Malam itu, saat makan malam, Raka memberi tahu Brielle bahwa malam ini dia akan dinas ke luar kota selama seminggu. Brielle tidak bertanya ke mana tujuan dinasnya. Justru Anya yang langsung menangis begitu mendengar bahwa dia tidak bisa bertemu ayahnya selama seminggu. Tangisannya baru berhenti saat Raka berjanji akan membelikan hadiah untuknya.
Selama seminggu berikutnya, Brielle membagi waktunya antara pekerjaan dan mengurus Anya. Progres pembentukan laboratorium berjalan jauh lebih cepat dari yang dia bayangkan.
Tanpa terasa, hari Jumat pun tiba. Setelah mengantar Anya ke sekolah, Brielle langsung meluncur ke kampus Universitas Kedokteran Kota Amadeus, karena hari ini akan ada rapat penting.
Baru saja melangkah masuk ke lobi gedung laboratorium, matanya langsung menangkap sosok yang sangat familier sedang berbicara dengan seseorang di dekat pintu masuk. Mata Brielle terbelalak karena tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Itu Harvis!
Pria itu mengenakan mantel panjang berwarna cokelat muda. Saat berbicara, jari-jarinya yang panjang refleks mendorong bingkai kacamatanya yang berwarna emas. Senyumnya tetap lembut dan elegan seperti dulu.
Merasa ada yang memperhatikannya, Harvis menoleh ke arah pandangan itu dan bertemu langsung dengan mata Brielle.
Tatapan Brielle langsung tampak bersemangat. Harvis melangkah mendekatinya dengan perlahan dan tersenyum, "Brie, kita ketemu lagi."
Brielle buru-buru menenangkan diri dan menyambutnya dengan senyuman, "Kak Harvis."
Harvis menatapnya sambil tersenyum lembut dan memperhatikannya dari atas sampai bawah. "Waktu itu aku nggak sadar ternyata kamu sangat mirip ayahmu. Terutama dari matamu."
Brielle ikut tersenyum. "Kak Harvis kenapa bisa ada di sini?"
"Aku dengar di sini akan dibangun pusat deteksi gen terbesar di dunia, jadi aku langsung tertarik untuk datang. Sekalian juga, aku mau mengurus administrasi kerja."
Brielle melangkah maju dengan mata berbinar. "Kamu mau kerja di sini?"
Harvis ikut tersenyum, lalu mendorong kacamatanya sedikit. "Iya, aku putuskan untuk bergabung dalam proyek riset ini."
"Selamat datang. Senang sekali akhirnya bisa jadi rekan kerja." Brielle mengulurkan tangan dan menjabat tangannya.
Harvis tersenyum hangat. "Dulu aku pernah punya kesempatan kerja dengan ayahmu, lalu kita jadi alumni kampus yang sama. Sekarang bisa kerja sama denganmu juga, rasanya menyenangkan sekali."
Di lorong samping, terlihat dua buah sosok yang sedang berdiri sambil memegang berkas. Salah satunya adalah Faye. Dia menatap Harvis dengan penuh minat hingga tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun.
"Jangan-jangan kamu jatuh cinta pada pandangan pertama sama si ganteng itu?" goda temannya sambil menyenggol bahunya.
Wajah cantik Faye langsung memerah. "Kamu tahu siapa dia?"
"Siapa memangnya?"
"Harvis. Harvis dari Negara Madagasa itu ... genius medis internasional," jawab Faye dengan tatapan penuh kekaguman.
"Hah? Yang lagi ngobrol sama dia itu Brielle? Mereka kenal?" tanya temannya heran.
Tatapan Faye segera berubah dingin saat melirik ke arah Brielle. Belakangan ini, Brielle memang sering muncul di berbagai rapat dan benar-benar terlibat dalam proyek ini. Akan tetapi, hampir semua orang menduga bahwa dia bisa ikut serta karena pengaruh ayahnya.
Namun Faye tahu, di dunia medis, yang berbicara adalah kompetensi. Cepat atau lambat, Brielle pasti akan tersingkir.
....
Di dalam ruang rapat, Harvis mendapat sambutan hangat dari tim laboratorium. Kehadiran genius muda tersohor di dunia medis yang kini kembali ke tanah air untuk bergabung dalam proyek ini secara suka rela adalah sebuah kejutan yang menggembirakan bagi semua pihak.
"Brielle, Sabtu malam ini kami akan adakan pesta penyambutan kecil untuk Pak Harvis. Kamu harus datang, ya!" kata Lukas dengan ramah.
Brielle tersenyum, "Tentu. Aku pasti datang."
"Dengan bergabungnya Pak Harvis, kita jadi semakin kuat. Proyek ini rasanya semakin meyakinkan."
Saat itu, Harvis baru saja selesai berbincang dengan beberapa senior dan melangkah ke arah mereka.
Lukas menepuk bahunya sambil tertawa, "Pak Harvis, aku lanjut kerja dulu. Kita ngobrol lebih lama di pesta penyambutan dan minum sama-sama ya!"
"Oke!" Harvis mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian, dia memandang Brielle dengan ekspresi kagum dan bertanya, "Gimana kamu bisa kepikiran ide mempertahankan sel CAR-T di lingkungan tumor padat selama lebih dari 90 hari?"
Itu adalah topik yang telah ditekuni Brielle selama enam tahun terakhir.
"Dari beberapa data yang ditinggalkan ayahku, aku berani menyusun hipotesis itu. Tapi ya, sejauh ini masih sebatas teori. Semuanya tetap harus dibuktikan lewat eksperimen," jelas Brielle tenang.
Tatapan Harvis menyiratkan kekaguman. "Brielle, aku sudah membaca laporan analisismu. Banyak sekali ide-idemu yang sangat inovatif dan berpotensi untuk diuji. Kalau ditanya kenapa aku kembali ke negara ini, mungkin jawabannya adalah karena kamu."
Brielle sedikit terkejut. Harvis buru-buru menjelaskan, "Jangan salah paham. Maksudku, aku tertarik karena ide-idemu."
Brielle tersenyum. "Senang bisa bekerja sama denganmu."
....
Malam harinya, Brielle membuatkan Anya sebuah gantungan lonceng kecil berbentuk bintang lima berwarna-warni. Saat bergoyang, gantungan itu mengeluarkan suara jernih dan nyaring. Anya sangat menyukainya.
Saat itu, suara mobil terdengar dari arah gerbang. Anya langsung berdiri dengan semangat. "Pasti Papa yang pulang!"
Brielle buru-buru menyusul ke luar rumah. Namun saat dia sampai, Anya sudah lebih dulu melompat ke pelukan Raka.
"Kangen Papa nggak?" tanya Raka sambil menggendongnya.
"Kangen banget! Papa, mana hadiahku?" Anya langsung menagih.
Raka kembali ke mobil dan membuka bagasi, lalu mengeluarkan sebuah boneka kain yang cantik. "Kamu suka?"
"Waaah! Suka!" Mata Anya bersinar, kepalanya mengangguk-angguk antusias.
Raka menoleh pada Brielle. "Hadiahmu, aku kasih besok."
Brielle menolak datar, "Nggak perlu."
Tatapan Raka langsung meredup. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya masuk ke rumah untuk mencari gunting agar bisa membuka kemasan boneka untuk putrinya.
Brielle naik ke lantai atas karena masih ada banyak pekerjaan yang menunggunya. Mumpung Raka pulang dan bisa menemani Anya bermain, dia memanfaatkan waktu untuk fokus bekerja.
....
Saat makan malam, Raka berkata pada Anya, "Nenek Meira dan Nenek Emily sudah pulang ke sini. Besok mau ketemu mereka nggak?"
Brielle sedikit terkejut. Jadi, tujuan Raka dinas kemarin adalah menjemput ibu dan neneknya?
Mata Anya langsung berbinar. "Benaran? Aku boleh nginap di rumah Nenek?"
"Besok akhir pekan. Papa antarin kamu ke sana," ujar Raka sambil mengusap kepala putrinya.
Brielle berpikir, mungkin karena imlek sudah hampir tiba, Raka sengaja menjemput mereka lebih awal supaya bisa melewati masa imlek bersama keluarga. Kemungkinan setelah itu, mereka akan menetap di negara ini.
Malam hari, setelah berhasil menidurkan Anya, Brielle bangkit dan keluar kamar. Dia hendak ke ruang kerja untuk menyelesaikan tugasnya. Namun saat melewati lorong, dia mendengar langkah kaki Raka keluar dari kamar utama, bersamaan dengan suara telepon.
Suaranya terdengar lembut saat berkata, "Jangan takut, aku segera ke sana."
"Beberapa menit lagi aku sampai."
Tak lama kemudian, Brielle mendengar suara mobil dinyalakan dari luar jendela.
Kalau hanya butuh beberapa menit dari vila ini ... tempat itu pasti rumah Devina.
....
Saat sarapan, Lastri tidak sengaja menyebutkan bahwa Raka baru pulang ke rumah sekitar pukul dua dini hari. Setelah mengatakannya, dia diam-diam mengamati ekspresi Brielle.
Brielle hanya tersenyum ringan. "Oh, ya?"
Tepat saat itu, Raka turun dari lantai atas. Lastri pun buru-buru kembali ke dapur dan berpura-pura sibuk.
Brielle sedang merapikan rambut Anya dengan gaya yang cantik dan manis, lalu memakaikan jaket tebal berwarna pink. Gaga berlarian riang di samping mereka, tampak sangat akrab dengan Anya.
"Papa, aku boleh ajak Gaga ikut nggak?" tanya Anya sambil mengedipkan mata besarnya.
Raka berjongkok dan membantu menutupkan ritsleting jaket Anya. "Rumah Nenek sangat besar. Kalau kamu nggak sengaja kehilangan Gaga gimana? Biar Mama jagain di rumah, ya."
Meski tampak kecewa, Anya akhirnya mengangguk setuju. Raka pun mengantar Anya pergi dan Brielle berdiri di depan pintu memandangi mobil mereka hingga menghilang di kejauhan.
"Bi Lastri, siang dan malam ini aku nggak makan di rumah, jadi nggak usah siapkan makanan buatku," ujar Brielle sambil berbalik dan memberikan instruksi.
"Baik, Nyonya," jawab Lastri.
Hari ini akan ada acara penyambutan untuk Harvis di laboratorium, jadi makan malam sudah pasti di luar. Siang harinya, Brielle juga harus ke kampus dan bisa makan di kantin saja.
Begitu tiba di gedung laboratorium Universitas Kedokteran Kota Amadeus dan turun dari mobil, Brielle langsung berpapasan dengan Lukas yang tampak sangat bersemangat.
"Brielle, kabar baik! Sekarang sudah ada beberapa perusahaan yang mengirimkan surat niat kerja sama ke kita. Semuanya dari perusahaan besar dan punya reputasi bagus," ujar Lukas antusias.
Brielle tersenyum sambil mengangguk. "Wah, kerja kerasmu luar biasa."
"Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong, suamimu tertarik nggak dengan industri medis? Mungkin dia mau tanam modal di proyek ini?"
Langkah Brielle sempat terhenti. Hal pertama yang dipikirkannya adalah, dia tidak ingin Raka terlibat dalam pendanaan laboratorium ini. Setelah berpikir sejenak, dia berkata, "Sepertinya nggak . Dia lebih tertarik pada sektor teknologi dan minyak."
"Kalau ada waktu, kamu bisa coba promosikan proyek medis kita ke suamimu. Siapa tahu dia tertarik juga," ujar Lukas.
"Oke, nanti aku coba," jawab Brielle dengan sopan.
Namun dalam hati, dia sangat berharap Raka tidak tahu-menahu soal proyek ini. Lebih baik pria itu tidak terlibat sama sekali.
Pukul setengah enam sore, seluruh tim laboratorium berangkat ke restoran hotel mewah yang sudah dipesan oleh Lukas.
Brielle sedikit terlambat karena harus menyelesaikan rancangan proposal, ditambah lagi ada kemacetan akibat kecelakaan lalu lintas. Dia baru tiba di hotel sekitar pukul tujuh. Telepon dari Lukas masuk saat dia masih di lobi.
"Aku sudah di lobi hotel. Sebentar lagi naik," ujar Brielle di telepon.
Namun baru melangkah ke area lift, langkahnya terhenti seketika.
Di depan sana, dia melihat Devina mengenakan gaun malam berwarna sampanye yang sangat seksi, kelihatannya seperti akan menghadiri pesta penting. Di sebelahnya berdiri seorang pria tinggi yang berwibawa ... Raka.
Mereka masuk ke lift berdampingan.
Jadi, alasan Raka mengantar Anya ke rumah neneknya tadi pagi adalah supaya dia bisa menghabiskan akhir pekan berduaan dengan Devina?
Biarpun perasaan Brielle terhadap Raka sudah hambar, menyaksikan langsung adegan itu tetap membuatnya muak.
Sesampainya di ruang VIP restoran, makanan sudah tersaji. Lukas segera menyambutnya, "Brielle, ayo sini. Kami semua sudah nunggu kamu. Duduk di sebelah Pak Harvis, ya. Nanti jangan lupa minum dua gelas, lho!"
Brielle duduk di kursi sebelah Harvis, membuat beberapa pasang mata langsung menoleh. Beberapa di antaranya bahkan penuh rasa iri.
Faye juga hadir malam itu. Tadinya dia berencana duduk di samping Harvis, tetapi digeser secara halus oleh Lukas. Rupanya tempat di sebelah Harvis memang sengaja disediakan untuk Brielle.
Di bawah cahaya lampu yang hangat, Brielle tampak tenang dan cantik. Saat dia duduk di samping Harvis yang elegan dan tampan, keduanya terlihat sangat serasi.
Faye melirik mereka dengan pandangan cemburu, tetapi dia menahan diri. Dia percaya, dalam hal kemampuan profesional, suatu saat nanti dia pasti bisa menyaingi Brielle. Maka untuk saat ini, dia memilih bersabar.
Lukas berdiri dan mengangkat gelasnya. "Pertama-tama, berdirinya laboratorium ini adalah sesuatu yang sangat menggembirakan. Malam ini, mari kita bersama-sama bersulang untuk orang yang paling berjasa atas keberhasilan ini, yaitu rekan kita, Brielle. Karena dia, laboratorium ini bisa berdiri."
Faye hanya menatap dengan dingin. Dalam hatinya, dia meremehkan Brielle yang bahkan tidak lulus kuliah. Mana mungkin ide-ide itu murni darinya? Jangan-jangan itu hanya hasil mengutak-atik proposal lama peninggalan ayahnya.
Namun, Brielle tetap tersenyum tenang. Dia berdiri dan mengangkat gelas bersama rekan-rekan lainnya. Meski masih muda, sikapnya tenang dan percaya diri. Tidak congkak, tapi juga tidak rendah diri.
"Selanjutnya, mari kita bersulang untuk bintang malam ini ... dokter muda genius kita, Pak Harvis! Selamat bergabung!"
Semua kembali berdiri dan bersulang untuk Harvis. Dia mendorong kacamatanya sedikit ke atas dan mengangkat gelas dengan elegan.
Karena kebanyakan peserta masih muda, suasana makan malam berlangsung hangat dan penuh semangat. Mereka ramai berdiskusi soal arah dan pengembangan laboratorium ke depan.
Pukul setengah sepuluh, acara usai. Semua orang pulang dengan wajah puas. Harvis memutuskan pulang ke hotel bersama Brielle dengan mobilnya.
Keduanya mengobrol santai sambil berjalan ke arah lift. Begitu pintu lift terbuka, terdengar bunyi dentingan dan ....
Terlihat sosok pria yang berdiri di dalam lift dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana. Orang itu adalah Raka.
Sinar lampu di dalam lift menyorot wajahnya yang tegas dan berstruktur sempurna. Tatapannya yang dalam dan tenang, langsung mengarah ke Brielle dan Harvis di luar pintu lift. Tidak jelas apa isi pikirannya saat itu.
"Pak Raka, kebetulan sekali," sapa Harvis dengan tenang dan sopan.
Raka sedikit mengangguk elegan sebagai balasan.
"Brielle, silakan masuk. Sampai jumpa," ujar Harvis sambil tersenyum. Dia sengaja menjaga jarak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
"Ya. Sampai jumpa," Brielle melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam lift.
Di dalam lift, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Suasana sangat hening sampai akhirnya mereka tiba di lantai dasar. Tanpa berbicara sama sekali, mereka keluar dari lift. Brielle di depan, Raka mengikuti dari belakang.
Brielle membawa mobil sendiri, jadi dia tidak perlu pulang bersama Raka. Dia berjalan menuju area parkir di luar, membuka kunci dan duduk di dalam mobil, lalu menyalakan mesin dan lebih dulu kembali ke rumah.
Namun begitu sampai di gerbang kompleks perumahan, Brielle merasa perut bagian bawahnya tiba-tiba terasa hangat. Dia langsung sadar bahwa haidnya datang. Dia segera memarkir mobil di depan pusat perbelanjaan dekat perumahan dan masuk ke dalam untuk membeli kebutuhan wanita.
Sesampainya di rumah, Lastri segera menyambut. "Nyonya sudah pulang, ya. Malam ini saya boleh izin nggak? Anak saya sedang sakit."
Brielle buru-buru menjawab, "Tentu, Bi. Pergilah, jaga anakmu baik-baik."
Lastri tersenyum penuh terima kasih. "Makasih banyak, Nyonya."
Setelah Lastri pergi, Brielle yang kelelahan kembali ke kamarnya dan mandi air hangat, lalu turun untuk membuat segelas air madu sebelum naik lagi ke lantai atas. Dia bersiap melanjutkan penulisan proposal riset.
Waktu berjalan cepat. Tak terasa sudah lewat tengah malam. Brielle memijat pelipisnya yang pegal. Saat itulah dia mendengar suara pintu depan dibuka dari arah lantai satu.
Raka sudah pulang.
Malam ini Anya menginap di rumah Meira dan Lastri juga sedang cuti. Rumah ini hanya diisi oleh mereka berdua.
Brielle merasa sedikit canggung. Dia berniat segera turun dan tidur.
Kamarnya berada di lantai dua. Baru saja turun dari lantai tiga, dia langsung berpapasan dengan pria itu yang sedang naik. Brielle memang tidak terlalu ingin bertemu, tetapi dia tetap menyapa dengan sopan. "Sudah pulang?"
Raka tidak menjawab. Dia hanya berjalan melewatinya. Aroma khas parfum Devina langsung tercium samar-samar, membuat Brielle mengerutkan kening. Dia pun mempercepat langkah kembali ke kamarnya.
Begitu menutup pintu, dia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigi, lalu bersiap untuk tidur sambil membaca buku.
Dua puluh menit kemudian, saat dia baru saja meletakkan buku dan hendak tidur, pintu kamarnya tiba-tiba didorong dari luar.
Raka masuk dengan mengenakan jubah tidur hitam. Rambutnya yang masih basah disisir ke belakang, jelas dia baru selesai mandi.
"Ada perlu?" tanya Brielle sambil duduk tegak. Tatapannya memancarkan kewaspadaan.
"Anya nggak ada di rumah. Nggak perlu tidur terpisah," jawab Raka dengan datar.