“Iya, saya menunggu kedatangan Mas Ardhan untuk membayar semua tagihan perusahaan saya.”
“Bapak serius mau membayar semua tagihan?” ulang Ardhan yang tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Serius Mas, saya akan bayar semua beserta dendanya,” sahut lelaki itu. Senyum mengembang seketika di bibir Ardhan, ia melupakan masalah kacamata tersebut. Yang terpenting sekarang kliennya membayar hutang-hutangnya.
“Baik Pak, kita bisa jalan sekarang,” ujarnya. Dengan kendaraan masing-masing kedua menuju perusahaan tersebut. Tak butuh waktu lama keduanya pun sampai di tempat tujuan, Ardhan dibawa ke ruang rapat. Di sana mereka membicarakan mengenai tagihan yang belum terbayarkan, cukup lama Ardhan melakukan negosiasi hingga akhirnya dia pulang membawa kabar baik.
Perasaan Ardhan sungguh senang karena berhasil satu misinya namun tetap saja ada yang mengganggu pikiran lelaki itu. Penglihatan menjadi berbeda sekarang karena kacamata itu. Setiap kali ia menatap mata orang lain maka tampak warna merah atau biru.
“Apa jadi begini, kenapa bola mata mereka berubah. Apa maksudnya?” batinnya. Sayangnya Ardhan tak memiliki banyak waktu untuk menemukan jawabannya, sore ini dirinya masih harus pergi ke perusahaan terakhir. Kebetulan jarak perusahaan tersebut tak jauh sehingga dalam waktu singkat dirinya tiba di perusahaan keempat.
Tak seperti dua perusahaan sebelumnya, begitu Ardhan mengatakan tujuan ke perusahaan tersebut bagian frontlier langsung menyambutnya ramah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh manajer perusahaan tersebut.
“Maaf ya Mas Ardhan perusahaan kami terlambat membayar kewajiban,” ujarnya ramah ketika mereka sudah berada di ruang pertemuan. Proses pembayaran pun berlangsung cepat, setelah semua transaksi selesai Ardhan pun kembali ke kantornya dengan langkah ringan.
Semua orang di kantor mendadak ramah padanya, tentu saja hal tersebut membuatnya kaget. Kejutan lain menanti dirinya, Sang atasan tersenyum lebar sembari berjalan ke arahnya. “Nah gitu dong Dhan, kerja bagus. Kamu berhasil menagih klien yang paling sulit, hebat kamu,” puji sang manajer.
“Te –terima kasih, Pak,” sahut Ardhan gagap, ia tak siap menerima pujian dari orang yang biasanya memarahinya itu.
“Kamu pakai jampi-jampi apa? Atau kamu pakai doa apa, tiba-tiba perusahaan itu mau bayar?” tanya si boss yang terkesan menuduhnya bermain cara kotor.
“Tidak ada jampi-jampi atau doa khusus, Pak. Mungkin beliau kasihan pada saya,” jawab Ardhan seraya mencuri pandang ke arah juniornya itu.
“Karena kerja kamu bagus hari ini, Saya akan tugaskan kamu untuk bertemu klien besar kita yang baru,” tawar lelaki itu.
“Sa –saya Pak?” tanya Ardhan tak percaya.
“Iya, kamu mau ‘kan Dhan? Ini kesempatan langka, kalau kamu berhasil mendapatkan kerjasama dengan perusahaan itu, kamu naik jabatan.”
“Mmm ... Begini Pak, A –anu ... sebenarnya saya ...,” ujar Ardhan seraya menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu pikirkan saja dulu, Dhan tetapi saya harap kamu bersedia menjadi wakil perusahaan,” kata si boss berlalu begitu saja. Ardhan lantas meneruskan langkahnya ke ruang kerjanya. Di dalam ruangan yang didominasi warna putih tersebut, ia memikirkan tentang banyak hal.
Salah satunya tentang tawaran dari atasannya tadi, Ardhan merasa tidak percaya untuk menunaikan tugas tersebut meskipun imbalan yang didapatkannya sungguh besar. Sudah lama dirinya menantikan kesempatan untuk naik jabatan. “Ini memang kesempatan emas untukku tetapi apa yang membuat Pak Boss mempercayakan tugas berat ini ya. Kenapa tiba-tiba begini,” gumamnya.
Hal lain yang juga mengganjal pikirannya adalah semua bola mata orang berubah menjadi dua warna solid. Ardhan memikirkan apa yang membuat kedua mata mereka berbeda. Jika dilihat secara gender, bukan hanya rekan wanitanya saja yang memiliki bola mata biru, banyak rekan laki-laki yang memiliki warna serupa. Begitu pula sebaliknya.
Suara ketukan di pintu kerjanya membuat Ardhan menoleh, seseorang wanita masuk ke dalam ruangannya sembari membawa tumpukan daftar klien yang lain. “Ini daftar klien yang kedua, usahakan semua membayar ya Mas. Ingat, resiko apa yang akan kamu dapatkan jika tidak melakukannya dengan baik.”
“Mbak, Kamu lagi nggak sakit mata ‘kan? soalnya matamu jadi merah?” ujarnya memberanikan diri bertanya karena mata wanita itu tampak merah pekat.
“Nggak, aku baik-baik saja. Mata siapa yang merah, kok tiba-tiba tanya begitu,” sahut wanita itu sewot kemudian pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Jangan-jangan yang membedakannya perlakuan mereka ke aku. Merah artinya jahat dan biru itu baik,” cicitnya. “Buktinya milik karyawan lain berwarna merah pekat tetapi kenapa milik Pak Bobby biru ya?”
Pintu ruangannya kembali diketuk oleh seseorang kali ini yang datang adalah sang atasan. Sepertinya Pak Bobby tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Ardhan. “Jadi gimana Dhan? Kamu sudah pikirkan bukan lalu apa jawabanmu?”
“Saya bersedia Pak,” jawabnya cepat, Ardhan tak tahu bagaimana dirinya bisa berkata demikian.
“Baguslah kalau begitu, kamu akan pergi besok. Semua berkas sudah disiapkan, kamu tinggal mempelajarinya saja,” jelas lelaki paruh baya itu. Sang atasan memuji penampilan baru Ardhan, beliau mengatakan jika lelaki itu tampak lebih baik menggunakan kacamata. Lelaki Itu hanya menundukkan kepalanya karena malu seraya mengumpat di dalam hati.
Sepeninggalan Pak Bobby, ada orang lain yang masuk ke dalam ruangannya. Seorang lelaki berbadan tegap, ia merupakan teman baik Ardhan. “Dhan, tadi aku dengar kamu jadi utusan kantor ya?” tanya lelaki itu tiba-tiba.
“Iya, mudah-mudahan Pak Bobby tidak salah pilih ya,” timpal Ardhan.
“Sudah pasti Pak Bobby salah pilihlah. Masa kamu yang jadi utusan kantor, pegawai lain ‘kan banyak yang lebih baik dan lebih layak. Memangnya kamu bisa jawab semua pertanyaan mereka?” kata lelaki itu. Ucapan teman seperjuangannya itu tentu saja membuat Ardhan membulatkan matanya namun ada hal lain yang lebih mengejutkannya.
Mata teman baiknya itu sangat merah, merah pekat. Lelaki yang ada dihadapannya itu merupakan tempatnya berkeluh kesah, Ardhan tak pernah iri atas pencapaian temannya selama ini. Sayangnya temannya tak bersikap sama dengannya.
“Lebih baik kamu mundur saja Dhan, bilang saja kalau kamu tiba-tiba gugup atau apa. Biar digantikan orang lain yang lebih mumpuni,” lanjutnya.
“Kenapa harus mundur? Pak Bobby mempercayakan tugas penting ini untukku berarti dia tidak mempercayai orang lain. Pegawai yang lain tidak ada yang lebih mumpuni dibandingkan aku,” sahut Ardhan dengan sedikit emosi. Ia mengusir temannya dengan alasan jika dirinya ingin kembali bekerja.
“Yakinlah Dhan, kamu akan gagal mengerjakan proyek ini seperti yang biasa kamu lakukan. Kamu angkat kaki dari kantor ini, secepatnya,” ujar lelaki itu sebelum meninggalkan ruangan tersebut.
Ardhan duduk termenung di depan layar komputernya. Ia memikirkan tentang perkataan temannya itu, bagaimana jika ternyata ucapan tersebut menjadi kenyataan. Semua orang akan menyalahkannya, ia kembali menjadi topik pembicaraan satu kantor selama berhari-hari.
“Jika berhasil aku akan naik jabatan tetapi jika gagal kemungkinan besar aku akan dipecat. Mungkin memang lebih baik aku mundur saja,” pikirnya. Ardhan lantas beranjak dari kursinya kemudian berjalan menuju pintu berwarna cokelat itu.
“Ardhan, ada gawat. Ada kabar buruk untuk kita, klien kita ternyata ingin ....”
Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas
“Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post
“Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar
“Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah
Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa
“Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati