Dikhianati oleh oleh pria yang dicintainya, Eva terjebak dalam hubungan yang rumit bersama sahabatnya sendiri. Satu malam yang dipenuhi emosi dan kehilangan kendali, perlahan mengaburkan batas antara persahabatan dan cinta. Bryan, sahabat yang selalu ada di sisi Eva sejak kecil, mulai menunjukkan perhatian yang berbeda, namun menuntut kepastian. Di tengah luka yang belum sepenuhnya sembuh, Eva harus menghadapi kenyataan bahwa Bryan tak lagi hanya menjadi sahabatnya, tapi ingin menjadikannya istri. Mampukah Eva membuka hatinya untuk cinta yang datang dari seseorang yang begitu dekat, namun terasa asing saat menawarkan ikatan suci?
View MoreSuasana meriah tampak memenuhi restoran daging milik keluarga Bristol. Dekorasi sederhana namun hangat menghiasi sudut ruangan, menyambut kepulangan putri kesayangan mereka.
Begitu Eva Bristol, gadis cantik bermata coklat melangkah turun dari mobil, suara terompet kecil langsung terdengar, mengiringi langkahnya memasuki restoran.
"Tarraa! Selamat datang, putri kecil Ayah,” sambut hangat Adam Bristol, pria paruh baya dengan senyum bangga. Di sampingnya berdiri Liliy, sang istri, yang juga tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.
Melihat sambutan itu, Eva tersenyum bahagia. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas ternama di London, kini ia kembali ke kampung halaman dengan tekad menjadi wanita karier yang ia impikan.
“Terima kasih, Ayah... Ibu,” ucap Eva, memeluk kedua orangtuanya dengan erat.
Tak jauh dari mereka, Bryan Winston sahabat dekat Eva sejak kecil tersenyum ikut merasakan kebahagiaan gadis itu. Namun senyum Bryan tak hanya sekadar senyum sahabat; ada tatapan lembut penuh arti yang tertuju pada Eva. Dan Eva tidak pernah menyadari hal itu, sama seperti Bryan yang tidak pernah peka dengan perasaannya.
Tuan Adam menyadari tatapan itu dan langsung berdeham pelan. “Ehem... Kalian berdua tadi kan sudah cukup lama di mobil. Sekarang makanlah yang banyak. Dan, Bryan, bantu Om sebentar, ya?”
Bryan sempat tersentak, menyadari lamunannya buyar seketika. “Iya, Om,” sahutnya sedikit gugup, menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal.
Eva yang memperhatikan gelagat Bryan hanya menahan senyum. Ia pun berpamitan sebentar pada ibunya. “Bu, aku menyusul sebentar ya, mau kirim pesan ke teman kampus.”
Liliy hanya mengangguk dan membalas lembut, "Iya, jangan lama. Ini kan pestanya kamu.”
“Iya, Bu,” jawab Eva singkat, lalu beranjak dengan ponsel di tangan.
Di sudut ruangan, suara ketikan keyboard terdengar pelan namun cepat. Ekspresi Eva tampak murung. Ia baru saja kembali ke kota Levita, tapi kekasihnya belum juga memberi kabar. Sudah beberapa pesan ia kirimkan, namun belum satu pun mendapat balasan.
“Kenapa dia tidak juga membalas," gumam Eva lirih, menggigit ujung kukunya yang tampak sudah pendek. Perasaan cemas dan kecewa perlahan menyelimuti hatinya.
Sementara itu, Bryan yang sedang membantu memindahkan botol-botol kosong diam-diam memperhatikan Eva dari kejauhan. Tatapannya menelisik, seolah memahami kegelisahan sahabatnya itu.
“Kalau sudah selesai, ayo makan bareng Om dan Tante di sana,” suara Tuan Adam yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Bryan sedikit terkejut.
“O-oh, iya Om,” jawab Bryan, buru-buru mengalihkan pandangan.
Tuan Adam menepuk bahunya ringan. “Baiklah, Om ke meja dulu ya.”
Begitu Bryan menoleh kembali ke sudut tempat Eva berada, ia mendapati gadis itu telah pergi.
Sementara itu, dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan, Eva diam-diam meninggalkan pesta. Langkahnya membawanya ke tempat kos sang kekasih, berharap mendapat sedikit kejelasan dari sikap dingin pria itu belakangan ini.Namun, baru sampai di depan pintu, Langkah Adelia terhenti saat mendengar suara kekasihnya, ia tidak mungkin salah mengenali suara yang familiar itu.
“Sayang, hari ini kekasihmu katanya akan pulang, kenapa kamu nggak jemput, katanya kamu cinta banget sama dia,” suara itu terdengar menggoda dan akrab, menusuk telinga Eva
Disusul jawaban yang tak kalah menyakitkan. “Ah, nggak usah. Lagi pula mana mungkin aku mencintainya, wajah dingin tanpa ekspresi itu membuat pria mana pun tidak akan bernafsu padanya."
Tawa si wanita terdengar lebih keras, penuh ejekan. “Ih, jahat banget, kamu ini,” ucapnya sambil tertawa genit.
Ucapan dan suara-suara itu menghantam dada Eva seperti palu godam. Tangannya mulai berkeringat, dan tubuhnya sedikit bergetar menahan emosi. Akan tetapi sebagian dirinya menolak percaya, bahwa ucapan tersebut keluar dari pria yang dicintainya selama lebih dari satu tahun itu.
Tak mampu lagi menahan amarah, Eva mendorong pintu dengan keras hingga engselnya nyaris copot. Entah dari mana datangnya tenaga itu, tapi amarah yang membuncah seolah memberinya kekuatan lebih. Namun saat Adelia melongok ke dalam ruangan kakinya sontak melemas. Di sana Juan kekasih yang di cintainya sedang bercumbu mesra dengan wanita lain.
“Dasar brengsek!” teriak Eva lantang. Suaranya menggema memenuhi kamar sempit itu, membuat sepasang kekasih gelap yang tengah larut dalam gairah seketika panik dan terlonjak kaget.
“E-Eva?!” seru pria itu tergagap, buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Aku bisa jelaskan! Ini semua nggak seperti yang kamu bayangkan,” ucapnya tergesa, mencoba mendekati Eva.Namun Eva segera mundur dua langkah, tatapannya penuh jijik. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu.”
Nafasnya berat menahan marah. “Aku benar-benar percaya kamu, dan kamu balas semuanya dengan cara sehina ini? Aku kira kamu setia, ternyata kamu cuma sampah!”
Ucapan itu menusuk. Pria itu tak terima dan balas membentak, “Kurang ajar! Dasar wanita!” Tangannya terangkat, hendak memukul Eva dalam luapan emosinya.
Namun sebelum sempat menyentuhnya, sebuah tangan lain datang menepis dengan keras. Bryan muncul entah dari mana, dengan sorot mata tajam penuh perlindungan. Tanpa pikir panjang, ia langsung melayangkan pukulan telak ke wajah pria itu, membuatnya terhuyung jatuh ke lantai.
“Laki-laki sejati nggak akan pernah mengangkat tangan pada perempuan,” ucap Bryan dingin, tinjunya masih mengepal kuat.
Eva tertegun. Matanya membelalak saat melihat Bryan berdiri di hadapannya, seperti tameng hidup yang tak pernah ia minta, tapi selalu ada di saat paling dibutuhkan.
“Bryan…” ucapnya lirih, nyaris tak percaya pria itu datang tepat waktu.
Pria itu bangkit dari lantai setelah menerima pukulan dari Bryan. Alih-alih meminta maaf, ia justru memutar balik keadaan dan mencoba memojokkan Eva.
“Haha… jangan-jangan kamu juga selingkuh di belakangku, ya?” tudingnya sinis, pandangannya bergeser ke arah Bryan yang berdiri melindungi Eva.
Eva tercengang, hatinya makin terluka oleh tuduhan tak berdasar itu. “Kau menuduhku? Padahal jelas-jelas kau sendiri yang berselingkuh! Dasar pengecut!” balas Eva dengan suara gemetar menahan emosi.
“Udahlah, ngaku aja. Kita sama-sama kesepian, bukan? Jadi jangan sok bersih,” ucap pria itu enteng, seolah tak merasa bersalah sedikit pun. Ia mendekat dengan sikap yang membuat bulu kuduk Eva berdiri.
Bryan segera melangkah ke depan, menahan pria itu dengan sorot mata tajam. “Coba dekati Eva satu langkah lagi, dan kali ini bukan wajahmu yang aku hajar,” ucap Bryan tegas, suaranya rendah namun jelas mengandung ancaman.
Pria itu pun mengurungkan niatnya. Bryan segera membawa Eva pergi dari tempat itu dan menjauhkannya.
Malam itu, mereka duduk di sebuah bar kecil di hotel. Dua botol whisky menemani keheningan yang menyelimuti mereka. Wajah Eva tampak merah, mata sembab dan lelah setelah menangis cukup lama.
“Jangan terus-terusan nangis… Masih banyak pria yang lebih pantas untuk kamu,” kata Bryan berusaha menghibur, meski ekspresinya terlihat kikuk dan sedikit kaku.
Mendengar itu, Eva justru tersedu kembali. “Ugh… kenapa kamu malah ngomong gitu… Aku jadi makin sedih,” ucapnya pilu, lalu kembali menuangkan minuman ke gelas kecilnya.
Bryan tampak canggung melihat Eva dalam kondisi seperti itu. Ia meraih gelasnya, mencoba menghentikannya. “Udah, jangan minum lagi. Aku bisa dimarahin Om sama Tante nanti,” katanya sambil merebut gelas dari tangan Eva. Tanpa sengaja, minuman itu tumpah dan membasahi bagian depan gaun putih yang Eva kenakan.
Bryan menelan ludah, tubuhnya menegang saat melihat kain tipis itu menjadi transparan. Cairan emas itu meresap tepat di area dada, membuatnya sulit mengalihkan pandangan.
Eva yang sudah mulai kehilangan kesadaran, justru menatap Bryan dengan pandangan sayu. Lalu, tanpa peringatan, ia menarik Bryan dan menciumnya singkat namun mengejutkan.
“E-Eva… apa yang kamu lakukan?” tanya Bryan panik, berusaha menahan diri agar tak terbawa suasana.Namun ciuman itu tidak berhenti di situ. Eva memeluknya erat, tubuhnya bersandar lemah sambil menggumam, “Sakit, Rian… Hatiku sakit… Aku cuma butuh pelukan.”
Bryan diam. Dalam benaknya, perasaan sebagai sahabat dan pria yang diam-diam mencintainya bertabrakan. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Namun yang pasti, malam itu segalanya berubah.
Keduanya akhirnya berpindah ke kamar hotel. Bryan yang gugup, memesan satu kamar untuk mereka berdua. Eva terbaring lemah, dan Bryan berlutut di sampingnya, mencoba menyadarkannya.
“Eva, hey… kamu harus sadar,” ucap Bryan lembut, mengusap wajah Eva.
Namun Eva justru menarik kerah bajunya, membuat mereka berdua jatuh ke atas kasur, tubuh mereka saling bertindihan. Nafas Bryan tercekat, tubuhnya menegang. Ia berusaha menahan diri, namun ketika Eva menyentuh dadanya dan bergumam, “Aku mau ini…” hatinya goyah.
Bryan menggenggam tangan Eva. “Kalau ini terjadi… jangan salahkan aku,” bisiknya. Ia tahu, garis persahabatan mereka telah mulai pudar malam itu, dan saat kesadaran kembali esok pagi, segalanya tak akan pernah sama lagi.
Akankah hubungan mereka tetap seperti dulu?
Bryan menunduk sedikit, menatap Gina dengan ketulusan yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Terima kasih… sudah menemani istriku,” ucapnya lirih, senyum tipis terlukis di wajahnya.Gina sempat terdiam, seolah terperangkap pada sorot mata Bryan yang meneduhkan, meski garis lelah tampak jelas di sana. Senyumnya kembali muncul, kali ini terlihat kaku, bercampur dengan kecanggung. “Tidak apa-apa. Tapi lain kali… jangan tinggalkan dia seperti tadi. Jika ada masalah, bicarakan dengan tenang. Eva bukan perempuan yang pantas menghadapi semuanya sendirian.”Bryan mengangguk pelan, merasa nasehat itu menampar kesadarannya. “Kau benar. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Gina pun meraih tasnya, lalu segera melangkah pergi meninggalkan Bryan bersama Eva. Dari sudut matanya, Bryan sempat melihat Gina menoleh sebentar, seperti masih khawatir meninggalkan Eva. Namun pria itu tak lagi menahan. Ia hanya fokus pada Eva saat ini, yang kini tertidur dengan kepala bersandar di meja panjang minimarket
Langkah Bryan meninggalkan ruangan tadi masih terngiang di telinga Eva. Tubuhnya lemas, emosinya terkuras habis. Gina langsung menariknya keluar dari kantor, tidak ingin sahabatnya menjadi bahan tontonan karyawan lain yang mungkin sudah mencium aroma pertikaian.“Ayo ikut aku,” ujar Gina lirih sambil menggandeng tangan Eva, menjauh dari tempat itu.Eva tidak melawan. Ia terlalu lelah untuk berpikir, ia hanya mengikuti Gina yang membawanya menyeberangi jalan menuju sebuah minimarket. Malam mulai turun, lampu jalan berkelip redup, sementara suara kendaraan bersahutan memecah udara.Gina membeli dua kaleng bir dari lemari pendingin, lalu menuntun Eva ke bangku panjang di depan toko. “Kau butuh ini. Setidaknya untuk melupakan sedikit beban malam ini,” katanya menyerahkan satu kaleng ke tangan Eva.Eva menatap benda itu sedikit ragu. “Aku… tidak terbiasa.” “Lalu kau ingin menangis sampai kehabisan napas? Eva, kadang-kadang kita harus membiarkan diri kita melepaskan semuanya, meski hanya d
Hari itu terasa berjalan lambat bagi Eva, sebab semua terasa begitu kacau setelah kehadiran Juan semalam. Sejak pagi, pikirannya tidak pernah tenang saat Juan selalu mengganggu ketenangan batinnya, bagimana tidak, ia harus satu kantor dengan pria yang paling ia benci dalam hidupnya.Tatapan pria itu, meski tak diucapkan dengan kata-kata, seakan mengunci setiap geraknya. Beberapa kali Eva mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaannya, tetapi begitu ia menoleh, ia selalu mendapati Juan sedang menatapnya. Tatapan Juan terlihat begitu penuh keyakinan seolah berkata.‘Aku masih di sini, dan kau tak akan bisa lari dariku.’Gina yang duduk tak jauh darinya, sudah berkali-kali melirik pada Eva dan mulai mengkhawatirkan. Ia bisa membaca kegelisahan Eva, meskipun sahabatnya itu berusaha keras menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.“Eva, kalau begini terus kau bisa sakit,” bisik Gina, saat mereka berpapasan di ruang arsip.&ld
Keesokan paginya, Eva membuka mata dengan perasaan yang masih berat. Ketika mengingat kejadian semalam. Eva menoleh pelan, ranjang di sampingnya kosong, tak ada Bryan yang biasa menemaninya bangun.Perasaan sepi seketika menyergap di hatinya, membuat dadanya sedikit sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba muncul. Malam sebelumnya masih begitu jelas di benaknya, membuat wajahnya memanas setiap kali teringat.“Apa yang sebenarnya Bryan pikirkan tentangku? Aku bahkan tidak sepenuhnya ingat bagaimana aku bisa pulang bersamanya semalam,” batinnya meronta kala mengingat dirinya yang menangis dihadapannya, sambil memijit pelipis yang berdenyut. Rasa malu bercampur lelah membuat tubuhnya terasa berat.Dengan cepat ia beranjak, membersihkan diri, lalu bersiap menuju kantor. Namun sebelum melangkah keluar, matanya tertuju pada meja makan. Di sana sudah tersusun rapi hidangan sederhana, roti panggang hangat, segelas susu, dan beber
Ban mobil Bryan berdecit keras ketika ia berhenti mendadak di depan gang sempit itu. Lampu sorot mobilnya menembus gelap, dan pandangan matanya langsung terpaku pada satu pemandangan yang membuat darahnya mendidih, di sana ia melihat Juan tengah menggenggam lengan Eva, sementara wajah istrinya terlihat tegang penuh perlawanan.Bryan tak berpikir panjang. Ia membuka pintu mobil dengan kasar, langkahnya cepat, nafasnya memburu. “Lepaskan dia!” suaranya menggelegar, penuh amarah yang tak bisa ditahan.Juan menoleh, sedikit tersentak, namun segera kembali menegakkan bahunya. Senyum mengejek muncul di wajahnya. “Akhirnya kau datang juga, Bryan. Lihatlah, bahkan dalam keadaan seperti ini, Eva masih butuh aku untuk mendengarkannya.”Eva langsung berusaha menarik tangannya, “Lepaskan aku, Juan!” serunya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah mundur begitu Bryan mendekat, seakan mencari perlindungan di sisi suaminya.Bryan berdiri
“Juan… kau di sini?” suara Eva bergetar, setengah tak percaya melihat sosok itu berdiri hanya beberapa langkah darinya.“Eva, ayo kita bicara,” ucap Juan datar, matanya menyapu sekilas ke arah Gina yang menatapnya penuh curiga, seakan hendak mengusirnya dengan pandangan saja.Eva menoleh cepat, menggenggam erat ponselnya yang ternyata sudah terputus sambungan dengan Bryan. Nafasnya tersengal, mencoba menenangkan degup jantung yang berlari liar. “Gina… tunggu sebentar ya,” katanya dengan suara yang dipaksa tenang.Gina mencondongkan tubuh, wajahnya penuh kecemasan. “Kalau kau butuh bantuan, cukup teriak. Aku ada di sini,” pesannya, sembari memberi tanda dukungan tanpa perlu banyak kata.Eva mengangguk pelan, lalu melangkah mengikuti Juan ke sebuah gang sempit tak jauh dari tempat Gina berdiri. Udara malam di gang itu lebih dingin, cahaya lampu redup menyorot dinding yang kusam. Di sana, kehening
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments