"Silahkan, meja untuk dua orang sudah kami sediakan." Salah seorang pelayan menghampiri Dannis dan mempersilahkan mereka untuk ikut dengannya.
Ketika Dannis hendak melangkah untuk mengikuti pelayan itu, Luna menghentikannya. Ia memegang lengan lelaki di depannya dengan tatapan heran. Ada rasa khawatir dan juga bingung di kedua mata Luna."Tidak apa-apa…." Dannis memberikan jawabannya berupa senyuman singkat. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan membawanya untuk mengikuti si pelayan.Rasa kesal terlihat jelas di wajah Randy ketika ia melihat Dannis telah masuk ke dalam restoran. Ia meminta kepada pelayan yang bertugas di bagian reservasi untuk kembali memeriksa namanya. "Bagaimana mungkin namaku tidak ada?! Apa kau sedang bercanda!" Randy merasa gusar. Dirinya seperti sedang dipermainkan. "Maaf, Tuan. Aku sudah bilang padamu sebanyak tiga kali, namamu tidak ada di dalam list," ucap pelayan itu. Ia meminta Randy dan juga rombongannya untuk segera meninggalkan restoran itu. Beberapa tamu yang mengantri di belakang para mahasiswa memilih untuk maju dan menyalip antrian mereka. Dan ketika berada di belakang Randy, mereka tidak segan untuk mendahuluinya. "Bos, kenapa jadi begini?" Ucap Aryo dengan wajah kebingungan. "Jangan tanya padaku! Aku sendiri tidak tahu!" Karena begitu kesalnya, Randy memilih untuk pergi dari sana. "Yah, kita tidak jadi makan enak, dong?" Anya cemberut. Kesempatannya untuk mencicipi makanan mahal pun hilang. Para mahasiswa lain yang telah menyempatkan waktu untuk datang ke acara yang diadakan oleh Randy pun akhirnya gigit jari. Banyak dari mereka yang menyindir Randy dan teman-teman gengnya. "Apa kita akan duduk di sini?" Luna menoleh cepat ke arah Dannis. Wajahnya begitu bingung. "Silahkan…." Pelayan menarik dua kursi kosong yang berada di depan mereka secara bergantian. Ia mempersilahkan keduanya untuk duduk. Dannis tidak bisa berhenti tersenyum ketika melihat raut wajah perempuan yang duduk di depannya. Dari awal mereka duduk hingga ketika pelayan menjelaskan menu makanan yang akan dihidangkan, Luna melongo dan diam tanpa berkata sedikitpun. Kepalanya hanya mengangguk setiap kali pelayan selesai menjelaskan sesuatu. "Untung saja kita bisa dapat meja." Kedua matanya tidak bisa beralih dari wajah perempuan di depannya. "Nah! Itu yang ingin aku tanyakan. Kok, bisa?" Luna tidak menyangka bila Dannis benar-benar melakukan reservasi. Ditambah lagi, saat ini pelayan sedang mengambilkan beberapa menu makanan yang terbilang mewah dan juga mahal. Ia merasa cemas bila uang sakunya tidak bisa membayar semua makanan itu. "Kamu penasaran?" Dannis menggodanya. "Dannis, kamu tahu berapa harga makanan di sini? Kalau kamu asal pesan tanpa tahu harganya, kita berdua bisa mati! Jujur saja, aku hanya bawa uang sekitar tiga juta," bisik Luna yang sudah kepalang takut. "Tenang saja. Aku mendapat sedikit bantuan dari pamanku yang bekerja di sini. Jadi kau tidak perlu khawatir," balasnya. Dannis menenggak air mineral yang tersedia di depannya. Luna tidak mengetahui bila Dannis memiliki seorang paman. Setahunya, lelaki di depannya adalah seorang yatim-piatu. Ia merasa Dannis sedang menyembunyikan sesuatu darinya. "Paman yang mana? Memang apa posisi pamanmu sehingga bisa melakukan reservasi dan mentraktir kita berdua makan di sini?" Luna melihat beberapa makanan telah dihidangkan di atas meja. Tiga pelayan secara bergantian menghidangkan menu berkualitas bintang lima tepat di hadapan keduanya. "Coba kamu cicipi, ini enak." Dannis memotong sedikit makanan yang ada di depannya dan lalu melahapnya. Wajahnya tampak tenang dihiasi dengan senyum merekah. Tapi hal itu berbanding terbalik dengan Luna. Ia bahkan mencari tahu di internet harga ketiga menu makanan yang ada di depannya. Mulutnya terbuka lebar ketika ia melihat barisan angka berdigit enam tersemat di poster masing-masing menu itu. "Dannis! Jangan dimakan! Letakkan sendokmu! Lebih baik kita keluar dari sini!" Luna berbisik sangat pelan. Uang yang berada di tas selempangnya tidaklah cukup untuk menanggung ketiga makanan di depannya. Terlebih lagi, masih ada tiga menu yang belum datang. "Loh, kenapa? Sayang, 'kan? Semuanya sudah dipesan dan dibayar." Dannis meledek perempuan di depannya dengan terus bersikap tenang dan bodoh amat."Sebentar, sudah dibayar? Apa maksudmu? Sebenarnya apa pekerjaan pamanmu di restoran ini?" Luna semakin bingung. "Oh… i–itu… dia bekerja sebagai top manajemen di hotel ini." Raut wajah gugup meliputi Dannis. Sikapnya menjadi kikuk, sebisa mungkin ia mengelak dan tetap menyembunyikan rahasianya. Setelah mendengar jawaban temannya, sedikit ada rasa lega yang merekah di hati Luna. Ia merasa tidak sungkan lagi untuk menikmati makanan yang terhidang di depan matanya. Satu per satu menu makanan ia cicipi. Di lain pihak, Dannis menghubungi pengawalnya melalui pesan singkat.[Hei, kenapa Randy dan teman-temannya tidak bisa masuk ke dalam restoran? Apa itu karena dirimu?] Pesan terkirim.[Rencanaku berhasil, 'kan? Bagaimana? Apa si bocah kaya itu sudah diusir?] Pesan balasan diterima oleh Dannis. Ia tertawa kecil ketika membaca pesan dari pengawalnya. Tapi Dannis merasa bersyukur karena rencananya untuk makan berdua saja dengan Luna berhasil. "Pemandangannya bagus." Luna menatap jauh keluar jendela. Langit sudah mulai menjadi gelap. Dannis menanggapi ucapan perempuan di depannya dengan gumam kecil yang diakhiri dengan senyuman. Keduanya menatap langit malam sambil menyendok masing-masing hidangan di depannya. "Ngomong-ngomong, apa kau sudah mengajukan permohonan untuk melakukan praktek kerja lapangan?" Luna menatap mata lelaki di depannya."Oh, aku masih menimbang-nimbang di mana harus melakukannya," balas Dannis. "Kalau kau mau, aku bisa merekomendasikanmu ke perusahaan tempatku nanti melakukan praktek kerja lapangan." Luna merasa harus membalas kebaikan Dannis yang telah memperbolehkannya ikut makan di restoran mewah itu. "Benarkah? Artinya nanti kita bisa berangkat PKL bersama-sama?" Dannis langsung menodong perempuan itu dengan permintaannya. "Boleh saja, asal kau bisa datang tepat waktu," balas Luna. Setelah beberapa jam berlalu dan keduanya merasa puas dengan pelayanan serta makanan yang dihidangkan, mereka kembali turun ke lobi. Sekali lagi, Luna melihat beberapa pelayan dan resepsionis yang menundukkan tubuhnya ke arah mereka berdua.Luan berpikir bila mereka melakukan hal itu untuk menghormati Dannis yang merupakan keponakan dari top manajemen di sini."Sekarang kamu tinggal di mana? Kudengar dari beberapa teman, katanya kamu baru pindah kos-kosan?" Luna menoleh dan menanyakan hal yang sensitif.Dannis merasa ragu untuk membalas pertanyaan perempuan itu. Ia mencoba untuk melontarkan senyum saja ke arah Luna, alih-alih mengelak darinya. "Maaf, apa pertanyaanku mengganggumu?" Luna menghentikan keingintahuannya."Kurasa kita berpisah di sini saja. Maaf, tapi aku harus balik ke rumah dulu." Luna menghentikan langkahnya. "Baiklah, terima kasih sudah mau menemaniku makan," ucap Dannis. "Aku yang harusnya berterima kasih untuk makan malamnya. Aku sangat menikmatinya. Dan sampaikan salamku juga untuk pamanmu." Luna melambaikan tangannya dan pergi menuju ke halte bus. Ketika Dannis hendak memesan ojek online, tiba-tiba mobil berwarna hitam berhenti di depan dirinya. Ketika kaca mobil itu turun, seseorang dari dalam mobil memanggil Dannis. "Perlu tumpangan?" Dan disaat yang bersamaan, Luna melihat Dannis naik ke dalam mobil hitam itu. "Dia naik mobil siapa?" Luna merasa penasaran.“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad