"Bukan begitu, Nek. Adara benar-benar sedang tidur," ucap Ansel cepat. Dia berusaha menyakinkan Dianti karena dia takut nenek dari istrinya itu mendatangi rumah mereka. Dari seberang, Dianti menggumamkan sesuatu yang tidak bisa didengar oleh Ansel. "Nenek mau mampir sekarang.""Tapi ini udah malam, Nek," cegah Ansel."Kalau begitu suruh istrimu bangun."Perintah itu tidak bisa diganggu gugat lagi. Ansel terpaksa mengiyakan. "Nanti aku telepon lagi, Nek. Membangunkan Dara susahnya minta ampun.""Nenek tunggu."Klik!"Mampus! Si brengsek itu membawa Dara kemana sampai nggak bisa dihubungi?" desis Ansel. Dia menghubungi Adara sekali lagi. Kalau sampai tidak diangkat, dia akan mencari istrinya ke basecamp Ben. Apapun yang terjadi, Dianti tidak boleh sampai tahu Adara pergi dengan Ben. Panggilan itu tidak tersambung. Ansel meraih kunci motor yang dia bawa dari rumah orangtuanya, lalu melesat ke luar. Dia sudah bersiap membuka pagar ketika mendengar suara motor dari arah jalan. "Pasti di
"Memangnya kamu bocil? Singkirkan tangan kamu!" sentak Adara. Pusat yang harusnya tidak boleh disentuh sembarang orang itu terasa dingin dan berdenyut. Jelas saja berdenyut karena Ansel masih hidup dan bernapas. Tapi ... ada sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Adara. Hei, bukan berarti Adara belum pernah berpelukan dengan Ben kalau sedang berkendara ya? Mereka sering melakukannya tapi bukan bersentuhan secara fisik. Ya Tuhan, menjelaskannya saja terasa ingin meledak. 'Gejolak apa ini?' batin Adara suram. Rasanya ingin ... mengusapnya sedikit saja. 'Apa kuusap saja ya? Toh juga bukan aku yang minta'Kenyataan itu tidak sebanding dengan sikap Adara. Dia segera menarik tangannya meskipun harus melakukan tindakan kekerasan.Bugh!"Woi, curang!" umpat Ansel. Kaki kanannya dipaksa menerima tendangan maut istrinya. "Yang adil dong!"Adara menyeringai lebar, "Adil? Ingat tindakan kamu tadi? Kita sudahi saja permainan kekanak-kanakannya. Mama sandwichku?"Dengan muka menahan sakit,
"Istriku?" ulang Adara dengan nada geli. "Kenapa? Kamu kan memang istriku." Ansel menaruh dua porsi makanan yang dia bungkus tadi di atas meja kerja Adara, lalu dia menyingkirkan beberapa lembaran kertas yang ada di sana agar tidak terkena cipratan makanan. Ansel juga menarik kursi kosong di belakangnya agar dia bisa berhadapan dengan Adara. "Makanlah! Aku nggak tahu kamu suka makan apa, tapi aku berinisiatif memilih nasi rames. Kamu mau pilih lauk ayam atau daging?""Daging," sahut Adara sinis. Dia terpaksa menyingkirkan laptopnya karena Ansel sungguh merepotkan."Oke."Adara tidak benar-benar mengerti dengan sikap Ansel. Sebentar-sebentar perhatian, lalu berubah menyebalkan. "Kenapa kamu nggak makan sama Emma?""Aku lagi nggak mood kemana-mana."Ansel mulai menyuapkan makanannya. Rasanya lumayan untuk ukuran kantin perkantoran. Dia penasaran apakah di gedung perkantoran lainnya juga menyediakan fasilitas makan siang? Adara mengikuti apa yang Ansel lakukan. Bohong kalau dia mengat
Adara mengomel sepanjang jalan menuju kamarnya. Disemprot beberapa air saja tubuhnya terasa menggigil. Dia harus berganti pakaian sebelum terkena flu."Awas saja! Dasar suami kejam," umpat Adara sembari mengeluarkan satu dress longgar miliknya. Dia melempar pakaian basahnya ke lantai lalu buru-buru mengganti pakaiannya."Hei, kunci pintu dong!" Suara itu? Ansel? Adara menengok ke belakang dan mendapati sang suami sedang menontonnya di ambang pintu. Beruntung dia sudah selesai dan tinggal mengancingkan satu kancing paling atas."Jangan kurang ajar ya? Ini bukan wilayah yang bisa kamu masuki sembarangan," tegur Adara. Dia berjalan tergesa-gesa ke arah pintu, mendorong Ansel yang masih bisa tertawa. "Mau kucolok bola mata kamu itu?""Berani?"Adara menggertakkan giginya. "Kapan aku pernah takut sama kamu?"Wanita itu bersiap melayangkan jari telunjuk dan tengahnya sebelum akhirnya Ansel menggapainya. Heran. Kenapa Ansel selalu bisa lebih gesit dari pada Adara?"Lepas!""Dari pada kamu
"Benar," jawab Ansel seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Adara. Apa Adara secuek itu sampai tidak memperhatikan orang-orang yang ada di dekatnya?"Wajar sih kalau kamu memperhatikanku. Aku kan menggemaskan," ucap Adara skeptis. Dia mengangkat bahunya acuh tapi dalam hati dia masih bertanya-tanya kemana dirinya selama puluhan tahun ini?Tanpa diduga, usapan lembut yang terarah pada rambut kepala wanita itu membuat suasana semakin tegang. Berbanding terbalik dengan suasana supermarket yang ramai. Deg!Adara gugup bukan main. Kali ini Ansel bukan sekedar main-main. Dia menatap sejurus Adara diimbangi dengan senyumannya."Dulu kamu memang menggemaskan. Kemana ya si lucu Adara sekarang? Yang nggak ngomel-ngomel, yang nggak suka teriak-teriak perkara celana dalam doang." Ucapan Ansel yang bersifat pribadi itu terdengar sampai ke telinga wanita di belakang mereka. Para wanita itu menahan senyum karena Ansel tidak malu mengakui bahwa istrinya sering marah-marah hanya karena celana dalam.
"Nggak waras!" umpat Adara. "Sudah jelas ada peraturan nggak boleh ada sentuhan fisik. Kamu nggak baca?""Kamu yang nggak baca? Coba cek lagi," ucap Ansel dengan senyum memikatnya.Adara menilik peraturan pernikahan kontrak mereka dari atas sampai bawah, bola matanya kembali mendelik, "Astaga. Kamu coret bagian ini?""Benar. Makanya itu aku tambahkan syarat lainnya," jawab Ansel dengan senangnya.Adara menghela napas lelah, "Kenapa kamu nggak minta cium pacar kamu itu?""Gimana aku minta cium kalau setiap malam harus di rumah ini?""Oh, ternyata gini ya jadi laki-laki. Mau enaknya saja. Memaksakan aturan sendiri dengan sesekali boleh menginap di rumah pacarnya, tapi juga minta bagian cium-cium sama istri kontraknya? Enak kamu dong menang banyak," ejek Adara. "Hei, kamu nggak bodoh kan? Di peraturan itu aku nggak minta boleh nginep di rumah Emma sesekali. Jadi, kamu nggak bisa menghakimiku begini," elak Ansel.'Brengsek! Dia hebat juga. Kapan dia memikirkannya? Soal menginap perasaan
"Maaf," ucap Ansel akhirnya. Dia mengurungkan niatnya untuk mengajak Adara makan siang. Sikap Adara tidak membuat dirinya senang. "Silahkan pergi kalau tidak ada yang perlu dibicarakan," sahut Adara."Memang tidak ada. Saya juga mau pergi kok, Bu. Terimakasih waktunya. Jangan lupa makan siang!"Setelah Ansel pergi, Adara mendongak ke arah pintu. Sejatinya dia tidak mau mengacuhkan Ansel tapi hubungan mereka sudah tidak sehat. "Kalau saja dia bisa lebih sopan padaku, aku nggak mungkin begini. Apa-apaan soal ciuman itu?" gerutu Adara sambil membolak-balikkan halaman kertasnya.Mendadak perutnya berbunyi. Adara melihat jam di ponselnya, helaan napasnya terdengar berat. "Aku malas turun."Adara memutuskan memanggil office boy untuk membelikan dia makan siang di kantin. Menu rames yang kemarin dibawa Ansel sangat menggiurkan, dia jadi ingin menikmatinya lagi. Berselang lima belas menit, ketukan di pintu terdengar. Adara pikir itu office boy tadi ternyata bukan. Harum parfumnya mengingat
"Kalau aku nggak tahu itu baru aneh," ucap Ansel dengan entengnya.Adara mengira Ansel pasti mendengar pembicaraannya dengan Ben. "Aku nggak punya gaun sebagus ini lagi. Aku pakai ini saja ya?""Nggak punya gaun bagus? Satu almari itu emang isinya apa? Karung?""Maksudnya yang semewah ini," elak Adara."Yang penting kan warnanya bukan mewahnya. Udah sana! Kamu mau terlambat?" Bibir wanita itu sudah manyun kesana kemari tapi dia tidak bisa berbuat banyak karena Ansel tidak akan mau pergi jika dia tidak mengganti pakaiannya. Padahal Adara sangat suka pakaian itu. "Tunggu! Apa haknya melarangku? Mau aku bermalam sama Ben atau pakai pakaian terbuka sekalipun, kita sudah memutuskan untuk kembali ke setelan awal. Kenapa aku tiba-tiba jadi penurut begini? Apa mungkin kepalaku sudah dicuci otaknya?" tanya Adara pada dirinya sendiri.Tidak tahu kenapa meskipun Adara mengomel, dia tetap mengganti gaunnya dengan warna senada. Dress code malam ini adalah hitam putih. Ansel memilih kemeja warna