"Nenek nggak perlu menemuinya," ucap Adara dengan muka lesu seolah dia dan Ben benar-benar tidak berhubungan lagi. "Beberapa hari ini kami sering bertengkar. Kami juga belum bertemu lagi, Nek. Setelah aku pikir-pikir, aku merasa bersalah sama nenek dan juga Ansel karena telah membohongi kalian. Mungkin ini karma untukku makanya hubungan kami juga nggak lancar. Kalau nenek datangi Ben rasanya percuma saja. Toh aku sudah memutuskan untuk nggak berhubungan sama dia lagi. Demi nenek dan juga pernikahanku. Mana mungkin aku mengkhianati suami yang mau menerimaku apa adanya."Adara percaya kalau Dianti akan berpikir seribu kali untuk menemui Ben jika dia mengubah pandangannya. Muka Adara sudah cukup meyakinkan. Dianti mencoba menerka apakah cucunya berbohong atau tidak karena seringkali bahkan tidak terhitung berapa kali, sang cucu mengatakan akan putus dengan pacar premannya itu, tapi kenyataannya mereka terus berhubungan. Manik mata Adara menyiratkan kesungguhan. Dianti hanya bisa memper
Adara tidak akan tertipu. Paling Ansel hanya main-main seperti sebelumnya. "Lakukan saja!""Baik kalau itu yang kamu inginkan," ucap Ansel senang. Dia menyeringai lebar, langkahnya semakin mendekat pada Adara. Dia menyudutkan wanita itu hingga mereka sama-sama terjun bebas ke atas ranjang. "Kamu mau gaya apa? Atas, bawah, belakang, samping?""Apa saja," jawab Adara datar. Dia memasang muka santai meskipun tidak dipungkiri dalam hati dia takut setengah mati. Bagaimana kalau Ansel benar-benar melakukannya? Apa yang akan dia katakan pada Ben? "Kamu masih bisa tenang?""Tentu. Kamu nggak akan bisa menggoyahkanku." Ansel merasa tertantang. Dia mengalihkan jari-jarinya ke atas kemeja yang dikenakan istrinya, lalu membukanya satu persatu. Ditatapnya Adara dengan penuh dendam, namun anehnya Adara masih diam. Wanita itu juga tidak histeris bahkan hanya membiarkan Ansel melakukan apa yang dia mau. Sampai titik dimana Ansel merasa Adara serius dengan ucapannya, pria itu akhirnya mundur. "Ngga
Ansel kebingungan menjawab pertanyaan Adara karena dari jarak dekat Emma sedang melirik mereka. Wanita itu tidak suka kedekatan antara mereka. "Bukan aku," ucap Ansel singkat. Dia berjalan ke arah Emma memeluk lengan kekasihnya yang baru saja kembali dari Bali."Kamu kelihatannya nggak senang melihatku," ucap Emma dengan muka ditekuk. Sejujurnya Ansel memang tidak suka melihat Emma. Kedatangan Emma yang tiba-tiba di kantor membuatnya cemas. Bagaimana kalau dua wanita itu saling bersitegang? Ansel tidak mungkin membatalkan janjinya pada Adara sementara dia tidak bisa mengusir Emma. Jadilah mereka bertiga harus berjalan bersama layaknya saudara tiri. "Senang. Hanya saja aku kesal kalau kamu nggak memberiku kabar. Seenggaknya aku bisa menjemput kamu," alibi Ansel."Masa? Kupikir kamu senang kalau aku nggak pulang," sungut Emma. "Kamu kenapa sih sensitif melulu?" Ansel memeluk pinggang kekasihnya sebelum akhirnya masuk ke dalam gedung bioskop. Ketika melihat Adara hanya diam, Ansel
Ansel menutup matanya namun setengah membuka karena rasa penasarannya. Apa yang sedang dilakukan Adara? Tanpa sadar membuka bajunya? Ansel pernah mendengar orang yang melakukan sesuatu yang aneh saat itu tapi baru kali ini melihatnya secara langsung."Eh, stop!" pekik Ansel sembari melempar selimut ke arah Adara. Wanita itu hampir saja melepas semuanya. Catat! Semuanya! Ansel harus memeluk istrinya sebelum semuanya terlambat. Selimut tersebut dililit begitu kuat agar Adara terdesak. "SADAR, ADARA! WOY! SADAR! KAMU SUDAH GILA?"Perlahan kelopak mata wanita itu membuka. Dengan linglung dia menatap Ansel. "Ngapain peluk-peluk?""Pegang kuat-kuat kalau kamu mau aku menyingkir!"Ansel mengisyaratkan Adara untuk memegangi selimutnya sebelum akhirnya dia bangkit. Masih dengan linglung, Adara melakukan apa yang diminta Ansel. Dia baru menyadari kalau ada yang salah dengan dirinya ketika melihat pakaiannya yang berserakan di lantai bawah."Kamu melakukan apa sampai bajuku terbuang?"Ansel meno
Adara mundur teratur, dia berjalan pelan ke lantai bawah. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara namun langkahnya tiba-tiba dipercepat. Dia ingin segera pergi dari sana, sejauh mungkin. Apakah dia malu? Tentu saja. Dia terang-terangan pulang ke rumah hanya untuk melihat apakah Ansel baik-baik saja, namun yang dilihat justru dua bibir yang saling menyatu. Apa-apaan itu?"Kenapa teleponnya harus mati? Oh, mereka nggak mau diganggu ya?" sengit Adara. Dia sudah sampai di depan pintu rumahnya ketika terdengar suara Ansel memanggil. Masa bodoh. Adara tidak akan tertipu. Dia semakin mempercepat langkahnya, menghindari pria menyebalkan itu.Ansel berhasil menyusul tapi Adara sudah masuk ke dalam mobilnya.Dugh! Dugh! Dugh!"Buka!" pinta Ansel. Kepalan tangannya menggedor jendela mobil wanita itu. Adara sekilas melirik tapi tidak berniat membukanya. Dia malah menekan gas dan pergi dari sana, tidak peduli Ansel terseret mobilnya. Dia sempat melirik ke arah spion tengah tapi tidak melakuka
Siapa yang bisa mengartikan arti kecupan yang entah berasal dari hati atau hanya sekedar gairah belaka itu? Adara sendiri tidak bisa berpikir jernih kecuali Ansel bisa menjelaskan. Sekian detik ditunggu, pria itu justru semakin ingin memperpanjang kegiatannya.Tangannya mulai menelusup ke dalam tank top Adara, mencari sesuatu yang entah apa. "Ansel," cegah Adara dengan suara seraknya. Kecupan Ansel beralih pada belakang telinganya, mendesak untuk menjelajahi. "Stop! Ini bukan perjanjian yang sudah kita sepakati.""Tenanglah! Aku hanya ingin membuat kamu nyaman," bisik Ansel. Dia menemukan sesuatu, aliran darahnya terasa aneh. Ditambah desahan napas Adara yang mulai berat. Keduanya berpacu dalam indahnya hubungan tanpa status."Stop!" desis Adara. Dia melempar tangan Ansel yang sudah beralih fungsi menjadi pemompa. Dari mana pria itu belajar? Apa dia dan Emma sering melakukannya? "Carilah Emma kalau kamu ingin pelampiasan. Kenapa kamu bisa ada di sini?""Aku dan Emma nggak pernah seja
Adara dan Ansel duduk berdampingan menghadap ke arah Dianti yang sedang mengeluarkan emosinya. Siapa sangka jika seusia cucunya, sikapnya masih seperti kanak-kanak. Bisa-bisanya mereka bertengkar dengan alasan yang tidak jelas."Mau sampai kapan sih, Nek, kita disidang begini?" tanya Adara dengan mulut meruncing. Dianti berdehem kesal, "Sampai kalian bisa berfikir jernih terutama kamu, Dara. Kenapa kamu harus menendang junior milik suami kamu sendiri? Kamu mau tanggung jawab kalau dia nggak bisa menghamili kamu?"Ansel masih bisa meringis mendengar sang istri dimarahi. Dia memang mengadu pada Dianti tadi karena sakitnya luar biasa. Berhubung Dianti selalu membelanya, Adara yang kena getahnya. Adara melirik Ansel. Setengah mati dia melemparkan tatapan mengancam. Akal bulus Ansel mudah sekali ditebak. Dia sangat yakin pria itu melebih-lebihkan apa yang dia lakukan. 'Sesakit apa sih sampai dia segitunya? Padahal dia juga yang bikin masalah. Kenapa aku yang harus kena getahnya?' batin
Bugh! Bugh! Bugh!Ansel tidak bisa menahan diri ketika melihat Ben yang seenak jidatnya menemani Dianti setelah apa yang dia lakukan. Siapa yang peduli jika mereka sedang ada di rumah sakit? Ansel tidak peduli lagi. Dia paling benci dengan pria yang main belakang."Merasa paling hebat? Hah?" tantang Ansel. Ben tidak terima. Dia balas pukul. Padahal mereka sedang berada di dalam ruangan Dianti, tapi mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan wanita tua itu ketika bangun nanti.Adara yang baru saja masuk ke dalam ruangan VVIP tersebut, berteriak histeris melihat dua pria itu saling berkelahi. Dia melerai baku hantam yang menimbulkan suara berisik memekakkan telinga itu."Kalian apa-apaan?" desis Andara sembari melihat kondisi neneknya. Ben menunjuk Ansel, "Dia yang mulai duluan." Dia sangat yakin kalau Adara akan membelanya. Ansel tidak mengelak. Dia mengakuinya. "Dia yang mulai membuat situasi menjadi rumit. Harusnya kamu bicara sama dia. Kalau perlu kamu stempel mulutnya supaya ngg