"Hai, kenalin aku Emma," ucap Emma pada pria yang tidak lain adalah kekasihnya. Dia menyalami Ansel dengan tidak sabaran. "Kamu?""An-Ansel." Ansel gugup. Bagaimana bisa Emma datang ke acara makan malam keluarganya? Emma juga tidak mengirim pesan padanya sekedar memberitahu. Emma tersenyum manis, lebih mirip ingin menerkam Ansel karena ketahuan memakai pakaian couple dengan Adara. Wanita itu menoleh pada Adara. Terpaksa dia mengulurkan tangannya, "Emma.""Adara." 'Aku yakin dia sengaja datang untuk memanas-manasi suasana. Dari mana juga mereka bisa jadi teman karena setahuku Mimi bukan orang yang mudah berteman. Jangan-jangan Mimi dipengaruhi? Paling juga Ansel yang mengajak pacarnya itu' Adara tidak bisa mengontrol pikiran buruknya terhadap Emma."Duduk, Kak," ucap Mimi pada Emma. Emma memamerkan senyum manisnya lagi ketika dia hendak bergeser ke samping Adara. Sengaja memang! Dia hanya ingin tahu apa Adara bisa ngamuk kalau dia berbuat sesuatu.Kalau tujuan Emma untuk membuat Ada
"Sakit," pekik Adara. Kepalanya berdenyut dalam hitungan detik, berputar seperti bianglala. Ansel juga sama kondisinya tapi dia lebih parah dari Adara karena dia berjuang mati-matian untuk menyelamatkan wanita itu.Sedikit putaran mampu menghalangi kepala Adara mencium lantai marmer di bawahnya. Hanya bagian pinggang dan kaki yang berhasil menghantam benda dingin itu, selebihnya Ansel mengorbankan lengan dan punggungnya untuk istrinya.Beruntung kepala pria itu masih aman. Sedikit saja benturan bisa mengakibatkan aliran cairan merah di sana. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Ansel. Dia beringsut duduk sembari membantu Adara untuk bangkit. Mereka saling berhadapan tanpa jarak. Beberapa kali terhitung sejak mereka menikah, mereka sering melupakan kenyataan bahwa mereka bukan teman baik. Ansel bergerak cepat melihat kepala Adara, takut jika ada luka serius di sana. "Apa kamu perlu ke dokter?"Adara menggeleng, "Kamu yang harusnya ke dokter. Coba aku lihat dulu."Baru kali ini Ansel melihat
"Bukan begitu, Nek. Adara benar-benar sedang tidur," ucap Ansel cepat. Dia berusaha menyakinkan Dianti karena dia takut nenek dari istrinya itu mendatangi rumah mereka. Dari seberang, Dianti menggumamkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Ansel. "Nenek mau mampir sekarang.""Tapi ini udah malam, Nek," cegah Ansel."Kalau begitu suruh istrimu bangun."Perintah itu tidak bisa diganggu gugat lagi. Ansel terpaksa mengiyakan. "Nanti aku telepon lagi, Nek. Membangunkan Dara susahnya minta ampun.""Nenek tunggu."Klik!"Mampus! Si brengsek itu membawa Dara kemana sampai nggak bisa dihubungi?" desis Ansel. Dia menghubungi Adara sekali lagi. Kalau sampai tidak diangkat, dia akan mencari istrinya ke basecamp Ben. Apapun yang terjadi, Dianti tidak boleh sampai tahu Adara pergi dengan Ben. Panggilan itu tidak tersambung. Ansel meraih kunci motor yang dia bawa dari rumah orangtuanya, lalu melesat ke luar. Dia sudah bersiap membuka pagar ketika mendengar suara motor dari arah jalan. "Pasti di
"Memangnya kamu bocil? Singkirkan tangan kamu!" sentak Adara. Pusat yang harusnya tidak boleh disentuh sembarang orang itu terasa dingin dan berdenyut. Jelas saja berdenyut karena Ansel masih hidup dan bernapas. Tapi ... ada sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Adara. Hei, bukan berarti Adara belum pernah berpelukan dengan Ben kalau sedang berkendara ya? Mereka sering melakukannya tapi bukan bersentuhan secara fisik. Ya Tuhan, menjelaskannya saja terasa ingin meledak. 'Gejolak apa ini?' batin Adara suram. Rasanya ingin ... mengusapnya sedikit saja. 'Apa kuusap saja ya? Toh juga bukan aku yang minta'Kenyataan itu tidak sebanding dengan sikap Adara. Dia segera menarik tangannya meskipun harus melakukan tindakan kekerasan.Bugh!"Woi, curang!" umpat Ansel. Kaki kanannya dipaksa menerima tendangan maut istrinya. "Yang adil dong!"Adara menyeringai lebar, "Adil? Ingat tindakan kamu tadi? Kita sudahi saja permainan kekanak-kanakannya. Mama sandwichku?"Dengan muka menahan sakit,
"Istriku?" ulang Adara dengan nada geli. "Kenapa? Kamu kan memang istriku." Ansel menaruh dua porsi makanan yang dia bungkus tadi di atas meja kerja Adara, lalu dia menyingkirkan beberapa lembaran kertas yang ada di sana agar tidak terkena cipratan makanan. Ansel juga menarik kursi kosong di belakangnya agar dia bisa berhadapan dengan Adara. "Makanlah! Aku nggak tahu kamu suka makan apa, tapi aku berinisiatif memilih nasi rames. Kamu mau pilih lauk ayam atau daging?""Daging," sahut Adara sinis. Dia terpaksa menyingkirkan laptopnya karena Ansel sungguh merepotkan."Oke."Adara tidak benar-benar mengerti dengan sikap Ansel. Sebentar-sebentar perhatian, lalu berubah menyebalkan. "Kenapa kamu nggak makan sama Emma?""Aku lagi nggak mood kemana-mana."Ansel mulai menyuapkan makanannya. Rasanya lumayan untuk ukuran kantin perkantoran. Dia penasaran apakah di gedung perkantoran lainnya juga menyediakan fasilitas makan siang? Adara mengikuti apa yang Ansel lakukan. Bohong kalau dia mengat
Adara mengomel sepanjang jalan menuju kamarnya. Disemprot beberapa air saja tubuhnya terasa menggigil. Dia harus berganti pakaian sebelum terkena flu."Awas saja! Dasar suami kejam," umpat Adara sembari mengeluarkan satu dress longgar miliknya. Dia melempar pakaian basahnya ke lantai lalu buru-buru mengganti pakaiannya."Hei, kunci pintu dong!" Suara itu? Ansel? Adara menengok ke belakang dan mendapati sang suami sedang menontonnya di ambang pintu. Beruntung dia sudah selesai dan tinggal mengancingkan satu kancing paling atas."Jangan kurang ajar ya? Ini bukan wilayah yang bisa kamu masuki sembarangan," tegur Adara. Dia berjalan tergesa-gesa ke arah pintu, mendorong Ansel yang masih bisa tertawa. "Mau kucolok bola mata kamu itu?""Berani?"Adara menggertakkan giginya. "Kapan aku pernah takut sama kamu?"Wanita itu bersiap melayangkan jari telunjuk dan tengahnya sebelum akhirnya Ansel menggapainya. Heran. Kenapa Ansel selalu bisa lebih gesit dari pada Adara?"Lepas!""Dari pada kamu
"Benar," jawab Ansel seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Adara. Apa Adara secuek itu sampai tidak memperhatikan orang-orang yang ada di dekatnya?"Wajar sih kalau kamu memperhatikanku. Aku kan menggemaskan," ucap Adara skeptis. Dia mengangkat bahunya acuh tapi dalam hati dia masih bertanya-tanya kemana dirinya selama puluhan tahun ini?Tanpa diduga, usapan lembut yang terarah pada rambut kepala wanita itu membuat suasana semakin tegang. Berbanding terbalik dengan suasana supermarket yang ramai. Deg!Adara gugup bukan main. Kali ini Ansel bukan sekedar main-main. Dia menatap sejurus Adara diimbangi dengan senyumannya."Dulu kamu memang menggemaskan. Kemana ya si lucu Adara sekarang? Yang nggak ngomel-ngomel, yang nggak suka teriak-teriak perkara celana dalam doang." Ucapan Ansel yang bersifat pribadi itu terdengar sampai ke telinga wanita di belakang mereka. Para wanita itu menahan senyum karena Ansel tidak malu mengakui bahwa istrinya sering marah-marah hanya karena celana dalam.
"Nggak waras!" umpat Adara. "Sudah jelas ada peraturan nggak boleh ada sentuhan fisik. Kamu nggak baca?""Kamu yang nggak baca? Coba cek lagi," ucap Ansel dengan senyum memikatnya.Adara menilik peraturan pernikahan kontrak mereka dari atas sampai bawah, bola matanya kembali mendelik, "Astaga. Kamu coret bagian ini?""Benar. Makanya itu aku tambahkan syarat lainnya," jawab Ansel dengan senangnya.Adara menghela napas lelah, "Kenapa kamu nggak minta cium pacar kamu itu?""Gimana aku minta cium kalau setiap malam harus di rumah ini?""Oh, ternyata gini ya jadi laki-laki. Mau enaknya saja. Memaksakan aturan sendiri dengan sesekali boleh menginap di rumah pacarnya, tapi juga minta bagian cium-cium sama istri kontraknya? Enak kamu dong menang banyak," ejek Adara. "Hei, kamu nggak bodoh kan? Di peraturan itu aku nggak minta boleh nginep di rumah Emma sesekali. Jadi, kamu nggak bisa menghakimiku begini," elak Ansel.'Brengsek! Dia hebat juga. Kapan dia memikirkannya? Soal menginap perasaan