Deril, seorang jenderal perang terkemuka di Asia Tenggara, menjalani kehidupan yang bertolak belakang dengan reputasinya. Ia memilih untuk berpura-pura hidup sederhana dan tidak bisa diandalkan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan militernya demi melindungi istrinya dari incaran musuhnya ketika di medan perang meskipun harus menerima banyak cacian dari keluarga istrinya. Hal itu rela Deril lakukan sebagai bentuk balas budi kepada kakek istrinya yang telah menolong nyawa Deril ketika di medan perang.
View MoreDeril adalah pemuda biasa yang menjalani hidup di Kaba City, sebuah desa kecil di sudut Asia Tenggara.
Setiap pagi, ia bangun dengan merasakan hangatnya sinar matahari menyelinap melalui jendela. Di sampingnya, Lina, istrinya yang cantik, berkulit putih seperti artis dari Korea, masih terlelap. Selama lima tahun bersama, mereka membangun kehidupan sederhana di rumah yang dikelilingi kebun buah milik keluarga Lina. Namun, kebahagiaan itu tak sepenuhnya sempurna. Suatu sore, keluarga Lina berkumpul membahas masa depan usaha perkebunan mereka. "Kita butuh hasil produk perkebunan yang bagus, dan ditambah lagi, persaingan sesama pengusaha kebun semakin meningkat. Untuk itu, kita harus mengembangkan bisnis," kata Sari, ibu mertuanya, dengan nada serius. "Tanpa itu, kita tidak akan bisa bersaing." Sintya, adik iparnya yang cantik dan mirip seperti Lina serta masih berseragam SMA, menambahkan, "Kalau saja kakak iparku bisa diandalkan dan bisa membantu, kita bisa memperluas lahan dan meningkatkan produksi. Namun sayangnya, dia tidak ada gunanya di keluarga ini." Deril mendengarkan, merasa semakin tertekan. Ia tahu bahwa kemampuannya tidak ada dalam pandangan mereka. Nenek Lin Lin, meski tua dan lemah, mengangguk setuju. "Benar. Anak muda harus berusaha. Keluarga kita membutuhkan dukungan untuk bertahan." Namun, setiap kata itu seolah menambah beban di pundaknya. Deril merasa terjebak dalam penilaian keluarga Lina yang selalu merendahkan. Namun, Deril bersikap tenang. “Deril, kita semua berharap kamu bisa lebih membantu,” kata Sari dengan nada sinis. “Kami tidak bisa terus menunggu harapan kosong.” Tiba-tiba, Lapenris, abang ipar Deril, menyela dengan suara lantang. “Iya, Kakak. Kita butuh tindakan nyata, bukan hanya janji-janji. Jika kamu tidak bisa berkontribusi, lebih baik kamu cerai saja dari Lina.” Deril merasakan darahnya mendidih. “Mundur? Jadi aku harus menyerah hanya karena kalian tidak melihat potensiku?” Deril berkata sambil tersenyum tipis. “Karena itu kenyataannya,” jawab Lapenris dengan sinis. “Kau hanya menghabiskan waktu di sini. Jika kau ingin dihargai, buktikan bahwa kamu bisa melakukan sesuatu yang berguna.” Sintya menambahkan, “Betul, Lapenris. Kita tidak bisa terus berharap pada seseorang yang tidak punya pengalaman. Kita semua berusaha keras untuk keluarga ini.” Deril merasa semakin terpojok, namun tetap tenang dan memiliki aura yang tenang. “Aku telah banyak belajar! Aku hanya butuh kesempatan untuk menunjukkan apa yang bisa kulakukan.” “Belajar? Dari mana kamu akan mulai?” tanya Lapenris, meragukan. “Kau bahkan tidak tahu cara merawat tanaman dengan baik. Kami tidak bisa terus menunggu kamu mencari tahu.” Mendengar itu, Deril hanya tersenyum tipis. “Aku bukan hanya seorang pemuda biasa. Aku adalah bagian dari keluarga ini, dan aku berhak untuk berkontribusi,” pikirnya. “Dan kalian tidak akan percaya akan statusku.” Deril berkata dalam hatinya, jika saja mereka mengetahui statusku sebagai jenderal perang Asia Tenggara dan aku salah satu orang terkaya yang memiliki aset perusahaan investasi terbesar di dunia, pasti mereka akan berlutut di depanku. “Bagian dari keluarga?” Lapenris mencibir. “Keluarga ini butuh orang yang bisa diandalkan, bukan hanya angan-angan.” Deril merasakan hinaan itu menembus jiwanya. Namun dia tidak memperdulikannya; memang setiap kata yang keluar dari mulut Lapenris dan Sintya seakan menambah beban, terutama terhadap Lina yang bingung dan sedih mendengar Deril diperlakukan seperti itu. Lina merasa hatinya hancur melihat suaminya diperlakukan seperti itu. Ia berdiri, menatap keluarganya dengan tegas. “Cukup! Kalian semua terlalu keras pada Deril. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mendukung kita, dan kalian hanya merendahkan usahanya. Apa kalian tidak bisa melihat betapa kerasnya dia berjuang?” “Lina, ini bukan tentang merendahkan,” jawab Sari dengan nada defensif. “Kami hanya ingin yang terbaik untuk keluarga kita. Deril perlu menyadari bahwa ada ekspektasi yang harus dipenuhi.” “Ekspektasi?” Lina mengulangi, suaranya meningkat. “Dia bukan mesin yang bisa langsung memberi hasil. Setiap orang butuh waktu untuk belajar dan berkembang. Jika kalian terus meragukannya, bagaimana dia bisa merasa percaya diri untuk mencoba?” Lapenris, yang merasa tersudut, mencoba membela diri. “Kami hanya realistis. Kami tidak bisa terus berharap pada seseorang yang tidak punya pengalaman.” “Dan siapa yang menentukan ukuran pengalaman itu?” balas Lina, menatap tajam. “Deril mungkin tidak memiliki latar belakang perkebunan atau pertanian, tetapi dia memiliki semangat dan tekad. Itu lebih berharga daripada sekadar pengalaman yang kalian anggap penting.” Deril menggenggam tangan Lina dengan lembut, mencoba menenangkan gelombang emosi yang melanda istrinya. “Lina, jangan biarkan kata-kata mereka menghancurkan semangatmu. Aku tahu mereka merendahkanku, tetapi aku tidak akan membiarkan itu membuatku merasa tidak berguna. Aku punya rencana,” ujarnya, berusaha menunjukkan keyakinan meski hatinya bergetar. “Tapi, Deril, mereka terus menganggapmu tidak mampu. Aku merasa frustrasi melihatmu diperlakukan seperti itu,” balas Lina, air mata mulai menggenang di matanya. “Kau layak mendapatkan dukungan, bukan hanya cemoohan.” Deril menarik napas dalam, menatap mata Lina dengan tulus dan berkata dalam hati, “Aku tahu statusku di sini, dan aku sudah berjanji padaku sendiri bahwa suatu saat, aku akan membuktikan siapa diriku sebenarnya. Ketika saatnya tiba, kau akan melihat bahwa aku lebih dari apa yang mereka bayangkan.” Dan jika bukan karena kakek Lina yang menemaninya saat berperang di Asia Tenggara dan Lina, istrinya yang dia cintai, maka dia tidak akan mau membantu keluarga ini. Tak lama setelah diskusi itu, Sintya, yang ingin pergi jalan-jalan bersama teman-temannya, melontarkan komentar sinis. "Kakak ipar yang tidak berguna," ujarnya, seolah Deril adalah penghalang impiannya. Deril menahan napas, hatinya teriris. Setiap ejekan membuatnya semakin merasa kecil, namun ia tidak peduli akan semua ejekan tersebut. Bahkan, Deril ingin membantu keluarga Lina agar terhindar dari kebangkrutan.Setelah rapat keluarga, Lapenris merasa sangat percaya diri. Ia segera pergi ke kantor Investama, tempat Angel bekerja, untuk mengajukan pinjaman bagi usaha Lina dan Deril. Dengan langkah mantap, ia memasuki gedung modern yang menjadi simbol kesuksesan. Sesampainya di dalam, Lapenris langsung menuju meja resepsionis. "Halo, saya ingin bertemu dengan Angel," katanya, berusaha menunjukkan sikap percaya diri. "Silakan tunggu sebentar, saya akan memberitahu beliau," jawab resepsionis dengan ramah. Setelah beberapa menit menunggu, Angel muncul. "Lapenris! Apa kabar? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyum hangat. Lapenris mengambil napas dalam-dalam, berusaha terlihat tenang. "Aku datang untuk membicarakan kemungkinan pinjaman investasi untuk usaha Lina dan Deril." Angel mengangguk, terlihat serius. "Baik, saya sudah mendengar tentang usaha mereka. Apa rencanamu?" Lapenris mulai menjelaskan, "Kami ingin membuat pabrik kecil untuk memproduksi lebih banyak produk olahan
Setelah beberapa minggu bekerja keras, usaha Lina dan Deril mulai menunjukkan hasil. Mereka berhasil membuat berbagai produk olahan dari sayur-sayuran yang mereka beli, dan hasilnya sangat memuaskan. Keripik sayur yang mereka buat menjadi favorit di kalangan teman-teman dan tetangga. "Deril, lihat ini!" seru Lina dengan antusias saat mereka mengemas produk baru. "Aku baru saja menerima pesan dari beberapa orang yang ingin memesan keripik kita!" Deril tersenyum lebar. "Itu luar biasa! Setiap usaha kita membuahkan hasil. Semangat kita tidak sia-sia." Namun, saat mereka mengumumkan keberhasilan kepada keluarga, reaksi yang mereka dapatkan tidak seperti yang diharapkan. Ibu Sari, yang sebelumnya skeptis, mengangkat alisnya. "Jadi, kalian pikir ini bisa menjadi bisnis yang serius? Coba lihat, hanya beberapa paket yang terjual," ujarnya dengan nada merendahkan. Sintya, yang duduk di sampingnya, ikut menambahkan, "Apakah kalian tidak merasa malu? Menghabiskan waktu untuk hal seperti i
Di teras rumah yang sederhana, Deril duduk di samping Lina, sambil menyeruput teh hangat. "Lina, aku punya ide brilian untuk meningkatkan pendapatan kita," kata Deril, matanya bersinar penuh semangat. Lina menatapnya, penasaran. "Oh, ya? Apa ide itu, Deril?" "Kita bisa memanfaatkan hasil pertanian kita dan membuat produk olahan dari sayur dan buah yang kita tanam sendiri," jelas Deril, bersemangat. Lina mengangguk, sedikit ragu. "Tapi, bagaimana jika kita beri tahu ibu dan keluarga kita? Mereka pasti bisa memberi masukan." Deril menghela napas. "Baiklah, mari kita coba. Tapi aku berharap mereka bisa mendukung kita." Mereka pun mengundang Ibu Sari, mertua Deril, serta Lin Lin, nenek Lina, untuk berdiskusi. Setelah semua berkumpul, Deril membagikan ide mereka. "Kami berpikir untuk membuat keripik sayur dan selai buah dari hasil pertanian kita." Ibu Sari mengerutkan dahi. "Deril, itu ide yang bagus, tetapi pasar untuk produk seperti itu sangat kecil. Apa kamu yakin bisa menj
Tak lama setelah itu, Angel tiba memasuki aula dengan pengawalnya. Aura kehadirannya langsung menarik perhatian semua orang. Lina dan keluarganya tertegun melihat penampilannya. Angel terlihat begitu cantik dengan sepatu hak tinggi yang menambah kesan elegannya, serta rambut lurusnya yang diikat rapi. “Lihat, itu Angel!” bisik Lina kepada Deril, matanya berbinar penuh kekaguman. Deril menatap Angel dengan senyum. “Dia memang selalu memukau. Aku tidak heran semua orang terpesona.” Sementara itu, Ibu Sari mengamati Angel dengan rasa takjub. “Dia terlihat sangat berkelas. Pasti banyak yang mengaguminya di sini,” ucapnya, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Ya, dia pasti menjadi pusat perhatian,” balas Sintya, mengangguk setuju. “Kita harus menyapa dan memperkenalkan diri.” Angel melangkah dengan percaya diri, menyapa beberapa pengunjung yang mendekatinya. Saat melewati Deril, ia menatapnya dan memberi hormat sedikit. Beberapa orang di sekitar terdiam, mengamati momen itu denga
Lina menatap keluarganya dengan senyum lebar. “Ayo, kita lihat lebih banyak karya seni! Aku ingin menunjukkan beberapa hal padamu semua.” Deril mengikuti di belakang, merasa senang melihat Lina berbagi kegembiraannya dengan keluarganya. Meskipun ada ketegangan di antara beberapa anggota keluarganya, suasana pameran tetap ceria dan penuh energi. Tidak lama setelah itu, Deril mulai menjelaskan kepada Lina dan keluarganya yang mengikuti di belakang mereka tentang berbagai benda yang dipamerkan. Mereka berhenti di depan sebuah lukisan yang menggambarkan pemandangan alam yang indah. “Lihatlah lukisan ini, teknik cat minyaknya sangat halus. Perpaduan warna biru dan hijau menciptakan kedalaman yang luar biasa,” jelas Deril dengan antusias. “Wow, itu luar biasa! Aku tidak menyadari betapa rumitnya itu,” balas Lina, terpesona. Ia memperhatikan bagaimana Deril mengamati setiap detail. Namun, Ibu Sari tiba-tiba menyela, “Deril, kamu jangan membual. Dari mana kamu bisa tahu semua ini? Sepert
Acara pameran seni akhirnya tiba, dan Deril pergi bersama Lina menuju aula tempat acara berlangsung. Saat mereka tiba, suasana di dalam aula begitu hidup, dipenuhi oleh warga desa yang antusias. Deril dan Lina melangkah masuk, terpesona oleh berbagai karya seni yang dipamerkan. “Wow, lihat betapa ramai acara ini!” seru Lina, matanya berbinar melihat banyak orang berkumpul. “Iya, ini luar biasa! Aku tidak sabar untuk melihat semua karya yang ada di sini,” jawab Deril, sambil memegang tangan Lina agar tetap dekat. Mereka melangkah lebih dalam ke aula, dan Deril melihat Nathan berdiri di dekat salah satu stan, tampak sedikit gugup. Begitu Nathan melihat mereka, ia segera menghampiri Deril dan mengulurkan tangan. “Deril! Senang sekali bertemu di sini!” katanya dengan senyuman lebar. “Senang bertemu denganmu juga, Nathan! Karya keramikmu sudah siap dipamerkan, kan?” tanya Deril, menatap penuh minat. “Ya, aku harap semuanya berjalan baik. Aku sangat berharap para pengunjung menyukain
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments