Share

Tamu Yang Tak Dikenal

"Dari mana kau tahu aku akan pulang?" Dannis menyapa pengawalnya di kursi supir. Dirinya sangat terkejut ketika mobil Juna menepi di depannya.

"Aku telah menginstal sebuah aplikasi tambahan untuk meretas smartphone-mu. Dan juga, aku mendapat pesan singkat dari manager restoran bila kau sudah tidak berada di sana," ungkap Juna. 

Ketika mobil itu melaju melewati Luna yang sedang berada di halte bus, perempuan itu terlihat terus saja menatap ke arah mobil hitam yang lewat di depannya. Alih-alih memalingkan wajahnya, Luna justru mencatat plat nomor mobil yang dinaiki oleh Dannis. 

"Siapa sebenarnya yang ada di dalam mobil itu? Apa itu pamannya Dannis? Pikir Luna yang merasa ada yang aneh. 

Di lain sisi, Dannis duduk diam sambil memandangi beberapa toko diluar. Juna yang melihat tuan mudanya terlihat sedang melamun segera menegurnya. Ia tidak menyinggung tentang makan malam tadi, namun ia justru memberikan informasi penting kepada Dannis.

"Apa misi hari ini berhasil? Ada hal yang harus aku beritahukan padamu," ungkap Juna yang mencoba menyela waktu santai tuannya. 

"Tadi berhasil. Aku sangat puas melihat Randy dan kawannya pergi. Lalu ada hal penting apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Dannis. 

"Tuan Kartanegara, kakekmu, ia ingin bertemu denganmu," balas pengawal itu sambil melirik Dannis lewat pantulan cermin. 

"Kakek? Kenapa dia mau bertemu denganku?" Lelaki itu langsung memajukan duduknya dan lebih mendekat ke arah Juna. Rasa penasaran membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang alasan pertemuan itu. 

"Beliau hanya ingin melepas rindu dengan cucunya yang sudah lama hilang. Tidak lebih. Bila kau mau, kita bisa pergi besok, ketika weekend. Bagaimana?" Juna melirik kembali. Ia menunggu jawaban tuannya. 

Pikiran Dannis tiba-tiba melayang jauh dengan begitu banyak spekulasi. Tapi ia masih belum bisa menemui kakeknya. Tanpa ia sadari, dirinya menolak permintaan kakeknya untuk bertemu. Dannis memberikan jawabannya bila ia tidak bisa menemui sang kakek. Pemuda itu merasa ini bukan waktu yang tepat baginya untuk tampil.  

"Maaf, mungkin suatu saat nanti aku akan menyetujui permintaan kakek," ungkap Dannis dengan wajah tertunduk. Di dalam dirinya ada rasa malu dan juga cemas yang menghantui pikirannya. 

"Aku mengerti. Santai saja. Aku akan memberitahukannya pada beliau. Untuk sekarang, apa kita akan pergi ke tempat lain, atau langsung balik ke apartemen?" Juna memaklumi keputusan lelaki yang duduk di belakang dirinya. Ia tidak meminta alasan lebih untuk menjelaskan penolakan itu. 

"Kita ke apartemen," balas Dannis.

Juna mengubah lokasi tujuan di monitor dashboard mobilnya menuju ke lokasi apartemen Dannis. Selama perjalanan, Dannis masih berpikir bila hidupnya masihlah sama. Seorang anak yatim-piatu yang tinggal begitu lama di panti asuhan. Tapi ketika ia telah tinggal di apartemen, dirinya baru mengerti bila hidupnya tidaklah sama lagi.

Ketika mereka sampai di lobi apartemen, Dannis langsung turun dari mobil dan membiarkan Juna untuk parkir terlebih dahulu. Ia segera menaiki lift dan menuju ke kamarnya. Saat dirinya membuka pintu kamar apartemen, ia tidak menyangka bila ada yang sedang duduk di ruang tamu. Dannis tidak mengenal orang itu. 

"Maaf, kenapa kau bisa masuk ke tempatku? Apa kau manusia?" Dannis takut bertanya lebih jauh lagi. Ia pernah mengalami hal gaib ketika tinggal di beberapa kos-kosan. Dirinya takut bila sosok yang ada di depannya adalah salah satu penunggu kamarnya. 

"Sudah sangat lama aku mencarimu. Aku benar-benar beruntung kau masih hidup," ungkap pria tua berusia sekitar enam puluh tahun itu. Terlihat ia mengenakan setelan jas layaknya sebuah jubah berwarna hitam dengan sebuah topi hitam yang tersemat di atas kepalanya. 

"Ma–maaf, apa katamu?" Dannis merasa ada yang aneh dengan pria tua di depannya. Ia sempat berpikir bila pria tua ini agak sedikit pikun. Mungkin ia mengira bila Dannis adalah seseorang yang dia kenal.

Tanpa berkata apa-apa lagi, pria tua itu langsung menghampiri Dannis dan memeluknya. Sempat Dannis menolak pelukan itu, namun ketika ia mendengar lirih ucapan pria tua itu, dirinya pun terdiam. 

"Cucuku… Dannis Kartanegara…." 

Tetes air mata terjatuh ke pundak Dannis. Ia tidak menyangka bila pria tua yang memeluknya benar-benar mengenalnya. 

Tapi anehnya Dannis tidak merasakan hal yang sama dengan si pria tua. Karena dirinya tidak dibesarkan di keluarga Kartanegara, Dannis tidak mengenal sama sekali anggota keluarga itu. 

"Maaf, tapi aku tidak mengenali Anda." Ucapan minta maaf adalah satu-satunya jawaban yang Dannis miliki untuk pria tua di depannya.

"Aku mengerti. Seharusnya kakek yang mengucapkan kata itu. Kakek tidak menyangka bila kau masih hidup. Perlu usaha keras bagi kakek untuk menemukanmu. Andai waktu itu ayahmu memberitahukan di mana panti asuhan tempatmu dititipkan, maka kakek bisa menjemputmu," ungkap Aji Kartanegara, kepala keluarga terkaya grup Kartanegara. 

"Itu tidak mungkin, Tuan." Tiba-tiba Juna menyela pembicaraan keduanya. Ia masuk ke dalam apartemen tanpa rasa terkejut ketika melihat Aji Kartanegara.

Juna membeberkan rahasia ketika Alex Kartanegara, ayah dari Dannis, yang memerintahkan ayahnya untuk menitipkan Dannis ke salah satu panti asuhan yang berada diluar kota. Alex Kartanegara berpesan kepada ayahnya agar seluruh keluarga Kartanegara tidak boleh mengetahui lokasi keberadaan Dannis. 

"Kau benar. Anakku yang satu itu agak berhati-hati. Tapi aku bersyukur karena ia melakukannya. Bila tidak, mungkin saat ini kau tidak berada di sini," ungkap Aji Kartanegara yang merujuk ke ayahnya Dannis. 

Pria tua itu mempersilahkan kepada Dannis dan Juna untuk duduk di sofa. Senyuman kecil di wajahnya seakan menjadi obat awet muda bagi Aji Kartanegara. 

"Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui bahwa kau adalah bagian dari keluarga Kartanegara?" Pria tua itu bertanya ke cucunya. 

"Jujur saja aku sangat terkejut. Aku tidak menyangka bila kedua orang tuaku meninggalkan banyak harta untukku." Dannis merasa canggung ketika menatap Aji Kartanegara yang duduk di hadapannya.

"Lalu sekarang apa rencanamu? Juna telah menjelaskan kepadamu tentang kejanggalan kematian kedua orang tuamu. Jujur saja, aku juga merasa bila mereka tewas bukan karena kecelakaan tunggal, melainkan karena rencana yang dibuat oleh seseorang," ungkap Aji Kartanegara.

"Entahlah… aku tidak bisa memikirkan apa pun saat ini. Yang ada di pikiranku hanyalah menyelesaikan kuliah saja. Lagi pula, aku merasa tidak terlalu mengenal kedua orang tuaku." Kedua mata pemuda itu menunjuk ke arah bawah. Ada perasaan ragu di hatinya ketika membicarakan sesuatu yang menyangkut kedua orang tuanya. 

"Kalau begitu kau harus cepat lulus. Lalu datanglah ke kantor pusat grup perusahaan Kartanegara. Ambil kembali hakmu sebagai salah satu ahli warisku. Dan… bertarunglah untuk mendapatkan seluruh hartaku." Aji Kartanegara menantang langsung Dannis yang terlihat kebingungan ketika mendengar ucapan pria tua itu. 

"Hah? A–apa maksudmu? Bertarung?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status