PLAK! Tangan Bagas melayang dan mendarat tepat di wajah Lastri. Membuat tubuh wanita paruh baya itu tersungkur dan menelungkup di atas lantai. Terlihat sebercak darah keluar dari ujung bibir kanan Lastri. Wanita itu pun hanya bisa menunduk sambil terduduk di atas lantai."Beraninya kamu membawa istriku pergi tanpa seizinku!" berang Bagas seraya menunjuk wajah lastri dengan penuh amarah.Bagas marah besar. Tadi, setelah selesai bicara dengan dokter, Bagas kaget mendapati Aruna yang tidak ada di depan ruang dokter. Bagas pun kalang kabut mencari keberadaan istrinya. Dia sudah bertanya pada perawat dan pengunjung yang berada di sana, tapi tidak ada satupun dari mereka yang melihat kepergian Aruna. Setelah Bagas menemukan Aruna dan Lastri yang berada di lobby rumah sakit. Dia pun mengajak mereka pulang. Dan setiba di rumah, Bagas meminta Aruna untuk istirahat di kamar. kini, Bagas pun tengah menuntut penjelasan dari pelayannya. Hanya saja, Bagas tidak bisa menahan emosi, hingga ia sa
Di rumah sakitWilliam Agnibrata yang sudah sadar sedang melakukan pemeriksaan kesehatan. Beberapa dokter pun bertanya tentang banyak hal padanya. Dokter bertanya tentang nama, keluarga, profesi dan hal terakhir tentang kecelakaan yang William alami. William mampu menjawab semua pertanyaan dokter dengan baik. Dia ingat semua hal tentang dirinya, termasuk kecelakaan yang terjadi padanya. "Syukurlah … Keadaan tuan William baik-baik saja. Kecelakaan yang dialaminya sama sekali tidak mengganggu ingatan tuan William, seperti yang kita takutkan. Tuan William hanya perlu istirahat untuk memulihkan kondisi tubuhnya," ujar salah satu dokter, setelah selesai melakukan pemeriksaan. Widia Agnibrata dan Kusuma Agnibrata pun senang mendengar kabar baik tentang keadaan putra Mereka. Orang tua William tidak menyangka, William yang beberapa Minggu lalu harus menjalani operasi karena pendarahan otak akibat kecelakaan yang dialaminya akan sadar dengan keadaan ingatan utuh. Padahal sebelumnya, Dokt
"Gas ... kenapa ada kissmark di lehermu?" Aruna menghampiri suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia berdiri di hadapan Bagas. Memperhatikan baik-baik ruam kemerahan pada samping kanan leher suaminya. "Kissmark?" Bagas menghindari tatapan mata dari istrinya. Dia berbalik menghadap cermin. Melihat tanda merah yang Aruna maksud. "Ini bentol, Runa. Leher ku gatal-gatal," tukas Bagas seraya menggaruk leher. Aruna menatap curiga suaminya. "Gas ... aku bisa membedakan ruam kemerahan karena dihisap nyamuk dan ruam kemerahan karena dihisap manusia. Jelas-jelas tanda merah di lehermu bekas hisapan manusia." "Jangan bicara sembarangan, Aruna! Kamu menuduhku selingkuh?" Aruna merapatkan bibir melihat suaminya yang marah. "Maaf … aku tidak bermaksud menuduh, aku hanya–." "Curiga?" sela Bagas. Menatap tajam istrinya. Kesal karena bukan sekali dua kali Aruna mencurigainya. "Runa ... kamu jangan terus curiga. Kamu mau aku benar-benar selingkuh? Aku lelah terus kamu curigai." Arun
"Runa … bangun sayang. Tolong buka matamu." Aruna samar-samar mendengar suara Bagas. Dia perlahan membuka mata, lalu melirik Bagas yang duduk di sampingnya. "Bagas?" lirih Aruna. Memanggil nama suaminya. Bagas tersenyum melihat istrinya yang sudah siuman. Dia pun mengecup tangan Aruna yang digenggamnya. "Syukurlah sayang … kamu sudah sadar." Aruna mengernyit begitu mencium bau desinfektan yang sangat menyengat. Matanya menyapu sekeliling. Dilihatnya ruangan serba putih yang kini ditempatinya. Aruna terkesiap saat sadar selang infus terpasang di tangan kirinya. "Dimana aku?" tanya Aruna dengan suara parau. "Kamu ada di rumah sakit, sayang. Semalam, kamu mengalami kecelakaan." "Kecelakaan?" lirih Aruna. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Aruna pun sadar ada perban yang melingkar di kepalanya. 'Apa yang terjadi padaku?' batin Aruna seraya berusaha mengingat kejadian yang dialaminya. Aruna buru-buru menarik tangannya dari Bagas, begitu ingat dengan pengkhianatan yang dilak
"Pergilah! Kami ingin membicarakan masalah pribadi," titah Dewi pada dokter dan perawat yang mengobati Aruna. Dokter dan perawat pun bergegas pergi dari ruang rawat. Meninggalkan Aruna yang masih terpukul dengan kabar buruk yang baru saja di terimanya. "Kamu dengar kata dokter kan Aruna? Saat ini kamu mandul. Kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Bagas. Jadi, lebih baik kamu dan Bagas bercerai saja. Bagas anak kami satu-satunya, kami harus mendapat penerus darinya," ujar Dewi. Menyadarkan Aruna dari pikirannya. Aruna menatap sendu ibu mertuanya. Meski dia sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas dari Dewi yang selalu menghina dan merendahkannya, tapi perkataan Dewi kali ini membuat hati Aruna tambah terluka. Sebagai seorang wanita dan ibu, Dewi sungguh tidak berperasaan. Dia tidak sedikitpun menaruh iba pada Aruna yang baru saja kehilangan kandungan. Wanita itu malah memanfaatkan musibah yang menimpa Aruna untuk memisahkan Bagas darinya. "Berapapun uang yang kamu inginkan, ak
Tanpa memikirkan perasaan Aruna, kesepakatan antara Bagas dan orangtuanya tercapai. Dewi dan Dimas setuju akan memenuhi syarat yang diajukan oleh putra mereka. Orang tua Bagas pun memberitahu, bahwa pernikahan Bagas dan Carissa akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka meminta Bagas untuk fokus mempersiapkan pernikahan. "Ingat Bagas … Nanti sore, kamu dan Carissa harus pergi ke butik untuk fitting baju pengantin. Kamu tidak boleh terlambat. Jangan permalukan kami di depan orang tua Carissa," ujar Dewi, tanpa mengindahkan keberadaan Aruna yang mendengar perkataannya. Bagas tidak memiliki pilihan. Dia setuju melakukan permintaan orang tuanya. "Bagas akan pergi tepat waktu, asal ada orang yang menemani Aruna di rumah sakit. Bagas tidak tenang meninggalkan Aruna sendirian." "Itu urusan Mamah. Kamu fokus saja pada pernikahanmu dan Carissa," tukas Dewi. Karena tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan, Dewi dan Dimas pun bergegas pergi dari kamar rawat. Mereka pergi tanpa sedikitpun bic
Siang beranjak malam, Aruna termenung seraya mencengkram ponsel. Baru saja, Aruna mendapat pesan dari Bagas bahwa pria itu tidak bisa kembali ke rumah sakit. Bagas beralasan harus menghadiri pesta bujang yang diadakan oleh teman-teman calon istrinya. Aruna pun tersenyum getir. Belum apa-apa, Bagas sudah melupakan janjinya. Padahal sebelumnya, Bagas berjanji akan langsung pulang ke rumah sakit setelah acara fitting baju pengantinnya selesai. 'Rupanya ... pesta lajang itu lebih penting bagimu dari pada aku, Bagas. Sungguh terlalu, kamu lebih memilih pergi berpesta dari pada menemaniku yang sedang terbaring sakit,' batin Aruna. Merasa kecewa pada suaminya. "Nyonya … sudah larut malam. Sebaiknya, anda istirahat." Aruna melirik Lastri yang dari tadi duduk disampingnya. Terlihat wanita itu menatap sendu padanya. Meski Aruna belum terlalu mengenal Lastri, tapi Aruna bisa menilai Lastri adalah wanita baik. Dari semenjak Lastri bersamanya, wanita itu tidak banyak bicara. Dia diam menemani
"A-apa maksud kamu?" Bagas menatap bingung Aruna yang malah terlihat semakin marah. Aruna pun menatap tajam suaminya. "Bukan hanya perhatian pada calon istrimu, tapi Kamu juga sangat perhatian pada teman-temannya. Tidak perlu menyembunyikan apapun lagi dariku, Bagas. Aku hanya ingin tahu sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan wanita itu?" "Aruna. A-Aku-," "Berapa lama?" tegas Aruna. Tanpa menurunkan tatapan tajamnya terhadap Bagas. "Satu bulan? Dua bulan atau tiga bulan? Sudah berapa lama kamu berselingkuh?" Bagas terhenyak. Dia menatap sendu istrinya. Bagas meraih tangan Aruna, lalu menggenggamnya dengan erat. "Maafkan aku, Runa. Lima bulan lalu, mamah mengenalkannya padaku. Saat itu perusahaan kami sedang kolaps. Dan hanya keluarga Carissa yang bisa membantu kami. Aku hanya menjalin hubungan pertemanan dengannya, aku sungguh tidak mengkhianatimu." "Teman selingkuhan maksudmu?" dengus Aruna seraya menghempas tangan suaminya. Dia menatap Bagas dengan nyalang. "Mana ada