Share

Keputusan Pahit

"Pergilah! Kami ingin membicarakan masalah pribadi," titah Dewi pada dokter dan perawat yang mengobati Aruna.

Dokter dan perawat pun bergegas pergi dari ruang rawat. Meninggalkan Aruna yang masih terpukul dengan kabar buruk yang baru saja di terimanya.

"Kamu dengar kata dokter kan Aruna? Saat ini kamu mandul. Kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Bagas. Jadi, lebih baik kamu dan Bagas bercerai saja. Bagas anak kami satu-satunya, kami harus mendapat penerus darinya," ujar Dewi. Menyadarkan Aruna dari pikirannya.

Aruna menatap sendu ibu mertuanya. Meski dia sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas dari Dewi yang selalu menghina dan merendahkannya, tapi perkataan Dewi kali ini membuat hati Aruna tambah terluka.

Sebagai seorang wanita dan ibu, Dewi sungguh tidak berperasaan. Dia tidak sedikitpun menaruh iba pada Aruna yang baru saja kehilangan kandungan. Wanita itu malah memanfaatkan musibah yang menimpa Aruna untuk memisahkan Bagas darinya.

"Berapapun uang yang kamu inginkan, akan kami berikan. Asalkan kamu pergi dari kehidupan Bagas."

"Cukup mah! Jangan keterlaluan!"

Bagas membentak ibunya. Tidak tahan mendengar ocehan Dewi. Dia pun menatap nyalang wanita yang sudah melahirkannya.

"Berapa kali lagi Bagas harus tegaskan? Bagas tidak akan menceraikan Aruna."

"Bagas, jaga sikapmu! Beraninya kamu membentak ibumu hanya untuk membela wanita tidak berguna itu!" tegur Dimas yang dari tadi diam. Berkata tegas pada putranya.

Bagas pun memalingkan wajah. Menahan kesal pada orang tuanya. "Apapun alasan mamah, Bagas tetap tidak akan menceraikan Aruna. Bagas sangat mencintai Aruna."

Aruna menatap sendu suaminya. Merasa terenyuh oleh kata-katanya. Tapi, bayangan pengkhianatan Bagas tiba-tiba terlintas di pelupuk mata. Hati Aruna yang terluka pun pedih mengingatnya. Bagas sudah berkhianat. Dia sudah mengotori janji suci pernikahan mereka.

"Mari bercerai, Gas. Aku ingin mundur dari pernikahan kita," cetus Aruna.

Bagas mengeraskan rahang. Kesal sekaligus kecewa mendengar kata cerai yang Aruna lontarkan. Padahal, Bagas tengah berusaha mempertahankan hubungan mereka. Bagas mengepalkan tangan dengan erat. Mencoba untuk tenang. Dia sadar keadaan Aruna sedang tidak stabil, hingga tidak bisa berpikir jernih.

"Aruna … sampai kapanpun, aku tidak akan menceraikanmu. Jadi, jangan lagi terucap kata cerai dari bibirmu."

Aruna menatap sendu suaminya. "Aku tetap ingin bercerai. Aku tidak bisa menerima pengkhianatan yang kamu lakukan."

Bagas tertegun mendengar perkataan istrinya. Dia baru sadar, Aruna sudah mengetahui perselingkuhannya. Terlihat, senyum Dewi mengembang mendengar permintaan menantunya.

"Mamah mendukung keputusan Aruna, Bagas. Lebih baik, kalian bercerai saja. Ayo, sekarang ucapkan kata talak pada Aruna. Kalian hanya menikah siri, jadi dengan kata talak saja hubungan kalian berakhir."

"Mah, tolong jangan ikut campur urusan Bagas!"

Bagas kembali membentak ibunya. Dia pun mendekati Aruna, lalu memegang tangannya.

"Sayang … aku tidak akan menceraikan mu, apalagi dalam keadaan mu sekarang."

Aruna melepaskan genggaman Bagas. "Aku tetap ingin bercerai."

"Tidak bisa! Siapa yang akan merawatmu kalau kita bercerai?" tolak Bagas. Menatap tegas istrinya. "Aruna … karena kecelakaan yang kamu alami, kamu tidak hanya kehilangan bayi kita, tapi kamu juga kehilangan kakimu. Untuk sementara, kamu tidak akan bisa berjalan."

"APA?!"

Aruna kaget mendengar kabar buruk lain yang menimpanya. Air mata yang sempat berhenti pun kembali mengalir.

"Maksudmu, aku lumpuh?" tanya Aruna. Menegaskan.

Bagas mengangguk. "Dokter bilang kelumpuhanmu hanya sementara. Kamu harus melakukan terapi agar bisa berjalan kembali."

Aruna menggigit bibir. Menahan rasa sakit yang mendera hatinya. Dia merasa nasibnya begitu sial. Bagai pepatah bilang, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aruna mengalami nasib malang yang bertubi-tubi. Sudah dikhianati suami, kehilangan kandungan, tidak bisa hamil, dan kini Aruna harus menerima keadaan kakinya yang lumpuh.

Sungguh! Aruna putus asa dengan hidupnya. Dia merasa Tuhan tidak berbuat adil padanya.

"Tenanglah sayang, aku janji akan membantumu agar bisa berjalan lagi. Karena itu, jangan berpikir macam-macam. Kita tidak akan pernah bercerai."

Aruna bergeming. Tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Aruna pasrah. Dia putus asa.

"Bagas, kenapa kamu begitu bodoh? Mamah mohon, ceraikan saja wanita miskin itu. Dia hanya akan menjadi beban bagimu."

Bagas mendelik. "Tidak Mah! Bagas mencintai Aruna, Bagas tidak akan bercerai. Tolong … Mamah jangan terus memaksa Bagas atau Bagas akan meninggalkan mamah."

Dewi tersentak mendengar ancaman putranya. Dia tahu, Bagas bersungguh-sungguh. Bagas pria keras kepala, karena itu dewi sangat berhati-hati berurusan dengan putranya. Tidak mau kehilangan Bagas untuk kedua kalinya.

"Pah!"

Dewi melirik suaminya, meminta pertolongan. Tidak rela putra satu-satunya hidup bersama wanita miskin yang tidak sepadan dengan keluarganya. Apalagi, keadaan Aruna saat ini lumpuh. Dia pasti akan sangat merepotkan Bagas.

"Oke. Kalau kamu tetap pada pendirian mu untuk bersama wanita itu. Kami akan terima."

Dewi mendelik. Menatap nanar suaminya.

Dimas mendekati Dewi, lalu mengusap pundaknya. Meminta Dewi untuk tenang.

"Papah dan mamah akan mengijinkan kamu tetap bersama wanita itu, tapi dengan satu syarat."

Aruna, Bagas, dan Dewi menatap Dimas dengan penuh tanya. Nampak, rasa penasaran tersirat dalam wajah mereka.

"Menikahlah dengan Carissa. Papah sudah bicara pada Carissa dan orang tuanya. Carissa bersedia untuk menjadi istri keduamu dan orang tuanya pun setuju melanjutkan perjodohan yang dulu sempat batal, meski saat ini sudah menikah."

"Tapi, Pah–."

"Tidak ada tapi-tapian Bagas! Papah tahu, kamu juga tertarik pada Carissa. Buktinya, beberapa bulan ini hubungan kalian berjalan lancar."

"Pah–."

Bagas hendak berkata, namun Dimas kembali menyela. Pria itu menatap Bagas dengan tegas.

"Kami tidak meminta banyak Bagas. Nikahi Carissa dan berikan kami keturunan. Benar kata ibumu, kamu putra kami satu-satunya dan kami butuh penerus."

Bagas bergeming. Tidak menjawab. Pria itu terlihat bingung. Nampak, Aruna pun hanya diam. Bingung dengan keadaan yang dialaminya.

"Bagas, kami tidak peduli kelanjutan pernikahanmu dengan wanita miskin itu," Dimas menunjuk Aruna dengan dagu. Memperlihatkan sikap angkuhnya. "Kami hanya ingin seorang penerus dan wanita itu tidak bisa memberikannya. Karena itu, nikahi Carissa. Lakukan itu demi baktimu pada kami."

Bagas melirik Aruna. Menatap istrinya dengan sendu. Dia tidak mau menyakiti Aruna, tapi perkataan ayahnya benar. Aruna tidak akan bisa memberinya keturunan.

"Maafkan aku, Runa. Keadaanmu membuatku terpaksa mengambil keputusan ini."

Aruna memejamkan mata. Paham dengan keputusan yang akan diambil suaminya. Nampak, air mata tidak henti mengalir di wajah putih Aruna yang sudah terlihat sembab.

Bagas melirik orang tuanya. "Bagas setuju untuk menikah dengan Carissa, tapi Bagas minta syarat dari kalian."

"Katakan!" cetus Dimas dengan semangat. Nampak, senyum sumringah muncul di wajahya dan istrinya. Senang mendengar keputusan Bagas.

Bagas menatap lekat kedua orang tuanya. "Bagas akan menikahi Carissa, tapi kalian harus menerima Aruna sebagai istri pertama Bagas. Bagas ingin, kalian menerima Aruna sebagai menantu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status