Aku berdiri terpaku di depan sebuah rumah megah bertingkat dua. Halamannya luas. Gerbangnya kokoh berwarna hitam legam dengan ukiran besi yang elegan. Angin pagi meniup lembut jilbabku, tapi dadaku sesak. Sesak karena takut, cemas, sekaligus harap.
Inikah tempatnya? Rumah orang tua kandung Mas Afnan?
Tanganku gemetar saat menyentuh pagar. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Yang aku tahu, aku harus menemui Mas Afnan. Harus.
Seorang Satpam berbadan tegap keluar dari pos penjagaan dan menghampiriku dengan tatapan heran. “Cari siapa, Mbak?” tanyanya sopan.
Aku menelan ludah mencoba menjawab. Tapi suara yang keluar dari tenggorokanku terasa berat dan bergetar. “Sa … saya cari Ma—maksud saya, Pak Afnan,” jawabku pelan.
Satpam itu memandangku sejenak, sepertinya menilai apakah aku orang asing atau memang tamu yang diharapkan. Tapi dia lalu mengangguk sopan dan berkata, “Tunggu sebentar ya, Mbak. Saya lapor dul
Sore itu, langkahku terasa ringan sekali ketika menjejakkan kaki ke halaman rumah. Lelah mengajar seharian serasa lenyap begitu melihat mobil Mas Afnan sudah terparkir rapi di depan. Biasanya dia baru pulang malam. Aku tersenyum kecil karena membayangkan bisa menyiapkan teh hangat untuknya. Mungkin kami bisa bicara seperti tadi malam, dengan hati yang lebih lapang.“Assalamu'alaikum—Astagfirullah, Mas!” pekikku spontan.Darahku serasa berhenti mengalir saat melihat wajah Mas Afnan yang babak belur. Ada beberapa lebam di pipi dan dahinya seperti habis menerima pukulan keras.Aku langsung berlari mendekat, menjatuhkan tas ke lantai begitu saja dan meraih wajahnya dengan kedua tanganku. “Kok bisa gini sih, Mas? Kamu habis berantem?” suaraku gemetar, panik, khawatir, semuanya bercampur jadi satu.Mas Afnan hanya mengangguk.Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke dapur dan membuka laci tempat kotak P3K kami biasa disimpan. Ta
Pagi itu, setelah menata hati semalaman, aku memberanikan diri masuk ke kamar saat kudengar Mas Afnan sedang bersiap ke Kantor. Aku mengepalkan tanganku erat-erat, berusaha menahan gugup yang melonjak di dada.“Bo-boleh aku bantu pasangin dasinya?” tanyaku pelan namun cukup terdengar.Mas Afnan yang tengah berdiri di depan cermin sontak menoleh. Wajahnya tampak sedikit terkejut, tapi tak ada penolakan. Dia hanya mengangguk.Aku menelan ludah, lalu melangkah mendekatinya. Kudekap jarak di antara kami. Kuraih dasi yang masih belum terpasang sempurna di kerah kemejanya, dan mulai memperbaikinya. Tanganku sempat gemetar, tapi aku paksa tetap tenang.Tatapan Mas Afnan begitu terasa dan membuat jantungku berdetak tak keruan. Tapi aku tetap fokus, menunduk agar tak perlu membalas pandangannya. Aku tahu dia memperhatikan. Aku tahu dia merindukan kedekatan ini. Aku juga.Aku sadar, selama tiga hari ini aku terlalu membiarkan diriku larut dalam k
Mas Afnan melangkah mendekat. Tak terburu-buru. Tapi sorot matanya tak lepas dariku. Tidak marah, tapi jelas terluka.“Ini yang kamu inginkan, ‘kan?” lanjutnya lebih pelan, tapi menghantam hatiku lebih keras dari teriakan. “Aku diem ... aku nggak ganggu kamu ... aku nggak nyentuh kamu, aku bahkan pulang larut supaya kamu bisa bernafas. Bukankah ini yang kamu inginkan?”“Bukan,” suaraku nyaris tak terdengar. Air mataku jatuh satu-satu.Mas Afnan menggeleng pelan. “Aku cuma pengen deket, Saf. Bukan karena aku nggak sabar. Tapi karena aku ingin kamu tahu, kamu tetap milikku. Istriku. Tapi kalau bahkan itu aja kamu tolak aku harus gimana lagi?”Aku merasa lumpuh. Tidak tahu harus menjawab apa. Yang aku tahu hanya dadaku sakit. Sangat sakit.Mas Afnan maju. Langkahnya pelan, tapi pasti. Aku tak mampu menatap langsung ke matanya. Sampai ia berhenti, hanya satu langkah dari tempatku berdiri. Jaraknya d
Tiga hari telah berlalu. Tapi tidak dengan hatiku.Aku masih di sini, di rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bersamanya, tapi justru jadi saksi bagaimana aku perlahan menjauh dari satu-satunya orang yang selalu ada untukku. Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut kenyataan akan lebih pahit dari yang bisa kuterima.Hari ini aku memasak seperti biasa. Menyiapkan makan siang untuk Mas Afnan yang sedang cuti sementara dari Kantor. Sayuran rebus dan ikan bakar sederhana, tapi kualami kesulitan menikmati momen-momen yang biasanya menenangkan ini.Ketika sedang sibuk menata bumbu, aku merasakan lenganku ditarik pelan dari belakang. Tubuh Mas Afnan memelukku erat. Kehangatannya menyelimuti tubuhku.“Aku kangen, Saf,” ucapnya pelan, tepat di telingaku.Tubuhku menegang. Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena rindu, tapi panik. Cemas. Gelisah yang tiba-tiba meluap begitu saja.Aku menggenggam tangan Mas Afnan y
Cahaya pagi menelusup malu-malu dari celah gorden dan menghangatkan kulitku yang masih dibalut selimut tipis. Rasanya baru beberapa menit lalu aku memejamkan mata, tapi kini aku terbangun oleh sentuhan lembut di pipiku. Hangat, menenangkan, dan membuat dadaku kembali sesak oleh banyak rasa.Aku mengerjap pelan.Mas Afnan sudah lebih dulu terjaga. Tatapannya menembus mataku seolah mencoba membaca isi hati yang masih berantakan. Jarak wajah kami begitu dekat. Nafasnya yang teratur terasa menyentuh kulit wajahku.“Pagi, Sayang,” ucapnya lirih.Aku tak langsung menjawab. Tenggorokanku terasa mengering. Aku mengalihkan pandanganku dan menunduk. “A-aku mandi duluan ya, Mas,” bisikku nyaris tak terdengar dan berusaha bangkit dari tempat tidur.Tapi gerakanku terhenti. Mas Afnan menarikku kembali ke dalam dekapannya. Tubuhku refleks menegang, tapi sentuhannya menenangkan. Bukan mengekang, melainkan menahan agar aku tetap tinggal. Ag
Mobil melaju dalam diam. Di dalamnya, hanya ada suara pelan dari AC dan putaran ban yang menggilas aspal. Tapi di dalam kepalaku, semuanya bising. Terlalu bising.Pikiranku tak henti-hentinya memutar ulang rekaman itu. Aku bahkan tak sadar kami sudah tiba, sampai sebuah sentuhan hangat menjalari tanganku.“Safa,” panggil Mas Afnan pelan. “Kenapa?”Aku tersentak kecil. Tatapanku menoleh padanya dan buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa,” bohongku. Aku tahu Mas Afnan tahu aku bohong. Tapi dia tak bertanya lebih lanjut. Kami turun dari mobil dan berjalan menuju rumah.Langkah-langkah kami sunyi. Dan saat kami berdiri tepat di depan pintu kamar, kakiku tiba-tiba berat. Aku terdiam di depan ambang pintu. Nafasku tercekat. Ketakutan itu kembali merayap dan menyesakkan dadaku seperti malam yang tidak berujung.“Mas,” suaraku. Aku menatap pintu kamar yang tertutup. “Gimana kalau laki-laki itu udah lakuin