalau hasilnya negatif."Mencoba denial. Wisnu masih saja berusaha meyakinkan diri jika apa yang dikatakan Diandra adalah salah."Aku lihat sendiri hasilnya saat Aruna membuang itu di tempat sampah. Jelas di sana tertera dua garis yang menandakan kalo dia sedang hamil."Menggeleng, Wisnu menggelengkan kepalanya tidak percaya. Pria itu juga meremas rambutnya sendiri
Ponsel milik Chandra bergetar, pria itu mengalihkan fokusnya dari laptop ke arah ponsel."Halo?""Dimana kau?""Kenapa kau bertanya, tentu saja di perusahaan," jawab Chandra agak sewot.Wisnu yang ada di seberang panggilan menghela napas, terjadi jeda selama beberapa saat sebelum pria di seberang telepon kembali mengajukan pertanyaan."Gimana Aruna?"Dahi Chandra mengernyit, kenapa Wisnu tiba-tiba menanyakan soal Aruna padanya?"Kenapa?""Nggak papa, cuma nanya. Kamu kan yang nganterin Aruna ke rumah kedua.""Iya. Tumben amat nanyain Aruna.""Yasudahlah, kembali kerja aja sana."Panggilan tiba-tiba terputus, Chandra jadi terheran dengan sikap Wisnu yang mendadak aneh.Sementara itu, Wisnu mengusak rambutnya kesal. Bertanya pada Chandra juga tidak ada gunanya.Apa ia harus menyusul Aruna sekarang? Tapi kondisinya sedang tidak pas. Diandra masih dalam mood yang kurang baik, apalagi jika menyangkut soal Aruna. Dirinya tidak mungkin makin menambah kesal istrinya bila tahu ia akan pergi m
Pukul lima pagi saat ponsel milik S9fie berdering nyaring, membuat tidur nyenyak nya seketika terganggu.Gadis itu meraba nakas, matanya memicing masih setengah sadar. Bukan, itu bukan suara alarm miliknya. Masih terlalu pagi baginya untuk bangun. Suara berisik pagi itu berasal dari panggilan Chandra. Sudah sekitar kali ketiga pria itu terus menelponnya, ia masih belum juga menyerah meski sebelumnya Sofie selalu me reject panggilan pria itu.Sekali lagi, Sofie menolak panggilan dari Chandra. Ia memilih untuk kembali bergelung dalam selimut dan melanjutkan mimpi tertundanya.Begitu rencana awalnya, tapi rencana hanyalah rencana.Panggilan telepon memang terhenti, tapi tergantikan dengan suara kerikil yang menghantam kaca jendela kamar. Hal itu sama saja membuat Sofie tidak bisa kembali ke alam mimpinya.Gadis itu mendengkus, dengan kekesalan level dewa ia menyingkap selimut dengan kasar. Berjalan ke arah jendela dan membukanya dengan lebar.Di bawah, tampak Chandra tersenyum puas. Pr
Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban Dari Aruna. Wisnu kembali meraih bahu wanita itu, merematnya sedikit kuat hingga Aruna meringis menahan sakit."Jawab aku Aruna, Jawab!""Sakit," rintihnya.Namun seolah tuli, Wisnu tudak menghiraukan rintihan Aruna. Pria itu masih saja menatap wanita itu juga memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan."Apa yang kau lakukan, brengsek!"Chandra datang dan langsung menarik baju Wisnu, mendorong pria itu hingga tersungkur. Chandra yang merasa kesal hampir saja membubuhkan sebuah bogem mentah ke arah si lelaki jika tidak dengan segera Sofie manahan aksinya."Semuanya nggak bakal selesai dengan cara kekerasan. Lebih baik sekarang kita duduk dan selesaikan semuanya dengan kepala dingin," kata gadis itu menengahi."Kamu nggak papa?" Sofie menghampiri Aruna. Wanita itu menggeleng, ia hanya terkejut juga sedikit takut dengan perubahan sikap Wisnu yang begitu agresif.Seperti yang dikatakan Sofie sebelumnya, empat orang dewasa itu berkumpul.
Suasa begitu canggung. Aruna sejak tadi terus melihat ke sekeliling, memperhatikan apa saja selain harus bertatapan dengan Wisnu yang sudah sejak tadi tersenyum ke arahnya tanpa henti.Juga genggaman tangan pria itu yang terasa kian erat tiap detiknya. Benar-benar membuat jantung Aruna seakan dipompa dua kali lebih cepat dari biasanya."Tidak perlu dilihat sampai sebegitunya, aku tidak akan kemana-mana."Memberanikan diri, Aruna berkata. Sungguh, ia masih belum terbiasa dengan perubahan sikap Wisnu sekarang.Itu lebih ekstrem dibandingan kedekatan mereka sebelumnya. Dan jujur saja, pertahanan Aruna bisa-bisa akan goyah jika hal itu terus berlanjut.Ia masih harus memiliki kesadaran dimana dan siapa dirinya di sini.Wisnu mungkin masih di masa begitu bahagia karena apa yang dinantikan nya selama ini sudah ada dalam rahimnya. Tapi Aruna juga tidak boleh lupa sedalam apa perasaan pria itu pada Diandra."Maaf, maaf. Apa aku terlalu berlebihan?"Demi Tuhan! Tidak bisakah Wisnu bertanya den
Menghela napas, Diandra memilih untuk mengikuti permainan Wisnu kali ini. Berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mau makan?" tawarnya."Tidak. Aku akan mandi sekarang, lebih baik kau beristirahat saja, hari sudah malam."Tanpa bantahan, Diandra berjalan ke arah kamar. Di pertengahan anak tangga wanita itu menoleh, mengamati Wisnu yang tengah membereskan jas juga tasnya sendiri.Menyadari Diandra yang tengah memperhatikannya, Wisnu tersenyum. Tapi yang tidak pria itu tahu, perbuatannya saat itu justru kian menyakiti perasaan Diandra.Diandra sudah terbaring di atas ranjang saat suara pintu kamar mandi terbuka. Wisnu baru saja selesai membersihkan diri.Setelah menggosok rambutnya sendiri dengan handuk, pria itu turut menyusul Diandra di ranjang. Bukan, Wisnu tidak langsung tertidur. Ia justru asyik dengan ponselnya sendiri, mengabaikan Diandra yang terbaring memunggungi dirinya.Mungkin pria itu berpikir jika Diandra sudah tertidur, meski sebenarnya belum. Ia masih terj