Share

Bab 12

Penulis: Ayesha
Ucapan sahabatnya membuat Brielle terdiam. Dia memang tidak memiliki kualifikasi yang cukup kuat untuk memperebutkan hak asuh anak.

"Aku ini orangnya selalu lebih suka mendamaikan daripada menyuruh cerai. Dengan status seperti Raka, wajar saja kalau dia sesekali berselingkuh."

"Jangan terlalu dipikirkan, jangan sampai kamu sendiri yang sakit hati. Kalau nggk, kenapa kamu nggak coba kasih dia anak laki-laki lagi?" saran Syahira memberi usul.

Brielle mendongak dan tersenyum. "Tanpa dia, aku bisa hidup lebih baik."

Ponsel Brielle tiba-tiba berdering. Dia berdiri dan keluar ruangan untuk menjawabnya. "Halo, Kak Lukas."

"Brielle, kamu ada waktu sekarang? Bisa ke gedung laboratorium untuk rapat?"

"Baik, aku segera ke sana," jawab Brielle langsung.

Rapat ini dipimpin langsung oleh Louie, tokoh terkemuka dalam dunia medis yang menginisiasi pembentukan laboratorium kerja sama antarlembaga riset kedokteran di dalam negeri. Dengan reputasinya yang luar biasa, ajakannya tentu langsung mendapat banyak dukungan.

Saat Brielle tiba di ruang rapat, Lukas melambaikan tangan dan mempersilakannya duduk di sebelahnya. Di saat itulah, Brielle melihat empat wajah yang sangat dikenalnya. Mereka adalah teman seangkatannya dari Fakultas Kedokteran di Universitas Kedokteran Kota Amadeus.

Brielle dulu mengundurkan diri saat tahun kedua, waktu itu dia baru tahu dirinya hamil. Setelah melahirkan, dia seolah menghilang dari dunia akademik dan fokus sepenuhnya ke rumah tangga. Dari luar, orang-orang hanya tahu dia memilih menjadi istri dan ibu rumah tangga.

Kini, melihat Brielle hadir di ruang rapat membuat keempat mantan teman kuliahnya tampak kaget.

Setelah rapat selesai, Brielle buru-buru hendak pulang untuk menjemput Anya. Namun salah satu teman lamanya, Cherlina, mengejarnya sambil memanggil, "Brielle! Lama nggak ketemu, ya. Sudah hampir enam tahun, ya?"

Brielle tersenyum, "Lama nggak ketemu juga."

"Brielle, kenapa kamu bisa ikut rapat ini?" tanya seorang gadis jangkung yang berdiri di sebelahnya.

"Aku diundang langsung oleh Profesor Louie," jawab Brielle tenang.

Brielle sangat ingat pada wanita ini. Namanya Faye, dia adalah teman sekelas Brielle. Penampilannya cantik dan termasuk salah satu mahasiswi yang unggul.

Brielle lalu melirik jam tangan dan berkata, "Maaf, aku ada urusan penting. Aku pamit duluan, ya."

Dari belakang, terdengar suara laki-laki yang cukup jelas, "Apa haknya ikut proyek ini?"

"Iya, nih! Apa haknya orang yang bahkan nggak lulus kuliah ini bisa ikutan? Lalu apa artinya perjuangan kita selama bertahun-tahun ini?"

Suara Cherlina terdengar memotong, "Kalian nggak lihat siapa ayahnya? Nggak usah banyak komentar!"

....

Sore harinya, Brielle menjemput Anya sambil membawa Gaga. Seperti dugaan, Anya jadi jauh lebih ceria. Sesampainya di rumah, anak anjing itu berlari-larian bersama Anya di taman belakang. Brielle duduk sambil membaca buku, ditemani suara tawa Anya dan gonggongan ceria Gaga. Senyuman tipis terlukis di wajahnya.

Pukul enam sore, Raka pulang ke rumah. Tangannya menjinjing jas, tubuhnya mengenakan rompi abu-abu yang membentuk jelas siluet pinggang atletisnya. Celana panjangnya yang rapi memamerkan sepasang kaki jenjang bak model pria kelas dunia.

Di ruang tamu, Brielle sedang menemani Anya menonton televisi. Ketika melihat Raka masuk, dia hanya melirik sekilas lalu kembali memusatkan pandangan ke layar. Seolah-olah, tontonan kartun kekanak-kanakan itu jauh lebih menarik daripada pria yang berdiri di depannya.

"Papa!" Anya berseru manja sambil berlari menyambutnya.

Raka menunduk untuk mengusap rambut putrinya, lalu mencium keningnya. "Hari ini kamu patuh nggak?"

"Patuh, dong! Aku juara makan tercepat di kelas. Kata Bu Guru, aku pahlawan piring bersih!" Anya menjawab dengan bangga.

Raka mencubit pipi kecil putrinya. "Oh, ya? Papa mandi dulu ya, habis itu temanin kamu."

"Okeee!" Anya kembali duduk menonton kartun.

Hidung Brielle sangat sensitif. Aroma parfum yang samar di udara membuatnya merasa muak.

Tampaknya karena semalam dia menolak permintaan Raka untuk berhubungan, pria itu langsung bergegas mencari Devina untuk memuaskan dirinya.

Pukul sembilan malam, Brielle sedang sibuk menulis laporan di ruang kerja lantai tiga. Tiba-tiba terdengar suara pintu didorong. Dia mengira Anya yang masuk, tapi ternyata yang muncul adalah Raka.

Brielle segera menutup halaman laporan yang sedang dia kerjakan dan pura-pura membuka situs berita.

Raka duduk di sofa tepat di hadapannya, lalu menyilangkan kaki panjangnya dengan santai. Dia berkata dengan tenang, "Kamu mau marah sama aku sampai kapan?"

Brielle terkejut sejenak, lalu menatapnya. "Aku nggak marah."

"Kalau nggak marah, kenapa sikapmu ke aku begini?" Tatapan Raka tampak mengintimidasi.

"Terus aku harus bersikap gimana ke kamu?" Brielle balik bertanya.

Raka memicingkan matanya.

Dulu, Brielle sempat berpikir akan mengonfrontasi Devina dan Raka secara langsung. Namun sekarang, selama dia belum yakin bisa mendapatkan hak asuh Anya, perceraiannya harus ditahan dulu.

"Aku mengerti," jawab Brielle datar.

Namun, pria di hadapannya tiba-tiba maju selangkah dan mencengkeram pergelangan tangannya. Tubuhnya mendekat, auranya bagaikan badai yang siap menghantam.

"Jangan asal jawab," ujarnya dengan suara yang berat. Nada bicaranya menyiratkan dominasi yang menekan.

Pergelangan tangan Brielle terasa nyeri. Dia mengernyit dan berkata, "Lepaskan aku."

Tatapan Raka menggelap. Dengan suara rendah, dia memperingatkan, "Jalankan kewajibanmu sebagai istri." Lalu, dia melepaskan tangannya dan pergi meninggalkan ruangan.

Aura kemarahan seolah masih menggantung di udara. Brielle memegangi pergelangan tangannya yang nyeri, matanya mulai memancarkan kekesalan.

Pria yang bahkan tidak layak disebut suami, malah menuntutnya untuk menjalankan peran sebagai istri? Sungguh ironis.

Hari-hari berikutnya, Brielle menghabiskan waktu dengan rutinitas pagi mengantar Anya ke sekolah, siang bekerja, sore menjemput Anya pulang. Seminggu berlalu dalam kesibukan. Sejak dia menolak permintaan Raka malam itu, pria itu tidak lagi mengungkit soal berhubungan.

Raka adalah pria yang sangat tinggi hati, bagaikan serigala yang tidak pernah tunduk pada siapa pun.

Hari ini, saat Brielle hendak keluar rumah, dia mengalami insiden tabrakan kecil di jalan. Lokasinya tepat di depan gerbang sekolah dan kemacetan terjadi selama belasan menit. Begitu berhasil memarkirkan mobil, dia langsung berlari masuk ke sekolah.

Saat Brielle tiba di depan kelas putrinya, dia langsung melihat Anya mengenakan gaun mengembang warna pink. Devina sedang membungkuk dan merapikan pita di pinggang gaun itu sambil berkata,

"Mama kamu telat lagi, ya? Tapi nggak apa-apa, Bi Devina bawa cokelat hazelnut buat kamu, lho .... Nih, lihat."

Amarah langsung memenuhi dada Brielle. Perkatan Devina yang seolah-olah santai itu, sesungguhnya sedang mencoba memecah hubungan antara dirinya dan Anya.

Brielle menahan emosinya, lalu melangkah maju sambil tersenyum. "Anya, Mama sudah datang."

"Mama, kenapa datangnya lama sekali?" Anya mengerutkan alis kecilnya. Jelas sekali dia merasa kesal.

"Maaf ya, Sayang. Besok Mama janji datang paling awal, ya?" ujar Brielle sambil mengangkat tubuh putrinya ke pelukan.

"Bi Devina, aku mau cokelatnya," kata Anya, tidak lupa menagih cokelat yang dijanjikan.

Bagi anak kecil yang belum genap lima tahun, cokelat tentu sangat menggoda.

Devina melangkah maju dan menyerahkan cokelat itu. Namun sebelum Anya mengambil, Brielle berkata, "Anya, kamu main dulu ke sana, ya? Nanti Mama nyusul."

Anya meletakkan tasnya dan langsung berlari ke arah taman bermain.

Begitu putrinya pergi, senyum Brielle sontak menghilang dan ekspresinya berubah dingin. Dia menatap Devina dan memperingatkannya, "Devina, aku nggak peduli apa niatmu, tapi kalau kamu berani lagi mengadu domba aku dan putriku, aku nggak akan tinggal diam."

Devina membenarkan rambut panjangnya dengan gaya menggoda, tidak terlihat marah atau terganggu. "Aku cuma mau ketemu Anya, bahkan Raka saka nggak keberatan. Jadi kenapa kamu yang repot?"

Brielle membalikkan badan dan mengepalkan tangan, lalu menatap Devina tajam. "Lain kali jangan sampai aku lihat kamu dekat-dekat lagi sama anakku. Kalau itu terjadi, hal pertama yang akan aku lakukan adalah melapor ke polisi."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Renadwijo
bagus Briel..tunjukkan taringmu..jgn mau ditindas pasangan mesum itu..kasih tunjuk kalo kamu itu berani
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 374

    Wajah Brielle jelas menunjukkan penolakan. "Aku sudah ada janji malam ini.""Belakangan ini kesehatan Nenek nggak terlalu baik dan dia terus-menerus ingin bertemu denganmu," kata Raka pelan. Mendengar nama Emily, hati Brielle pun melunak sedikit.Sejak pertama kali bertemu dengan Emily, Brielle selalu merasakan kehangatan tulus darinya. Karena kakek dan nenek Brielle sudah lama meninggal saat dia masih kecil, perhatian dan kasih sayang dari Emily terasa seperti pengganti yang tulus dari keluarga yang hilang.Nenek itu benar-benar tulus menyayanginya.Namun, mengingat kejadian-kejadian yang baru saja terjadi, Brielle kembali menguatkan hatinya. "Lain kali saja, aku akan sempatkan untuk menjenguk Nenek."Raka tampak tidak berniat memaksa lagi. Namun tepat saat itu, ponsel Brielle berdering, nama Emily muncul di layar. Raka juga melihatnya dan berkata dengan suara rendah, "Aku ke dalam dulu menjemput Anya."Brielle akhirnya mengangkat telepon itu. "Halo, Nenek Emily.""Sayang, Nenek denga

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 373

    "Maaf, sudah membuatmu menunggu lama.""Nggak apa-apa," jawab Lambert sambil tersenyum tipis. "Aku penasaran, ada urusan apa Pak Sigit menemuimu?"Brielle sempat ragu sejenak sebelum menjawab, "Dia memperkenalkanku pada seorang tokoh penting, membicarakan sedikit soal pekerjaan."Melihat Brielle tidak ingin membahas lebih jauh, Lambert pun tidak memaksa. "Kamu bawa mobil sendiri? Kalau nggak, biar aku antar pulang.""Terima kasih, aku bawa mobil sendiri kok," jawab Brielle lembut sambil tersenyum. Tatapannya penuh rasa terima kasih. "Tapi tetap terima kasih atas bunganya hari ini."Lambert tersenyum hangat, menatap Brielle dengan lembut. "Sama-sama." Dia terdiam sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya berkata pelan, "Kalau begitu, aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi aku kapan saja."Brielle menganggukd an menatapnya sampai sosoknya menghilang dari pandangan.Setelah naik ke mobil, Brielle membuka ponselnya dan mencari kontak Niro. Dia mengirim pesan.[ Niro

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 372

    Tak lama kemudian, Brielle dibawa masuk ke sebuah ruang kantor. Beberapa saat kemudian, Sigit datang menghampiri dengan senyum ramah. "Brielle, kamu sudah datang. Jangan tegang, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu," katanya dengan nada hangat.Brielle merasa terkejut dalam hati, ternyata bukan Sigit yang ingin menemuinya?"Pak Sigit, boleh saya tahu siapa yang ingin bertemu saya?" tanya Brielle penasaran."Ikut saya," jawab Sigit sambil menuntunnya menuju ruang rapat di sisi lain.Begitu pintu dibuka, Brielle melihat seorang pria berusia paruh baya duduk di dalam ruangan. Tatapannya langsung membesar.Orang itu adalah Menteri Negara, sekaligus ayah dari Niro.Rasa gugup langsung menyeruak di dadanya. Brielle sama sekali tak menyangka bahwa orang sebesar itu ingin bertemu dengannya. Dia buru-buru menstabilkan napas, tetapi wajahnya tetap tampak memerah karena gugup. Dengan sikap hormat, Brielle menunduk sedikit dan berkata, "Selamat sore, Pak Kusmanto."Kusmanto meletakkan cangkir

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 371

    Brielle bisa mendengar maksud tersembunyi di balik ucapan Devina, tapi dia tidak berniat berdebat dengannya. Devina menunggu Brielle terpancing dan membalas sindirannya. Namun setelah beberapa menit berlalu, Brielle tetap tenang seolah tak mendengar apa pun.Devina menggigit bibir merahnya dengan kesal. Saat itu, seorang staf menghampiri dan mengingatkan, "Upacara penghargaan akan segera dimulai, mohon para tamu penerima penghargaan menuju tempat duduk yang telah ditentukan."Devina menoleh dan menatap Brielle dengan tatapan tajam. Dia tidak mengerti mengapa Brielle selalu begitu mudah menarik perhatian dan mendapatkan pengakuan dari semua orang, bahkan wali kota pun tadi tampak begitu menyukainya.Upacara penghargaan pun resmi dimulai. Pembawa acara mulai memperkenalkan satu per satu pencapaian para penerima penghargaan.Ketika nama Brielle disebut, layar besar menampilkan cuplikan singkat tentang bagaimana dia memimpin timnya menaklukkan berbagai tantangan medis. Tepuk tangan riuh pu

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 370

    Raka menuntut agar dalam waktu tiga bulan hasil penelitian sudah bisa mencapai tahap uji klinis. Saat ini, tim Brielle sudah memasuki tahap uji coba pada hewan. Sejauh ini, semua data menunjukkan hasil yang stabil.Raka terus mendesak agar progres dipercepat. Brielle dan timnya juga berpacu dengan waktu, bekerja tanpa henti. Namun, bagi Brielle, pencapaian ini bukan hanya soal kemajuan penelitian. Hasil akhirnya akan membawa harapan baru bagi banyak pasien. Itulah hal yang benar-benar dia pedulikan.Hari Jumat pun tiba. Upacara penganugerahan akan diadakan pukul 3 sore di kantor pemerintahan kota.Begitu Brielle memarkir mobilnya, dia melihat banyak fotografer dan wartawan sudah berdiri di sekitar karpet merah yang terbentang di depan pintu masuk, dihiasi bunga segar di kedua sisinya. Saat dia melangkah masuk ke aula, seorang staf mengenalinya dengan cepat."Bu Brielle ya? Tempat duduk untuk tamu penerima penghargaan ada di sini."Begitu memasuki aula, langkah Brielle seketika terhenti

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 369

    Raka berjongkok, lalu mengelus kepala besar Gaga. Anjing itu tampak sangat menikmati belaian Raka, mengeluarkan suara lembut penuh kepuasan.Hari itu, Raka mengenakan pakaian kasual, tanpa kesan tajam dan dingin seperti biasanya. Meskipun demikian, dia tetap tampak tampan dan menonjol di antara siapa pun."Papa!" Anya berlari kecil dan langsung memeluknya dengan semangat.Raka tersenyum sambil mengangkat putrinya, tetapi tatapannya tertuju pada Brielle yang berdiri tak jauh dari situ. Hari ini, Brielle hanya mengenakan kaus putih sederhana dan celana jeans. Rambutnya dikuncir santai, terlihat bersih dan segar, bahkan sedikit mirip dengan mahasiswi."Mau ikut juga?" tanya Raka.Brielle menghindari tatapannya. "Aku ada urusan."Raka mengangguk ringan sambil menggendong Anya. "Kalau begitu, kami berangkat dulu."Brielle hanya berdiri di tempat, menatap mobil mereka menjauh sebelum akhirnya mengambil tasnya dan ikut keluar rumah, menuju laboratorium.Belakangan ini, urusan pribadinya terla

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status