"Dasar kampret! Kau berani memandangku seperti itu setelah menamparku?!" Tatapan mata Randy menjadi sangat tajam. Ingin sekali rasanya ia mencekik perempuan di depannya itu.
Ketika ia hendak menarik kerah baju perempuan itu, tangannya langsung dipelintir dan membuat Randy menjerit kesakitan."Argh! Sakit! Sakit! Lepas, woi!" Randy merintih memohon ampun."Jangan macam-macam dengan perempuan itu!" Dannis telah berdiri dan langsung menggapai tangan Randy. Ia mencengkeramnya begitu kuat."Kau?!" Randy langsung menoleh ke arah Dannis. Ia menghempaskan tangan lelaki itu dan mendorongnya agar menjauh darinya.Dannis terdorong lumayan jauh. Untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Meski begitu, beberapa luka yang tersemat di tubuhnya masih terasa sangat sakit."Kau masih ingin melanjutkannya?" Luna masih menatap tajam lelaki di depannya. Satu tangannya terlihat mengepal. Ia sudah bersiap untuk meninju sampah di depannya.Melihat raut wajah Luna yang tampak serius membuat Randy mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk menarik diri. Namun sebelum ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu, Randy mendatangi Dannis yang tampak sempoyongan. Ia menampar wajahnya dan tersenyum ke arah Dannis."Kau itu perempuan atau cowok? Masa tidak malu dibelain sama perempuan?" bisik Randy. Ucapannya begitu menampar Dannis yang kala itu sudah terlihat babak belur.Beberapa komplotan Randy pun ikut pergi dari sana. Namun sebelum ia benar-benar pergi, beberapa temannya sengaja merusak kedai mie ayam dan membuat semua perabotnya berantakan.Dannis menghela napas cepat sambil mengusap darah yang menetes dari lukanya. Ia melewati Luna tanpa mengucapkan apa pun. Dalam keadaan penuh luka di tubuhnya, ia terlihat membantu memungut beberapa piring kaca yang pecah dan sendok-garpu yang berceceran di lantai."Maafkan, Bapak. Bapak tidak punya pilihan lain kecuali diam saja." Pemilik kedai merasa bersalah.Melihat hal itu, akhirnya Luna ikut membantu Dannis mengangkat kuali besar yang biasa digunakan untuk merebus mie. Kedai itu terlihat berantakan sekali. Air rebusan mie juga menggenang di mana-mana. Sayangnya, pemilik kedai lainnya memilih untuk diam karena takut bila mereka yang akan menjadi sasaran selanjutnya."Pak, lebih baik dia dipecat saja! Bakal bahaya kalau bapak masih mempekerjakan Dannis di kedai ini!" sahut salah seorang ibu pemilik kedai makanan lainnya."Saya yang akan mengundurkan diri, Bu. Pak, maaf sudah merepotkan. Ini uang yang saya punya. Semoga bisa membeli sedikit bahan untuk jualan besok," ungkap Dannis. Uang senilai tiga ratus ribu yang baru ia ambil dari rekening beasiswanya sebenarnya ingin ia gunakan untuk kebutuhan hidup seminggu ke depan, namun keadaan memaksanya untuk merelakan uang itu.Tapi ketika Dannis hendak memberikan uangnya ke tangan pemilik kedai, Luna mencegahnya."Maaf, Pak. Biar saya yang ganti semuanya. Apa ini cukup?" Luna memberikan uang senilai satu juta kepada pemilik kedai. Ia baru saja mengambil uang dari ATM untuk keperluan kelas, namun niatnya harus diurungkan demi membantu temannya.Tanpa berkelit lagi, pemilik kedai segera menerima uang itu. Ia memohon maaf kepada Luna dan Dannis atas keributan itu. Luna pun segera membantu cowok di sampingnya untuk segera pergi dari kantin.Dannis merasa malu dan terus saja memalingkan wajahnya dari perempuan yang telah menolongnya. Ia sebenarnya tahu siapa Luna. Dari awal semester satu, ia selalu mengikuti perjalanan perempuan yang menuntunnya itu. Ketika pertandingan pencak silat antar kampus diadakan di stadion olahraga, Dannis mampir untuk memberikan dukungan pada Luna."Aw! Maaf …." Luka di bagian pinggang dan perutnya masih terasa nyeri. Bahkan ia harus berjalan pelan untuk menghindari guncangan.Luna membantu Dannis untuk menuju ke ruang UKS, namun cowok itu malah memintanya untuk membawa dirinya ke gedung workshop teknik sipil yang berada di belakang fakultas. Meski jalannya lumayan jauh, Dannis tetap berupaya untuk sampai ke sana."Seharusnya kamu melawan dia. Kamu punya keahlian bela diri juga, 'kan?" ucap Luna.Ia tahu ketika dahulu di semester satu, Dannis ikut mendaftar di unit kegiatan mahasiswa cabang taekwondo. Namun karena satu dan lain hal, ia berhenti di tengah semester dan memilih untuk fokus pada kuliah saja. Luna yang satu kelas dengannya tidak bisa menggapai cowok itu karena setiap kuliah selesai, ia langsung kabur dan pergi."Bila aku melawan, maka semuanya akan bertambah rumit," pikir Dannis.Cowok itu meminta Luna untuk membantunya duduk di gazebo kecil yang berada di taman workshop. Ia menghela napas untuk membuang kesialannya. Dannis menggulung kemeja bagian bawahnya dan melihat luka memar yang cukup parah. Kulitnya sudah lebam dan membiru."Kau harus ke rumah sakit dan memeriksakannya," pikir Luna. Ia merasa cemas ketika melihat luka-luka itu."Tidak perlu, aku hanya harus pulang ke kosan dan beristirahat saja." Dannis tersenyum. Ia mencoba bersikap tenang meski dirinya masih merasakan sakitnya."Kamu yakin? Luka seperti itu bila tidak diobati akan menjalar ke mana-mana," pikir Luna.Dannis berusaha untuk kembali berdiri. Tangannya mencoba menangkap benda apa pun yang ada disekitarnya untuk membantunya menopang tubuh."Terima kasih untuk bantuannya, namun maaf, aku harus pergi sendirian," ucapnya. Ia meninggalkan perempuan itu yang masih menatap ke arahnya dengan rasa cemas.Berjalan menuju ke gerbang belakang fakultas sudah membuatnya lelah, ditambah lagi dengan harus memikul luka-luka itu. Alhasil, ia memilih untuk menggunakan jasa ojek yang sedang mangkal di dekat situ. Uang senilai lima belas ribu yang tersimpan di kantong celananya harus ia relakan."Bang, tolong ke kosan yang ada di sana." Dannis memberi petunjuk arah ke Abang ojeknya.Perjalanan ke tempat kos-nya tidak lumayan jauh. Hanya butuh lima menit untuknya sampai di depan gerbang bangunan kos berlantai dua dengan banyak pintu.Dannis segera turun dari motor bebek si abang ojek dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju ke kamar kos yang berada di lantai dua. Ketika ia berada di depan pintu kamarnya, suara berisik terdengar dari dalam kamar."Aryo!" Kedua mata Dannis terbelalak ketika melihat perabot di dalam kamarnya menjadi berantakan.Laptop miliknya telah hancur terbelah menjadi dua dan tergeletak begitu saja di lantai. Lalu buku-buku kuliah miliknya juga sudah sobek dan berserakan di lantai. Yang lebih parah lagi, baju dan celana yang ditata rapi di lemari kayu sudah berceceran di atas kasur busa."Eh, ada gembel. Sorry, tapi enak juga ngacak-ngacak kamar orang seperti ini," ungkap Aryo yang tertawa, meremehkan kehadiran Dannis yang kala itu terlihat kebingungan."Apa maksudmu?! Kenapa kamu mengotori kamarku!" Dannis menatap tajam temannya."Oh, ini karena uang ini. Aku baru saja di transfer tiga juta oleh Randy. Dia bilang, aku harus menghancurkan seluruh barang-barang yang ada di kosanmu." Aryo menyeringai licik.Ia adalah sahabat yang sudah dikenal Dannis sejak SMA, sama seperti Anya. Namun Dannis tidak menyangka bila sahabatnya itu bisa melakukan hal itu kepadanya. Lihat saja, tidak ada yang tersisa dari kamarnya. Semuanya hancur dan berantakan. Baju yang berserakan di atas kasur juga telah dirobek-robek."Uang? Jadi kamu melakukan ini karena uang? Terus bagaimana dengan pertemanan kita?! Apa semuanya tidak ada artinya?!" Dannis membentaknya. Emosinya sudah memuncak hingga ke urat leher."Jujur, aku malu punya teman yang tidak berguna sepertimu. Andai waktu SMA kamu jujur menjadi pengemis dengan bekerja di warung remang-remang, aku pasti sudah meninggalkanmu saat itu. Tapi apa? Kamu menyembunyikannya serapat mungkin!" Aryo malah menuduh Dannis atas kebohongannya."Oh, begitu. Baiklah, aku mengerti." Dannis mengurungkan niatnya untuk menghajar sahabatnya itu. Tenaganya sudah terkuras habis oleh masalah yang tadi. Saat ini ia hanya bisa menyisihkan barang-barang yang dianggapnya masih bisa digunakan.Aryo pun meninggalkan sahabatnya itu dengan tertawa lebar sambil menghubungi Randy dan melaporkan pekerjaannya sudah selesai. Sebelum ia pergi, Aryo sempat mengambil foto Dannis yang terlihat sedang mengais barang-barangnya di lantai. Foto itupun dilampirkan Aryo di chat-nya dengan Randy. Emoji meledek dan tertawa terbahak-bahak melengkapi chat itu."Sial! Laptopku …." Dannis menyimpan semua tugas dan juga data kuliahnya di laptop itu. Bahkan foto-foto orang tuanya ia simpan di sana. Berapa marahnya ia ketika melihat keadaan laptopnya.Namun ketika dirinya berupaya memilah barang yang masih bisa digunakan dengan keadaan tubuh yang terluka, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Ia menoleh. Dannis tidak mengenal orang yang berdiri dengan mengenakan setelan jas hitam serta memiliki tatanan rambut rapi di pintunya."Tuan muda, akhirnya aku menemukanmu!" ucap lelaki misterius yang tiba-tiba muncul di depan pintu dengan senyum yang sumringah.“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad