Share

Motor Seharga Milyaran

"Kau sudah bangun?" Suara Juna semakin menyadarkan Dannis yang baru saja terbangun. 

Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perbincangan semalam yang berlangsung hingga larut malam telah membuatnya sangat kelelahan. Perlahan ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Kepalanya sedikit sakit karena harus begadang hingga pukul dua malam. 

"Apa kakek sudah bangun?" Ia mengingat pria tua yang mengajaknya berbincang hingga larut malam.

"Tuan Aji Kartanegara sudah pulang sejak jam lima tadi. Aku mengantarkan beliau kembali ke kediaman utama keluarga Kartanegara." Juna sedang mengenakan setelan jas hitam serta dasinya sambil menghadap ke arah cermin besar yang ada di kamar Dannis.

"Oh… untunglah… aku akan merasa sangat canggung bila dia masih berada di sini. Jujur saja, aku masih terngiang-ngiang perkataannya tentang bertarung menjadi ahli warisnya," ungkap Dannis sambil mengingat beberapa hal yang ia dan kakeknya bicarakan pada malam tadi. 

Juna hanya menanggapinya dengan senyuman singkat. Tidak ada penjelasan berlebihan, namun pengawal kekar itu mengingatkan Dannis bahwa dirinya telah dimasukkan ke dalam arena pertarungan para pewaris grup Kartanegara. Juna mengatakan bila Aji Kartanegara pasti akan menarik Dannis untuk datang ke dalam grup Kartanegara. Ia hanya meminta kepada lelaki itu untuk menyiapkan diri bila waktunya telah tiba.

"Aku tidak peduli. Hidup dengan uang 900 triliun dan juga beberapa aset kedua orang tuaku sudah sangatlah cukup. Aku tidak meminta hak apa pun lagi. Lalu bila ia mengatakan untuk memintaku menjadi ahli warisnya? Kurasa itu tidak akan mungkin terjadi." Dannis berpikir bila hidupnya sudah amat tenang saat ini. Ia tidak ingin mencelupkan dirinya ke dalam air keruh yang berisi begitu banyak predator.

Lelaki itu bergegas bangun dari kasurnya dan masuk ke dalam kamar mandi. Pikirannya semakin sakit karena kedatangan kakeknya yang ia kira akan membawa dampak positif baginya, namun nyatanya justru sebaliknya. 

"Aku akan berada di kediaman keluarga Kartanegara selama seharian. Apa kau tidak apa-apa bila kutinggal?" Juna bertanya kepada Dannis yang baru saja keluar dari kamar mandi. 

Terlihat barisan otot yang begitu solid tersemat di perut lelaki itu. Meskipun Dannis tinggal sendirian dalam kemiskinan, namun ia selalu menyempatkan diri untuk berolahraga seadanya. Push up, sit up, lari, dan segala macam hal yang membuatnya terlihat begitu bugar dan memiliki otot-otot itu akan ia lakukan.

"Tidak apa-apa. Aku mungkin juga akan pulang agak malam. Ada yang harus kulakukan hari ini." Dannis melemparkan handuknya ke sembarang tempat. Ia berjalan tanpa baju menuju ke kamarnya.

"Apa yang ingin kau lakukan? Apa ada hal yang penting?" Tanya Juna.

"Aku harus mengurus perizinan untuk praktek kerja lapangan yang akan dilakukan besok lusa. Hanya mengkonfirmasi ulang ke bagian jurusan saja." Dannis mengenakan kemeja berwarna kalem yang dipadukan dengan hoodie biru dongker.

"Praktek kerja lapangan, yah… kenapa kau tidak mengajukan diri ke salah satu perusahaan konstruksi milik grup Kartanegara saja?" Juna merasa Dannis terlalu membuang kesempatan untuk menggunakan koneksinya saat ini. 

Tapi sayangnya, pemuda itu malah pergi tanpa menjawab pertanyaan dari pengawalnya. Setelah mengambil roti panggang yang diolesi dengan selai strawberry, Dannis segera keluar dari apartemennya dan menuju ke lift. 

Namun ketika ia sudah berada di dalam lift, Juna muncul sambil menahan pintu lift agar tidak tertutup. Pengawal itu memberikan sebuah kunci motor dan juga beberapa surat penting berupa STNK dan juga SIM yang bernamakan Dannis Kartanegara. 

"Apa ini?" Tanya Dannis.

"Kau butuh kendaraan untuk pergi ke kampus. Bilang saja ke temanmu kalau motor itu kau kredit dengan jaminan pamanmu," ucap Juna sambil melontarkan senyuman singkat. Setelahnya ia membiarkan Dannis untuk menggunakan lift itu.

"Dasar, ia sampai memikirkan hal ini?" Dannis tertawa kecil. Baru pertama kali ini ia merasa sangat diperhatikan oleh seseorang.

Saat mengunjungi tempat parkir, ia terkejut ketika menemukan motor dengan plat nomor yang sama dengan yang tertera di STNK. 

"I–ini motornya?" Di hadapan Dannis sudah terparkir motor berjenis racing bersilinder empat, dan memiliki kapasitas mesin 1000 CC.

Dengan berat hati, Dannis harus menerima pemberian pengawalnya itu. Tapi ia harus mencari cara untuk berbohong ketika membawa motor itu ke dalam kampus. Dannis tahu benar berapa harga motor itu. 

Ketika berada di jalan, begitu banyak orang yang melirik ke arahnya. Rasa canggung menyelimuti dirinya dan membuatnya merasa tidak nyaman ketika mengendarai motor itu. 

"Sial! Kenapa kau malah membelikanku motor ini!" Umpat Dannis kepada pengawalnya.

Sesampainya di parkiran kampus, Dannis tidak luput dari pandangan para mahasiswa yang berada di sekitar situ. Mereka berkumpul dan membicarakan lelaki itu dengan suara yang lirih. Tanpa basa-basi, Dannis memilih tidak menghiraukan mereka dan jalan sambil mengenakan satu earphone di telinganya. 

"Woi! Cepat amat jalannya, Bos!" 

Suara keras menghentikan langkah Dannis. Ketika ia menoleh, ternyata yang berada di depannya adalah Randy serta gengnya. Anak manja itu menghampiri Dannis sambil meremas salah satu pundaknya. Urat-urat leher Randy terlihat menyeruak keluar. 

Kejadian yang berada di restoran kemarin telah membuatnya malu. Randy tidak bisa membiarkan si bocah miskin menang melawannya.

"Ngomong-ngomong, dari mana kau dapat akses untuk melakukan reservasi di restoran itu?" Randy merasa berhak tahu.

"Ah… jadi ini tentang restoran? Oh, aku mendapatkan bantuan dari pamanku." Dannis tersenyum dengan begitu manisnya. Seakan ia menyindir Randy yang berdiri di depannya.

"Paman? Dari kapan orang miskin sepertimu memiliki paman yang bisa membantunya melakukan reservasi di restoran mewah?" Randy mengolok-olok Dannis sambil tertawa kecil. 

"Untungnya setelah mantan sahabatku menghancurkan kamar kosanku, aku berhasil menghubungi salah satu pamanku. Awalnya ia tidak mau menerimaku, namun akhirnya ia menyetujui untuk mengadopsiku. Dan mulai saat ini, aku tinggal bersama pamanku." Dannis mulai merangkai kata-kata manisnya untuk membohongi Randy dan kedua mantan temannya, Aryo dan Anya.

"Apa kau pikir aku akan percaya begitu saja? Tidak mungkin ada orang sebodoh pamanmu di dunia ini! Jujurlah, yang menampungmu itu pasti tante-tante kaya, 'kan? Randy membalikan perkataan Dannis. 

"Kurasa apa yang diucapkan oleh Dannis itu benar semua. Aku melihatnya sendiri, pamannya yang membantu kami untuk makan malam di restoran itu. Dan juga, mungkin ini adalah jawaban untuknya karena telah dihancurkan olehmu!" Luna menunjuk dahi Randy menggunakan jari telunjuknya. Ia mendorong lelaki itu agar menjauhi Dannis.

Randy yang merasa begitu terhina langsung kembali maju. Ia mengepalkan satu tangannya dan hendak memukul perempuan itu di depan banyak orang. 

"Andai kau itu laki-laki, mungkin bogem mentahku akan melayang ke wajahmu saat ini juga!" Ancaman Randy tidak membuat Luna gentar. 

Perempuan itu terus memajukan wajahnya. Ia menantang Randy untuk melakukannya. "Kalau begitu, coba pukul!" 

Aryo segera datang dan melerai keduanya. Ia meminta agar Randy menyikapinya dengan tenang. Tepat di telinga kirinya, Aryo membisikkan Randy sesuatu. "Bos, tadi aku melihat Dannis datang menggunakan motor racing seharga kurang lebih 50 milyar."

"Hah?! Serius!" Randy terkejut setelah mendengar hal itu. 

"Bagaimana mungkin si gembel ini bisa memiliki motor seharga milyaran itu?!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status