"Oh, kau ingin sekali makan di sana, yah?" Baiklah aku akan mentraktirmu." Luna menepuk pundak lelaki di depannya sambil melayangkan senyum kecil.
Ia baru menyadari bila Dannis tidak diajak oleh Randy dan anak kelas lain untuk menghadiri pertemuan itu. Luna berpikir bila lelaki di depannya ingin juga menikmati makanan mewah di restoran itu."B–bukan begitu… aku–" Dannis serba salah. "Tidak apa-apa, aku yang akan membayar makanannya. Lebih baik kita masuk ke dalam kelas. Nanti sore, temui aku di apartemenku yang berada di seberang jalan raya. Kita akan berangkat bersama ke restoran itu," ungkap Luna. Dannis tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa berat merangkai kata yang cocok untuk menjelaskan situasi itu. "Lun…?" Dannis mencoba menghentikannya. Sayangnya gadis muda itu telah masuk ke dalam gedung fakultas. Ia meninggalkan Dannis yang masih berdiam diri tanpa kata. "B–bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menjelaskannya!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Hari pun bergulir dengan cepat. Setelah melewati beberapa mata kuliah yang dilaksanakan pada hari itu, Dannis memilih untuk segera menuju ke apartemen Luna. Ia tahu bila gadis muda itu telah meninggalkan kampus sejak satu jam yang lalu. Namun disaat yang bersamaan, Dannis melihat gerombolan teman-temannya dan juga geng milik Randy yang melakukan konvoi. Mereka sepertinya ingin menuju langsung ke restoran itu. Ia menghela napas pendek sambil membuang muka. Dannis memilih untuk menghindari mereka dan mengambil jalan lain. Ia telah memesan ojek online yang akan menjemputnya di pintu belakang fakultasnya. Kali ini alamat yang ia tuju bukanlah apartemennya, melainkan apartemen Luna yang berada di seberang jalan raya, dekat sekali dengan lokasi kampus dan stasiun kereta. Setelah ojeknya tiba, Dannis langsung bergegas menuju lokasi.Beberapa lama kemudian, pesan singkat dilontarkan oleh Dannis. [Aku sudah berada di lobi bawah.]Ia tidak mengganti pakaiannya. Padahal bila diperhatikan, ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk Dannis mendekati Luna. Namun karena baru pertama kalinya mereka jalan bersama, Dannis merasa canggung.Lelaki itu duduk di bangku tamu yang berada di lobi. Sambil menunggu Luna turun, ia meminta Juna untuk mengirimkan data yang dikumpulkan pengawal itu mengenai ayah Randy. Belum terlalu banyak, namun sebagian sudah bisa di analisa oleh Juna. "Hei, sudah menunggu lumayan lama?" Sapa gadis muda yang tiba-tiba muncul di samping Dannis dengan mengenakan pakaian yang begitu rapi dan bermerek. Gaya busana Luna bisa dikatakan sedikit lebih maskulin. Mengenakan celana panjang berbahan tipis, rambut hitam panjangnya dikuncir satu, lalu mengenakan baju lengan panjang, serta beberapa ornamen tambahan seperti gelang, kalung dan kacamata. "Oh… nggak, aku baru datang juga," balas Dannis yang melongo melihat penampilan baru Luna. Gadis muda itu mendekat dan berusaha untuk menarik pandangan lelaki di depannya yang tiba-tiba membeku ketika melihat dirinya. Luna sampai menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Dannis. Anehnya, lelaki itu tidak berkedip. "Dannis?" Luna kembali menyapa. "Halo?" Luna semakin bingung. "Eh, iya… kenapa?" Dannis baru saja sadar dari lamunannya. "Jadi ke restoran?" Tanya Luna yang menahan bibirnya untuk tersenyum."J–jadi… ayo jalan," balas Dannis yang terlihat grogi. Mereka berdua menuju ke jalan raya. Luna tampak bingung, ia mengira bila Dannis membawa kendaraan minimal sepeda motor, namun nyatanya tidak. "Kita naik apa ke restorannya?" Tanya Luna. Keduanya sudah berada di pinggir jalan raya."Aku baru pesan ojek online. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu menggunakan motor atau mobil." Dannis tersenyum kecil. Ia merasa malu karena tidak bisa memberikan yang terbaik pada Luna. "Ojek motor?" Luna balik bertanya."Mobil, dong… ya, kali kita bonceng tiga," balas Dannis yang tertawa kecil. Setelah mobil pesanannya tiba, mereka berdua segera masuk ke dalam dan meluncur ke lokasi. Sepanjang perjalanan, Dannis merasa cemas dan gugup."Cobalah untuk rileks, itu bisa membantumu agar tidak terlalu cemas," pikir Luna. "Ehm, baiklah…." Dannis tersenyum.Dekapan telapak tangan Luna yang memegang tangannya membuat ia mulai merasa tenang. Dannis merasa bersyukur mendapatkan perhatian dari perempuan di sebelahnya.Ketika mobil sudah sampai di halaman hotel King of Kartanegoro, keduanya tidak melihat adanya antrian di depan lobi. Sepertinya teman-teman mereka sudah berada di lantai 3, lokasi di mana restoran itu berada. Keduanya segera menyambangi lift yang berada di ujung pintu lobi. Namun ketika memasuki lobi, Luna melirik ke arah security dan juga resepsionis yang tiba-tiba menundukkan tubuhnya seraya memberi hormat ke arah mereka. Anehnya, mereka tidak melakukannya ke tamu lain. "Ada apa?" Tanya Dannis yang menoleh ke arah Luna. Gadis itu terlihat bingung. "Tidak… aku hanya sedang memikirkan sesuatu saja," balas Luna. Ketika pintu lift lantai 3 terbuka, mereka berdua melihat antrian panjang dari teman-teman kampusnya. Di ujung antrian itu berdiri para geng mahasiswa kaya. "Anda yakin nama saya tidak ada! Coba cek lagi! Saya sudah melakukan reservasi lebih dari sepuluh meja!" Randy membentak pelayan restoran bagian reservasi. Ia tidak terima ketika pelayan itu bilang bahwa namanya tidak ada di daftar tunggu. Dannis dan Luna yang menjadi pusat perhatian teman-teman kampusnya memilih untuk merangsak maju ke baris depan. Tapi ketika hendak mengajukan namanya, Dannis mendengar celotehan mantan sahabatnya. "Eh, gembel! Ngapain kamu ke sini?! Kamu itu tidak diajak!" Teriak Aryo. "Iya, benar juga! Ngapain kamu ke sini?" Anya ikut menambahkan. Randy yang tengah sibuk mencari namanya di daftar tunggu jadi teralihkan. Ia menoleh ke arah Dannis dan Luna. Senyuman kecil sedikit merekah di bibirnya. "Woi, kamu mau ngapain? Ikutan makan?" Sindir Randy. "Heh! Jaga mulutmu! Apa perlu aku jahit sampai rapat!" Balas Luna. Ia sampai menunjuk bocah kaya itu dengan tatapan tajam. "Tuan, ada yang bisa saya bantu?" Pelayan itu tiba-tiba mengalihkan perhatiannya ke Dannis. Pemuda itu tidak langsung menghampiri si pelayan. Ia mengecek pesan singkat di smartphone terlebih dahulu. Ketika pesan dari Juna telah memberikan konfirmasi bila meja sudah dipesan, ia baru berani bertanya ke pelayan itu. "Apa ada pesanan reservasi meja atas nama Dannis Kartanegara?" "Oh, tentu saja. Anda sudah kami tunggu, Tuan muda Dannis." Pelayan di meja reservasi dan beberapa pelayan yang lalu-lalang berhenti. Mereka semua berdatangan ke depan pintu restoran dan memberi penghormatan kepada Dannis dengan menundukkan tubuhnya. Luna yang berdiri di samping Dannis pun merasa bingung dengan pemandangan itu. Bahkan Randy dan teman kampus yang lain hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka. "Pelayan itu memanggil si gembel dengan sebutan tuan muda? A–apa aku tidak salah dengar?" Ucap Randy terperanjat.“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad