Sudah hampir sebulan Fandi juga masih belum juga bekerja. Kesehariannya hanya bermain game online. Hasna mulai gemas dengan suaminya. Bukannya keluar mencari pekerjaan melainkan hanya dirumah saja.
"Bang, tabungan semakin menipis. Bukannya kamu sudah janji akan mencari pekerjaan, kalau di rumah terus bagaimana bisa dapat kerja," keluh Hasna sembari tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang berserakan di lantai.
"Hmm.." jawab lelaki yang tengah asyik bermain game diponselnya.
"Bang!" panggil Hasna lagi merasa ucapannya tak didengarnya, geram sendiri melihat tingkah suaminya yang nampak acuh.
Pasalnya keuangan mereka benar-benar semakin menipis dengan pengeluaran sehari-hari tanpa pemasukan. Diam-diam juga Hasna mencari pekerjaan, bertanya-tanya sekiranya a
"Hush, jangan kenceng-kenceng nanti orangnya dengar, loh! Tak baik juga ngomongin orang," potong bu Sri pemilik warung seraya mengacungkan jari telunjuknya menutup mulutnya sendiri. Spontan membuat ibu-ibu yang sedang bergosip terdiam sesaat dan saling melirik satu sama lain. Baru sadar jika Hasna belum dari tempat mereka berkumpul membicarakannya.Demi tidak ingin mendengar pembicaraan yang tidak mengenakan tentang dirinya, kaki jenjang Hasna mengurai langkah lebar-lebar. Ia berjalan cepat meninggalkan orang-orang yang sedang asyik membicarakan tentang dirinya. Hatinya begitu kesal dengan sikap mereka, baru sebulan tinggal daerah sini sudah menjadi pembicaraan umum. Apakah kebiasan warga sini senang bergosip? Pikirnya dan berlalu. Ingin segera ia cepat sampai ke rumah.Sesampainya di rumah, terlihat Fandi masih asyik dengan ponsel dalam genggamanny
Perdebatan yang terjadi dengan suaminya, membuat Hasna menjadi malas melakukan apapun. Apalagi melihat sarapan sudah susah payah dibuat tidak tersentuh sama sekali oleh Fandi. Niatnya akan memasak menjadi urung.Rebahan di depan televisi yang menyala tapi entah pikirannya kemana. Karena bosan juga hanya berguling di lantai, akhirnya Hasna memutuskan untuk merapikan dan membereskan rumah mungil itu. Dimulai dari kamar mandi, ia sikat bersih dan wangi. Dilanjutkan merapikan dapur yang hanya ada kompor satu tungku di atas meja.Setelah itu ruang tengah, dimana terdapat kasur lantai tempat mereka tidur, dan ruang depan yang hanya ada televisi dan kulkas. Semua ruangan ia sapu bersih dan di pel. Sampai akhirnya tertuju pada lemari pakaian yang pintunya sedikit terbuka karena tadi Fandi mengambil jaket sebelum pergi.
Setelah menemukan yang dicari Fandi segera ke arah dapur dan mengeluarkan butiran dalam kemasan plastik itu. Perlahan ia masukan ke dalam gelas kaca."Kenapa obat itu dicampurkan pada minuman itu? Apa obat itu sebenarnya untukku?" Hasna hanya membatin melihat apa yang dilakukan Fandi dari balik gorden yang menjadi pembatas antara ruang tidur dan dapur. "Sebenarnya obat apa itu? Ada rahasia apa? Berbagai pertanyaan dalam benak Hasna. Memang kemasan obat itu kosong tak ada tulisan atau petunjuk pemakaian apapun. Hanya ada beberapa butir dalam plastik kecil itu. "Ehem..!"Sengaja Hasna mengeluarkan suaranya keras. Kemudian ia berjalan perlahan menghampiri Fandi yang berdiri terpaku. Tanpa sengaja lelaki itu menjatuhkan obat dalam genggaman tangannya. Tampak raut wajahnya putih memucat, tangannya bergetar. "Apa ini?" Hasna bertanya seraya membungkuk mengambil sesuatu yang terjatuh di lantai. "Emm.. itu.. itu." Lidah Fandi terasa kelu untuk menjelaskannya. "Ku mohon, jangan salah paham
"Batalkan saja. Bilang saja sudah tidak menerima karyawan baru untuk di bagian mana pun." Meskipun ragu akan keputusannya, lelaki paruh baya itu berbicara dengan tegas. "Tapi, pak hari ini …"Belum selesai berbicara sambungan telepon sudah diputus secara sepihak. Itulah kebiasaan Surya selalu memutuskan sambungan secara sepihak. Rencana Surya gagal,terpatahkan oleh pendapat istrinya. Surya bekerja sama dengan Andre agar Fandi memulai semuanya dari nol. Meskipun anak sendiri, ia ingin Fandi bekerja dengan sungguh-sungguh. Dimulai dari jabatan yang dianggap sebagian orang rendah. Karena Fandi anak lelaki satu-satunya, lelaki paruh baya itu ingin menguji mentalnya. "Tidak! Aku tidak terima Fandi harus menjadi pelayan di kantor kita sendiri. Seharusnya dia yang jadi Bosnya." Yulia murka mengetahui rencana suaminya. "Batalkan, pih!" protesnya lagi.Tatapannya tajam mengarah ke Surya. Tidak habis pikir bagaimana mungkin suaminya merencanakan sesuatu di belakangnya. Beruntung ia sendir
"Apa! Menikah?" Fandy tersentak mendengar penuturan Hasna. "tidak!" lanjutnya lagi, sesungguhnya ia pun ingin mengiyakan namun di satu sisi kendala orang tua yang membuatnya bimbang. Hasna bergeming tak menyangka Fandy semarah itu. Bukankah ini kabar gembira? Kenapa lelaki yang mengaku mencintainya tak mau menikahi dirinya. "Mm … maksud aku tidak sekarang. Tapi nanti, aku janji. Kita pasti akan menikah. Aku mohon kamu bersabar,” ucap Fandy melunak. Diraihnya tangan wanita manis didepannya. "Tapi kapan? Sebenarnya paman dan bibiku sudah pernah menanyakan perihal ini. Hingga akhirnya muncul gosip itu yang menyebar kemana-kemana." Suara wanita itu parau, ia nyaris meneteskan air matanya. Hasna Safitri namanya, sejujurnya ia pun gemas dengan fitnah yang dituduhkan padanya. Ia tak tega pamannya ha
"Mih," sapanya menampakan senyum, tapi senyum itu surut setelah matanya bersirobok dengan seseorang yang duduk bersebelahan dengan ibunya. "Ah, kenapa ada dia,” desisnya kesal. "Ngapain lu malam-malam disini." tanya Fandi malas kemudian menjatuhkan bobotnya disofa. Gadis yang disapanya akhir-akhir ini sering berkunjung ke rumahnya. Citra namanya, orang tuanya berniat menjodohkan mereka. Meskipun cantik, Fandi tak menaruh hati padanya. Justru ia jatuh hati pada wanita sederhana, Hasna. "Begitukah caramu menyapa calon isterimu yang cantik ini," ucap Citra sembari mengibaskan rambutnya yang terurai. "Fandi, malam ini Citra menginap disini. Mama dan papanya sedang ke luar kota. Kasian dia sendirian di rumah." Yulia menjelaskan kedatangan Citra.
"Tidak Bi, aku tidak mau dijodohkan lagi." Bi Rusti yang mendengar tolakan Hasna mendengus kesal. "Iyalah kamu ini apa-apaan. Lihat gara-gara kamu dulu menjodohkannya. Sekarang dia menjadi janda." Bela mang Edi menghentikan acara makannya. Sarapan didepannya seakan tak mengundang selera lagi. Hasna hanya menunduk, ia tahu bibinya mungkin tertekan karena statusnya. Meskipun bukan dia saja yang berstatus janda. Tetapi entah selalu dia yang menjadi gunjingan warga. "Nasib punya wajah cantik," kata Erna sahabatnya ketika masih menjadi SPG. Mereka berdua memang kerap kali menceritakan kisah hidupnya masing-masing. Apalagi malam itu kedatangan Fandi yang tak disengaja membuatnya heboh. Rasanya tak adil baginya. Ia curiga pada satu nama yang memprovokasi hingga warga berke
"Bagaimana ini?" tanya Andre tanpa suara. Sementara sebentar lagi acara akad segera dimulai. "Nak Fandi, ayo penghulunya sudah datang." Panggilan mang Edi membuyarkan keduanya yang sedari tadi terdiam bimbang. "Halo, Andre!" Suara Yulia dari seberang telepon masih terdengar. "Atur saja, jangan sampe ketahuan." Bisik Fandi nyaris tak terdengar dan berlalu meninggalkan Andre. "I-iya, tante, aduh sinyalnya susah, halo hallo,” sahut Andre seraya mematikan ponsel sepihak dan berlalu menyusul Fandi dirinya akan menjadi saksi pernikahan sahabatnya itu. Dirumahnya Yulia amat kesal, Fandi dan Andre sulit dihubungi. "Pengh