“Ingin apa, Pak?”
“Klien kita ternyata ingin bertemu sekarang juga,” ujar Pak Bobby kepada Ardhan dengan panik. “Ini berkas yang harus kamu pelajari.”
Ardhan memundurkan langkahnya, ia tak menduga jika harus menunaikan tugasnya secepat ini. Bahkan ia belum tahu apa yang harus disampaikan mengenai kerjasama perusahaan mereka.
“Pelajarilah secepat mungkin,” imbuh lelaki itu seraya menyerahkan setumpuk berkas. Ardhan terdiam sembari menatap berkas-berkas itu. Otaknya sedang mencari cara bagaimana bisa mempelajari berkas sebanyak itu dalam waktu yang singkat. “Tunggu apalagi Ardhan? Cepat pergi dengan mobil kantor. Kamu pelajari berkas itu di mobil.”
“Ba –baik Pak.”
Ardhan bergegas menuju lift, tangan kekarnya menekan tombol dengan tak sabaran. Begitu pintu terbuka, kaki panjangnya segera masuk ke dalam. Dalam hitungan detik, ia sudah tiba di lobby perusahaannya. Ternyata supir kantor sudah menunggunya, mereka pun berangkat menuju tempat tujuan.
Selama perjalanan Ardhan fokus pada kertas yang ada di tangannya. Banyak hal yang harus ia ingat dan disampaikan di hadapan para klien nanti. Lelaki itu berharap, dirinya bisa melaksanakan tugasnya dengan baik.
Satu jam perjalanan sudah terlewat, akhirnya Ardhan sampai di tempat yang sudah disepakati oleh klien mereka. Ardhan masih memakai kacamatanya karena ia ingin tahu apa warna bola mata orang yang akan ditemuinya.Waktu terus berjalan terhitung sudah setengah jam Ardhan menunggu klien datang. Perasaan cemas, gugup dan bingung bercampur menjadi satu.
“Apa aku salah tempat atau meetingnya dibatalkan ya? Tetapi aku tidak dapat pemberitahuannya,” cerocos lelaki itu, ia menatap layar ponselnya berulang kali. Ardhan yang bingung kemudian berinisiatif untuk bertanya kepada atasannya.
Begitu ia menekan nomor telepon milik Pak Bobby, tak lama kemudian sebuah suara lelaki paruh baya menyahut. “Sore Pak, apakah klien kita mengganti tempat meeting atau ada informasi jika meeting dibatalkan?”
“[Apa maksudmu, Dhan? Tidak ada pemberitahuan resmi tentang dua hal itu.]”
“Begini Pak, saya sudah menunggu hampir 45 menit tetapi klien kita tidak kunjung datang,” adunya kepada sang atasan.
Pak Bobby tentu saja terkejut mengetahui hal tersebut, pasalnya klien yang mereka temui itu adalah orang penting dan sangat menjaga reputasinya, bagaimana bisa sekarang beliau berbuat seperti itu. “[Kamu yakin pergi ke tempat yang benar, Dhan? Kamu tidak salah restoran ‘kan?]”
“Benar Pak, saya sudah berada di restoran yang kita sepakati,” jawab Ardhan. Sang atasan menyuruh lelaki itu untuk menunggu lima menit lagi, memang klien tak datang juga maka ia boleh kembali ke kantor.
Sembari menunggu waktu untuk kembali ke kantor, Ardhan melihat kembali proposal dan presentasi yang sudah disiapkan oleh staff perusahaannya. Lelaki itu tak menyadari jika ada seorang pria berjalan cepat ke arahnya.
“Pak Ardhan ya?” tanya orang itu. Ardhan seketika menengadahkan kepalanya. “Maaf ya Pak, saya terlambat karena tadi mendadak ada urusan kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Maaf sudah membuat Bapak menunggu lama.”
“Jadi ini orangnya,” batin Ardhan, mereka semua kemudian berdiri menyambut orang penting tersebut. “Ah tidak masalah, Pak,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.
Sembari menjabat tangan Ardhan, pria itu berkata “Sepertinya kita pernah bertemu, tetapi di mana ya?”
“Oh begitu, tetapi maaf Pak, rasanya kita baru bertemu hari ini,” timpal Ardhan. Ia sama sekali tak pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya.
“Mungkin saya pernah bertemu orang yang mirip kamu atau lupakan saja hal tadi,” ujar lelaki itu sembari tersenyum. “Perkenalkan nama saya Prama Danureja,” katanya sembari tersenyum.
Ardhan membalas dengan memperkenalkan namanya serta jabatannya di kantor, setelah itu mereka duduk kembali. Lelaki bertubuh jangkung itu mempresentasi tentang perusahaannya. “Bagaimana Bapak , apakah perusahaan kita bekerjasama?”
“Tentu saja Pak Ardhan, prospek ke depannya sangat menjanjikan,” sahut Prama mantap. Pertemuan tersebut berakhir dengan kesepakatan kerjasama antara perusahaan Ardhan dengan perusahaan Prama.
Ardhan segera kembali ke kantor untuk mengabarkan berita baik tersebut. Sesampinya di kantor, ia bergegas menemui atasannya yang sudah menunggunya sedari tadi. “Bagaimana Dhan, kita berhasil mendapatkan kerjasama dengan perusahaan bonafit itu?”
“Tentu saja Pak, mereka menyukai program kerja kita dan setuju untuk bekerja sama,” jawab Ardhan seraya tersenyum cerah.
Seketika bibir tebal lelaki yang ada di depan Ardhan juga ikut tersungging, akhirnya perusahaannya bisa bekerja sama dengan perusahaan paling besar dan terkenal di seluruh negeri. “Kerja bagus Ardhan, untuk bonus dan kenaikan jabatan kamu akan kita bicarakan setelah kerjasama ini berjalan.”
“Terima kasih, Pak. Saya permisi kembali ke ruangan saya dulu,” ujar Ardhan setelah menyerahkan berkas-berkas penting di meja Pak Bobby.
Pintu ruangan atasannya sudah tertutup, Ardhan kemudian melangkah menuju ruangannya. Apa yang baru saja ia lakukan jelas menjadi topik pembicaraan rekan-rekan kerjanya. Ada yang menatapnya sinis, ada yang ikut berbahagia atas pencapaiannya. Ada pula yang memasang dua muka.
“Selamat ya Dhan, aku senang kamu bisa menyelesaikan tugas berat itu dengan baik,” ujar salah satu staff kantor sembari menjulurkan tangannya. Ardhan tak langsung membalas uluran tangan tersebut, ia fokus pada bola mata lawan bicaranya itu.
Seandainya Ardhan tak memakai kacamata itu, dirinya tentu saja tidak akan tahu bahwa tak semua orang baik padanya. Contohnya seperti wanita di depannya itu, ia tersenyum ceria, mengatakan hal baik namun nyatanya bola matanya berwarna merah pekat.
“Dhan? Kamu kenapa?”
“Oh tidak, terima kasih Kak. Akhirnya tugas berat itu selesai juga ya,” balas Ardhan. Ia lantas kembali meneruskan langkahnya menuju ruang kerjanya. Lelaki itu teringat akan sosok Prama, baru kali ini ia berjumpa dengan orang seperti itu.
Sejak pertama kali melihat Prama, Ardhan merasa ada yang berbeda dengan orang tersebut. Warna auranya serta kedua bola matanya yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Lelaki berpenampilan borjouis itu memiliki bola mata berwarna jingga.
“Kenapa bola matanya berbeda? Apa arti warna jingga ya?” gumam Ardhan. Saat ini di benak Ardhan hanya ada pertanyaan tersebut, Ardhan tak tahu harus bertanya kepada siapa. Ia mencari di dunia maya pun tak ada jawabannya. “Apa yang harus kulakukan dengan orang seperti Pak Prama?”
Jelas saja Ardhan merasa penasaran dan bingung, pasalnya selama kerjasama kedua perusahaan itu berlangsung, Ardhan akan sering bertemu dengan Prama. Ia tak ingin kembali menjadi target penipuan oleh orang tersebut.
Setelah berpikir dengan keras, Ardhan berniat untuk mencari kakek misterius yang memberinya kacamata tersebut. Ia pun membereskan barang-barangnya dengan cepat. “Akan kucari di manapun Kakek itu berada. Aku harus meminta penjelasan darinya.”
“Kakek siapa, Dhan?”
Ardhan menoleh ke arah sumber suara, ternyata temannya yang sekarang menjadi orang paling dibencinya berada di ambang pintu.
“Kamu pakai dukun ya, Dhan?”
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati