Share

Kesepakatan

Tanpa memikirkan perasaan Aruna, kesepakatan antara Bagas dan orangtuanya tercapai. Dewi dan Dimas setuju akan memenuhi syarat yang diajukan oleh putra mereka.

Orang tua Bagas pun memberitahu, bahwa pernikahan Bagas dan Carissa akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka meminta Bagas untuk fokus mempersiapkan pernikahan.

"Ingat Bagas … Nanti sore, kamu dan Carissa harus pergi ke butik untuk fitting baju pengantin. Kamu tidak boleh terlambat. Jangan permalukan kami di depan orang tua Carissa," ujar Dewi, tanpa mengindahkan keberadaan Aruna yang mendengar perkataannya.

Bagas tidak memiliki pilihan. Dia setuju melakukan permintaan orang tuanya.

"Bagas akan pergi tepat waktu, asal ada orang yang menemani Aruna di rumah sakit. Bagas tidak tenang meninggalkan Aruna sendirian."

"Itu urusan Mamah. Kamu fokus saja pada pernikahanmu dan Carissa," tukas Dewi.

Karena tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan, Dewi dan Dimas pun bergegas pergi dari kamar rawat. Mereka pergi tanpa sedikitpun bicara pada Aruna.

"Sayang … aku harap kamu memahami keputusanku. Aku terpaksa setuju menikah dengan Carissa demi masa depan kita. Setidaknya sekarang, papah dan mamah sudah menerimamu menjadi menantu," tutur Bagas setelah kepergian orang tuanya.

Aruna bergeming. Hatinya terlalu hancur untuk menimpali kata-kata suaminya. Dia pun hanya bisa menangis.

Kini, bukan hanya kehilangan anak, menjadi wanita mandul dan kehilangan kaki, tapi Aruna juga harus rela berbagi suami dengan wanita lain.

Aruna merasa mengalami mimpi buruk yang tiada habisnya. Dia hampir tidak percaya dengan semua kejadian buruk yang menimpanya. Aruna ingin bangun dari mimpinya, tapi sayang semua yang dialaminya adalah nyata.

"Sayang … aku mohon jangan terus menangis. Kamu membuatku sedih."

Bagas menghapus air mata di wajah istrinya seraya menatapnya dengan sendu. Dia pun berusaha menghiburnya.

"Runa sayang … matamu bisa bengkak. Aku mohon jangan menangis lagi. Aku tidak mau wajah cantik mu menjadi cacat."

Aruna tersenyum getir. Dia menatap Bagas dengan sinis. "Untuk apa wajah cantik kalau sebentar lagi aku harus membagi mu dengan wanita lain? Kecantikanku tidak cukup membuatmu menjadi milikku seorang."

"Runa ... tolong jangan bicara begitu. Aku tetap milikmu, sayang."

Bagas kembali mengusap air mata di wajah Aruna, lalu mengecup kedua mata sembabnya. Dia menatap manik hitam Aruna untuk meyakinkan.

"Meski nanti aku sudah menikah dengan Carissa. Aku tetap milikmu seorang, sayang. Percayalah ... hati dan cintaku hanya milikmu, Runa."

Aruna menggigit bibir, menahan isak. Kata-kata Bagas tidak sedikitpun menenangkan hatinya. Aruna malah semakin bersedih. Namun, dia tidak mau terlihat menyedihkan di mata Bagas. Semua rasa sakit hati, kecewa, sedih, dan cemburu, Aruan telan bulat-bulat sendirian.

"Aku mencintai kamu, Aruna. Percayalah ... cintaku hanya untukmu."

Bagas mengecup kening Aruna, lalu mengusap air mata yang kembali jatuh di wajahnya. Bagas pun kembali menatap manik hitam istrinya.

"Aku mohon jangan bersedih lagi. Seharusnya kamu senang, karena sekarang mamah dan papah sudah menerimamu," tutur Bagas seraya tersenyum menenangkan.

Aruna mendengus. Andai orang tua Bagas menerimanya tanpa embel-embel pernikahan kedua mungkin Aruna akan menyambut gembira hal tersebut.

Tapi yang Aruna rasakan saat ini justru sebaliknya, Aruna merasa hancur. Tidak bahagia sedikitpun. Dia pun merutuki keputusan Bagas yang setuju untuk menikah lagi, padahal saat ini kondisinya sedang dalam keadaan tidak berdaya.

"Entahlah Bagas. Aku sendiri tidak bisa menahan air mataku. Semua ini terlalu berat dan menyakitkan. Hanya air mata yang bisa mewakili rasa hancur yang aku alami saat ini."

Bagas menatap sendu istrinya. "Runa … air matamu membuatku ingin ikut menangis. Tolonglah … hapus kesedihanmu demi aku."

Aruna bergeming. Dia memalingkan wajah dari Bagas, pria yang sampai saat ini masih sangat dicintainya.

Beberapa jam kemudian …

Bagas berpamitan pada Aruna. Dia hendak pergi ke butik untuk memenuhi janji pada kedua orangtuanya .

"Aku pergi dulu. Nanti setelah urusanku selesai, aku akan langsung pulang kemari," ujar Bagas seraya mengecup kening istrinya.

Aruna bergeming. Tidak menimpali. Bibirnya terkatup. Tidak berniat berucap sepatah katapun. Aruna memilih bersikap bungkam.

"Sayang … aku tidak bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Tolong bicaralah! Jangan terus mendiamkan aku," pinta Bagas. Merasa frustasi dengan kediaman istrinya.

Dari semenjak pembicaraan tadi siang, Aruna tidak sedikitpun bicara pada Bagas. Dia bahkan terus memalingkan wajah, seolah tidak mengharapkan kehadirannya.

"Runa … lihat aku!"

Bagas menarik dagu Aruna agar menatap padanya. Nampak, mata Aruna yang sembab masih dipenuhi air mata. Aruna belum berhenti menangis.

"Aku mohon berhenti menangis! Aku janji hanya akan pergi sebentar."

Bagas mengusap air mata Aruna dengan kesal. Mengira istrinya bersedih karena tidak mau ditinggal pergi.

"Aku hanya pergi untuk mencoba baju pengantin, Runa. Setelah selesai, aku akan segera pulang."

"Pergilah!" ucap Aruna.

Perkataan Bagas malah membuat dada Aruna semakin sesak. Tangan Aruna pun tanpa sadar meremas sprei. Merasa sakit mendengar Bagas yang menegaskan tujuan kepergiannya.

"Aku tidak akan melarang mu pergi Bagas. Jadi pergilah! Aku akan membiasakan diri untuk hidup tanpamu."

"Runa …." lirih Bagas. Merasa kecewa mendengar kata-kata istrinya.

"Maaf tuan, nyonya kembali mengirim pesan agar Anda segera berangkat. Apa yang harus saya katakan?"

Bagas mengalihkan perhatian pada wanita paruh baya yang berdiri di belakangnya. Nampak, wanita itu terlihat bingung.

Beberapa puluh menit lalu, seorang wanita paruh baya datang ke ruang rawat Aruna. Wanita itu adalah salah satu pelayan di rumah keluarga Birendra. Orang tua Bagas sengaja mengirim wanita tersebut untuk menemani Aruna, sekaligus memintanya agar memastikan Bagas pergi setelah kedatangannya.

"Pergilah! Sudah ada orang yang akan menemaniku. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan ku," pinta Aruna dengan berat hati.

Aruna memang tidak ingin Bagas pergi untuk bertemu calon istrinya. Tapi di sisi lain, Aruna pun butuh waktu menyendiri tanpa suaminya. Hati Aruna selalu sakit setiap kali melihat Bagas.

Bagas menghela nafas. Dia melirik istrinya. "Baiklah … aku pergi. Kamu baik-baik lah disini. Jika ada apa-apa, segera minta Lastri untuk menghubungiku."

Aruna mengangguk. Tanpa berniat menimpali perkataan suaminya.

Bagas menatap tegas Lastri, pelayan yang ibunya kirim untuk menemani Aruna.

"Jaga Aruna dengan baik. Layani dia! Ingat, aku tidak akan memaafkanmu jika sampai terjadi hal buruk padanya."

"Baik tuan! Saya akan melayani nyonya muda dengan sebaik mungkin."

Bagas membungkukkan badan, lalu Mengecup kening Aruna. Pria itu pun pergi setelah kembali berpamitan pada istrinya.

"Bagas," lirih Aruna begitu melihat kepergian Bagas. Dada Aruna kembali sakit mengingat tujuan kepergian suaminya. "Kenapa kamu begitu kejam padaku, Bagas? Kenapa?"

Tangis Aruna kembali luruh. Aruna menumpahkan seluruh kesedihan dan rasa sakit hatinya. Aruna merasa takut. Tidak bisa membayangkan hidupnya setelah dimadu oleh suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status