Bella dan Hector adalah 2 orang yang sama-sama di remehkan dalam kehidupan nyata. Bella di khianati kekasih, dan Hector di kucilkan karena skandal dan dianggap belum mampu membangun bisnis sendiri. Keduanya di pertemukan pada pesta topeng kalangan elit, dan melakukan one night stand saat sama-sama dalam keadaan mabuk. Demi tidak tersebar luasnya skandal baru, akhirnya mereka berdua di paksa menikah tanpa di dahului perasaan cinta. Akankah pernikahan kontrak ini berlanjut? Atau justru berakhir, setelah menyadari jurang perbedaan mereka sangatlah jauh? Dan bagaimana jadinya bila ternyata di masa lalu keluarga mereka saling berkaitan, sehingga menguak tabir-tabir kisah lainnya?
View More"BAJINGAN!"
Suara histeris hampir bersamaan dengan pintu terbuka itu sontak membuat dua orang dalam ruangan terkejut. Salah satu kamar dari hotel bintang 3 itu kini jadi saksi akan sebuah pengkhianatan cinta. "Jadi benar, kalian main api di belakangku!" Teriakan itu berubah jadi getar di iringi tetesan air mata. "Bella. Ini bukan seperti yang kamu lihat. Percayalah." Pria bernama Aldo ini cepat-cepat merapikan pakaian, dari menutup kancing kemeja sampai menaikkan celana panjang yang sempat hampir terlepas. "Kami hanya bersenang-senang," alasannya setelah menyisir rambut ke arah belakang dengan tangannya. Ekspresi berbeda justru di tunjukkan wanita muda di sampingnya. "Bersenang-senang katamu? Kita sudah melakukan ini berkali-kali Aldo, dan aku nggak mau menutupinya lagi!" "Benarkah itu? Dan kamu sahabatku, Elena!" Tak percayanya Bella. “Nggak aku sangka kamu setega ini!” Elena yang sudah selesai merapikan penampilan setelah hampir setengah telanjang kemudian mendekati Bella. "Maafkan aku, Bella, tapi kami saling mencintai," ucap Elena enteng. "Elena!" teriak Bella. "Dia tunanganku. Kami menikah dua bulan lagi, dan kamu dengan mudahnya bilang kalian saling mencintai?!" Bella sungguh tak mempercayai ini semua. Kedua tangannya meraih kemeja Elena dan di tarik-tarik untuk luapkan kekecewaannya saat ini. "Bella. Kendalikan dirimu." Aldo berusaha melepaskan tangan Bella yang semakin menangis histeris. "Kamu bisa menyakiti Elena. Lepaskan Bella!" pintanya lantang. "Kita terlalu cepat memutuskan bertunangan. Aku belum siap terikat, Bella." Aldo mencari pembelaan diri. Bella tertegun. Bagaimana bisa tunangannya ini justru membela Elena, dimana seharusnya lebih memihaknya karena status mereka yang akan segera menikah. Bella juga tak menyangka akan alasan yang di kemukakan Aldo barusan. "Dan kau Aldo ... Apa kamu juga ... Kamu ..." "Tentu saja, Bella. Aldo juga sangat mencintaiku!" sela Elena tanpa perasaan. Sesak dada Bella mendengarnya, terlebih melihat Aldo membalikkan tubuh, berjalan menjauh. Bella memanggil-manggil berharap mendapatkan tanggapan langsung, tapi Aldo tak bergeming. Dada Bella semakin sesak, karena derasnya air mata dan besarnya sakit hatinya. "Kembali saja kamu ke asalmu, Bella. Milan bukan untukmu. Kamu hanya gadis desa yang sia-sia kejar mimpi, bahkan sekarang Aldo juga membuangmu!" usir Elena ketus, seraya membukakan pintu, mengusir secara terang-terangan. Bella menoleh ke arah Aldo yang kini membawa segelas anggur. Tatapan pria tampan berambut pirang itu jauh keluar jendela, seolah acuh tak menganggap Bella ada di situ. "Kalian jahat!" Hanya itu yang sanggup Bella ucapkan sebelum memutuskan meninggalkan ruangan, karena yang ingin dia lakukan sekarang hanyalah lari sejauh-jauhnya. "Aku nggak akan pernah lupakan ini!" Bella bukan hanya menyumpahi Elena dan Aldo, tapi juga meneguhkan diri. Malam ini dia akan pergi jauh dari orang yang sudah mengecewakannya ini. Tiap jejak kini adalah kepedihan bagi Bella. Pikirannya penuh akan perlakuan dingin Aldo serta tiap ucapan Elena yang sangat menyakitkan. Bella tak menyangka, gadis yang dia temui pertama kali di Milan justru adalah perusak kebahagiaannya. Suara panggilan dari ponsel membuat langkah Bella berhenti mendadak. Tangannya bergetar menatap layar. Kalau saja bukan atasannya, Bella tak akan mungkin mengangkat dering tersebut. "I iya, Bu Sandra?" sapanya terbata, terpaksa bibir bawahnya di gigit agar tidak kentara sedang menangis. "Hell yeah. Apa kau lupa dengan tugasmu malam ini, heh?" tanya Sandra dengan logat Amerikanya. Baru 6 bulan Bella bekerja di sebuah agensi dan konsultan pesta setelah lulus kuliah, dan sejak itu pulalah dia meninggalkan Atrani, sebuah desa kecil di barat daya Italia. "Ma maaf, Bu Sandra. Saya berangkat sekarang," sahut Bella lirih, menutupi getar suara dimana masih mungkin keluar di tengah hatinya yang telah hancur. "Cepatlah. Pestanya mau di mulai. Kalau tidak, gajimu bulan ini di potong setengah!" "Saya sudah dapat taxi. Kira-kira tidak sampai 1 jam sudah sampai di sana." Bella setengah berlari setelah berhasil mendapatkan kendaraan menuju ke sebuah gedung opera di tengah kota Milan. "Bagus, karena tamu yang paling di tunggu sudah datang." ** Dalam perjalanan, Bella sempatkan menelpon neneknya. Gundah di hati segera mengingat pikirannya pada sang pengganti orang tuanya ini. "Bella femme. Ada apa? Apa kamu melupakan sesuatu?" Bella sadar sudah 2 kali ini dia menelpon hari ini. "Iya, nek. Apa nenek sudah ambil uang yang aku kirim tadi?" Alasannya menutupi kesedihan. Bella berharap dengan mendengarkan suara neneknya akan mengalihkan kegalauannya sejenak. "Sudah. Seperti biasa, uang itu langsung nenek buat bayar hutang belanjaan di toko Nelly tua dari minggu lalu." "Oh syukurlah. Maaf, nek. Bella baru gajian. Uang lembur kerja part time di cafe belum juga di bayar. Mungkin minggu de ..." "Kamu bicara apa Bella?" sela Marita. "Nenek hanya hutang 1 kantong tepung gandum, dan Nelly waktu itu sedang tidak ada kembalian. Nenek yang lamban karena baru selesaikan baju rajutan ke tuan Marco hari ini. Sudah, jangan salahkan dirimu." Bella tahu Marita sedang berbohong. Gajinya tidak sepenuhnya cukup biayai hidup nenek dan adiknya, tapi neneknya itu selalu menutupi. "Apa kamu bersama Aldo? Nenek sudah tidak sabar melihatmu pakai gaun pengantin. Dia pria baik, kamu sangat beruntung." "Tidak, nek. Pernikahan itu tidak akan terlaksana. Kami putus." "Putus?" Bella tak dapat mencegah air matanya untuk jatuh. "Maafkan aku, nek. Kami bertengkar hebat dan dari situ aku sadar dia bukan calon suami yang aku cari ." Sekali lagi Bella menutupi kenyataan yang ada demi menjaga perasaan sang nenek. "Sayang. Apa karena ini kamu telpon nenek lagi ? Apa kamu habis menangis?" "Aku ... Iya, nek. " Bella sesenggukan. "Nenek pernah tanya apa aku sudah yakin menikah dengan Aldo, karena firasat yang nenek ceritakan waktu itu. Sekarang aku sadar, nenek benar. Dia tidak menghormatiku, dan aku tidak boleh lemah dalam mengambil sikap. Lebih baik sekarang, kan nek daripada nanti sudah terlanjur menikah?" "Bella, sayang. Hapus cepat air matamu, nak. Nenek tidak akan marah atau kecewa." "Tapi orang-orang di sana sudah terlanjur tahu kalau aku akan menikah, nenek pasti nanti malu." Marita terdiam sesaat. Hal ini justru membuat Bella terbebani. "Nek. Jangan katakan apapun kalau ada yang tanya soal rencana pernikahanku. Aku akan kesana dan menjelaskan sendiri pada mereka, sekalian melihat keadaan Carlitos." Bella menghapus paksa air matanya. "Aku sudah tidak menangis lagi karena bicara sama nenek. Sekarang aku harus kerja lagi. Uang buatku lebih bahagia dibandingkan pria yang jadi beban pikiranku, nek. Doakan aku bertemu pria lain yang lebih baik ya." Tentu saja Bella hanya bersandiwara. Semua ini demi menjaga perasaan Marita. "Iya, sayang. Nenek akan selalu mendoakanmu, gadis cantik. Selalu ingat bahagiamu ya. Jangan khawatirkan nenek dan Carlitos. Nenek doakan kamu akan bertemu pria baik, segera." "Terima kasih doanya, nek. Aku sudah sampai tempat kerja. Jaga kesehatan kalian ya." Bella menutup panggilan seiring jawaban salam perisahan Marita. Pandangannya kini tertuju pada tempat yang baru di datanginya itu seraya bergumam seperti janji tapi juga umpatan kekesalan. "Aku hidup untuk diriku sendiri, nenek, dan Carlitos. Persetan dengan para pria!" ** Di tempat lain. "Ingat, jangan memanggilku pangeran atau tuan muda. Malam ini aku hanya ingin berpesta. Mengerti Neil?" "Baik," sahut pria setengah baya bernama panggilan Neil pada pria tampan berumur 28 tahun di hadapannya. "Orang wardrobe sudah menunggu, jadi masuklah untuk ganti pakaian," ucap Neil, kemudian membungkuk sebagai tanda hormat pelayan pada tuannya. Pria bernama Hector itu kemudian masuk ke dalam ruangan yang telah di buka oleh seorang pria berbadan tegap serta berpenampilan perwira militer. "Selamat malam, Tuan Lorenzo . Saya Sandra, penata kostum pesta anda," perkenalan Sandra. "Ini kostum anda, dan maaf bila asisten saya sedikit alami keterlambatan," ungkapnya seraya mengambil satu set pakaian bergaya Victorian, lengkap dengan topeng sebagai atribut wajib pesta. "Tapi nanti dia akan menemaniku, kan?" "Tentu saja. Asisten saya akan lakukan tugas seperti yang sudah anda minta sebelumnya." "Hmm. Apa pakaiannya sudah kamu siapkan juga? Dia paham perintahmu, kan?" keraguan Hector. "Semua sudah di siapkan. Dia saya briefing jauh-jauh hari, dan bisa di percaya. Dia anak pendiam dan loyal. Ini jaminan dari saya langsung, karena anda berani membayar dua kali lipat." Hector angguk-anggukan kepala dengan senyum smirk. Tidak sampai setengah jam telah selesaikan penampilan, lalu keluar dari ruangan khusus itu menuju ke arena hall utama. *** Tiga jam berlalu, Bella merasakan kebosanan. Dalam balutan pakaian asisten rumah tangga era Victorian dengan topeng hitam hanya menutup bagian sekitar mata dan berdiri berjam-jam di depan sebuah ruangan, sungguh membuat Bella tersiksa. "Akhirnya tugasku sudah selesai," gumamnya dengan helaan napas. Bellapun berniat menuju ke lantai bawah lewat jalur tangga belakang seperti saat naik, tapi pandangannya terusik oleh deretan gelas yang ada di atas meja tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. "Mereka bilang ini minuman mahal, aku jadi ingin mencobanya," lirih Bella sambil melihat kanan dan kiri. Lorong dengan pencahayaan redup sedianya ramai pasangan lalu-lalang itu kini sepi. Tanpa berpikir panjang Bella teguk dua gelas sekaligus. "Aku harap ini cuma mimpi buruk ... Aldo ... Elena ... Kalian cuma mimpi burukku. Aku akan bangun segera munkin." Bella mulai terhuyung kehilangan kendali. Pikiran pendeknya spontan membuatnya menenggakkan lagi minuman itu, baru kemudian berbalik menuju arah ruangan sebelumnya. "Kau. Berhenti!" Bella terkejut sambil beberapa kali cegukan, kemudian menoleh. "Ya?" sahut Bella dengan jari-jari mencengkeram ujung meja guna menahan tubuh agar tidak sampai terjatuh. "Ternyata kamu juga minum cairan sialan itu. Asal kamu tahu ..." "Siapa kau?" sela Bella di tengah kesadaran tak penuh. Bella menyadari kalau pria di hadapannya dalam keadaan tak jauh beda dengannya. Bellapun semakin kuat berpegangan. "Aku?" Dari balik topeng pria itu tersenyum dingin. Belum juga sempat mengucapkan kalimat lagi, tapi pria bertopeng dengan pakaian bergaya bangsawan era Victorian itu tiba-tiba saja menarik tangan dan mengajak Bella masuk ke dalam ruangan yang sudah 2 jam lebih sempat dia jaga. Pria itu kemudian menutup pintu, lalu menyandarkan tubuh Bella di baliknya. Satu tangannya mengunci pintu, lalu satunya mengunci kedua tangan Bella untuk menjalin satu ikatan di atas kepala. Tubuh Bella tak berdaya dalam kungkungan pria dengan postur jauh di atasnya ini. Bella juga bisa rasakan napasnya menderu mengikuti hasrat menjalar dari pemilik wajah hanya satu centi di hadapannya. "Aku ... Man of Catalonia ... Akan dengan senang hati ikuti permainanmu!" Serangan pertama adalah ciuman dalam tanpa jeda, lalu dengan gerakan cekatan Hector melucuti pakaian Bella tanpa perlawanan berarti."Ada undangan penting dari media." "Benarkah? Secepat itu?" Sandra utarakan perasaan senang lewat ujung telpon. "Media apa? TV kah? Kalau misalkan dekat-dekat sama atasan kita, berarti Media TV. Benarkah?" Sandra tak sabar ingin jadi yang pertama tahu dari Bella. "Aku sendiri belum tahu banyak, jadi sepertinya kita sama-sama harus menunggu hingga besok." Bella memilih jalur aman. Kenyataannya dia memang tidak di beri informasi detilnya acara konferensi pers esok hari. "Aku sama-sama tak sabarnya denganmu, jadi ayo kita segera tidur dan berangkat pagi untuk segera tahu. Ngomong-ngomong, apa Pak Victor sudah tahu kegiatan barumu ini?" Sandra jadi teringat atasan mereka. Meskipun semua masih samar, tapi Sandra perlu melibatkan Victor pada pembicaraan soal pekerjaan mereka berdua. "Iya, Pak Victor sudah tahu." Bella melirik Hector yang masih menatap dengan wajah dinginnya. Terkatup bibirnya mencegah banyak kalimat keluar. Bella tidak berani banyak berbicara seperti biasanya, di karena
Sedangkan Bella berjalan mondar-mandir di kamar dengan perasaan tak tenang. Di balik pintu kamar itu memang ada beberapa pria yang di tugaskan untuk menjaganya, tapi pikirannya masih menyangkut pada peristiwa di ruang tamu tadi. "Dimana Hector? Apa dia pergi?" Kedua tangan Bella bersatu membentuk harapan dan doa. "Apa dia selalu alami hal seperti ini?" Tanda tanya pengusik pikirannya kini. Jantung Bella seperti mau copot ketika ketukan di pintu itu bersambut suara panggilan dari Hector. "Bella. Kamu belum tidur, kan?" Bella berjalan cepat menyambut Hector. "Tidur? Kamu kira aku bakal bisa tidur setelah kejadian tadi?!" Protes Bella bernada kesal, terlebih niatnya ingin melihat keadaan Hector dengan memeriksa bagian tangan bila terjadi luka akhirnya terhalang oleh baki yang di bawa Hector. "Apa ini?" tanyanya setengah bingung. "Makanan. Memang kamu kira ini bom?" Hector menjawab dengan senyuman tipis. Memaklumi keadaan Bella yang masih gemetaran ketakutan. Dengan polosnya Bella m
"Kalau begitu kita akhiri saja sampai di sini. Pertemuan ini tidak ada gunanya!" Hector masih memendam amarah. Pikirnya, akan sangat percuma bila pembicaraan yang tak akan membuahkan kesepakatan baik itu tetap di lanjutkan. Dirinya dan Bella jadi pihak yang pada akhirnya terus di rugikan. "Ayo Bella, kita pergi dari ruangan ini!" "Kau tidak bisa seperti itu, Hector. Ada ibuku di sini. Hormati dia!" Victoria mencegah dengan suara keras. Uluran tangan Hector tidak di respon Bella begitu saja. Bella berdiri, tapi kemudian memberi hormat kerajaan pada Camilla, Victor, dan Victoria secara bergantian, baru kemudian mengikuti langkah Hector untuk keluar dari ruangan. Untuk pertama kalinya Bella merasakan menjadi pemberontak seperti halnya sebutan itu tersemat pada Hector. Kehidupan sebagai bangsawan sungguh di luar dugaannya. "Sekarang aku mulai bisa merasakan berada di posisimu," ucapan pertama Bella setelah mereka sampai di kediaman pribadi Hector. "Kota Milan bukan hanya menyajikan h
"Menurutmu dia sudah pantas untuk kamu tunjukkan pada dunia?" Camilla jadi penanya selanjutnya. Wanita setengah baya dengan gaya aristrokat itu menunjukkan ekspresi tidak jauh berbeda dengan putrinya, Victoria. "Aku konsisten dengan ucapanku." Jawaban tenang Hector ini semakin membuat Victoria meradang. "Oh aku sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiranmu Hector!" ucapnya geram. Kedua tangannya terkepal seperti geregetan. "Dari cara dia belajar sebagai bangsawan dalam satu hari ini saja susah buatku muak. Gadis desa memalukan ini sungguh jauh dari harapan!" lanjutnya merendahkan Bella. Bella hanya bisa tertunduk lesu. Setiap kali mendapatkan kekuatan untuk terus melangkah maju, tapi selalu saja seperti ada yang akan siap menjegal, sehingga rasa percaya dirinya kembali runtuh. "Dia bisa melakukannya. Hanya butuh waktu saja untuk membuktikan." Hector memberikan pembelaan. Setiap hinaan untuk Bella adalah ruang, semakin di jatuhkan maka Hector akan menjadikannya pancingan untuk b
Bella menjadikan ucapan Hector sebagai pemikiran selanjutnya. "Jadi apa yang harus aku lakukan?" Pertanyaan polos Bella. "Ikuti kata hatimu. Itu saja yang aku inginkan." Hector mengecup kening Bella, sekaligus melepaskan pelukannya. "Bersiaplah. Aku tunggu di ruang tamu." Bella berikan anggukan. Terlepas sudah ikatan tangan Hector pada tubuhnya. Ada perasaan kehilangan, namun Bella biarkan niatnya menahan Hector mengurai agar tak terbebani. Niatannya masih ingin menjaga jarak dengan Hector sampai dia yakin bisa menerima sepenuh hati. Kini Bella sendiri di area kolam renang. Kilauan bias air dengan pantulan lampu, membuat seolah ada beriak yang terlihat samar. Bella berbalik, lantas kembali ke bagian utama kamar. "Jadi di sini tempat Hector tidur?" gumam Bella menelusuri kembali kamar tidur tersebut. Kali ini lebih intens di bandingkan saat memasukinya tadi. Bella mendekat lemari berukuran tak terlalu besar berbeda dengan yang ada di sana. Bella meyakini itu adalah tempat yang di
Apa aku harus mendekati dan berbicara dengannya? Bella mengalami dilema. Masih ragu akankah menjadi orang yang akan selalu berada di dekat Hector ataukah masih menjaga jarak? Ya Tuhan, apa aku mencintai Hector? Pertanyaan itu akhirnya muncul. Semua ini karena perasaan simpati itu lebih pada dorongan hati. Bella pegang handle pintu kaca itu, menurunkannya dan akhirnya menjadi tanda untuk Hector untuk menoleh. "Kamu sudah di sini?" tanya Hector dengan ekspresi dingin ciri khasnya. "Aku bisa tidur di kamar tamu, dan kamu tetap di kamarmu ini." Hector memperlihatkan ekspresi tak suka. Kedua tangannya berganti masuk ke dalam kantong celana. Hector kemudian ingin lebih santai meskipun bukan ini reaksi yang dia mau dari Bella. "Bukankah seharusnya kita tidur dalam satu kamar?" "Jangan memulai pembicaraan seperti ini." "Kenapa?" "Aku malu." "Malu?" Wajah dingin Hector langsung cair. Ada senyum tertahan akan jawaban polos Bella. Bella duduk di kursi malas dengan kedua tangan bert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments