Home / Romansa / Bukan Sang Pewaris / 1. Bukan Sang Pewaris

Share

Bukan Sang Pewaris
Bukan Sang Pewaris
Author: Luisana Zaffya

1. Bukan Sang Pewaris

last update Last Updated: 2025-02-22 11:39:33

Jacob Thobias meletakkan berkas di tangannya ke meja dengan desah kepuasan, pandanganya terangkat menatap sang keponakan yang berdiri tegak di depan mejanya. "Seperti biasa, pekerjaanmu memuaskan, Leon."

Leon tak memberikan respon apa pun selain ekspresi datarnya. Kecuali tatapan mengejeknya pada sang sepupu yang berdiri di sampingnya dengan tatapan cemburu dan iri dengki untuknya.

Helaan napas diselimuti kekecewaan ketika tatapan Jacob berpindah kepada Bastian Thobias, putra sulung yang lebih mendahulukan emosi ketimbang otaknya. "Bisakah kau jelaskan bagaimana kecerobohan semacam ini terulang untuk kesekian kalinya, Bastian?"

Wajah Bastian memucat bercampur kedongkolan yang luar biasa terpendam di dadanya. "Bastian akan berusaha memperbaikinya, Pa. Maaf."

"Apakah kau pikir semua ini cukup untuk membayar kerugian yang diterima perusahaan?" Suara Jacob menguat dan tangannya menggebrak meja. Mengagetkan sang putra yang semakin pucat.

"Bastian berjanji tidak akan mengulangi kesalahan ini. Berikan Bastian kesempatan sekali lagi."

Sekali lagi Jacob menghela, mengurus hidungnya dengan jengah akan kalimat sang putra yang sama dan terus terulang. Kemudian melempar berkas milik Bastian hingga jatuh ke lantai. Tepat di depan kaki sang putra. "Keluar."

Bastian mengambil berkas di lantai dan berbalik keluar, sedangkan Leon mengangguk singkat untuk berpamit.

"Jangan kau pikir kemenangan sudah berada di pihakmu, Leon. Kau tak akan mendapatkan apapun dengan semya kerja kerasmu ini," desis Bastian yang menunggu  Leon di depan pintu ruangan sang papa.

Leon mendengus tipis. "Aku baru saja mendapatkan apapun yang tidak becus kau dapatkan."

Wajah Bastian semakin menggelap dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh.

Leon menurunkan tatapan mencemoohnya pada kepalan tersebut dan tertawa kecil. Yang membuat sang sepupu tak mampu menahan bendungan emosinya dan mengangkat salah satu kepalannya. Namun sebelum kepalan itu berhasil melayang ke wajah sang sepupu, suara dari arah samping memgalihkan keduanya.

"Hentikan, Bastian." Wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu melangkah mendekati keduanya.

"M-mama?" Bastian menurunkan kepalan tangannya. Menatap penuh tanya kepada sang mama yang malah melarangnya meninju musuh bebuyutan mereka.

Maria Thobias beralih menatap Leon. "Tante perlu bicara denganmu."

Leon tak langsung mengangguk, tetapi membiarkan sang tante mengikuti langkahnya menuju ruangannya yang ada di lorong paling ujung setelah memerintah sang putra menjaga sikap dan kembali ke ruangannya sendiri. Leon masih bisa merasakan kekesalan sang sepupu dari balik punggungnya dan tak peduli. Kecemburuan hanyalah milik pecundang.

"Apa sebenarnya yang kau rencanakan?" Pertanyaan dengan nada menuduh segera ditodongkan Maria begitu Leon duduk di kursinya.

"Kepanikan tidaklah baik, Tante," seringai Leon tersungging angkuh. Jemarinya bergerak memutar-mutar bolpoin dengan gerakan yang stabil. Mengusik ketenangan Nyonya Thobias.

"Maka buktikan kalau kau tidak akan merebut hak Bastian di masa mendatang."

Leon mengangkat salah satu alisnya, mengamati ekspresi Maria Thobias dalam-dalam dan bertanya, "Dengan?"

"Jauhi  Anna dan …" Maria diam sejenak. Maju satu langkah dan membungkukkan punggungnya ketika melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lirih dan tegas. "Nikahi Jelita."

Kedua alis Leon terangkat, menikahi Jelita Ege? Gadis lumpuh, anak tiri dari adik bungsu mamanya. Ya, mamanya, Yoanna Ezardy adalah anak kedua dengan sang kakak Maria Thobias dan sang adik Monica Ege. Sepupu yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Thobias Group. Bahkan satu-satunya anggota keluarga yang dianggap layaknya angin lalu. Dan semakin disempurnakan dengan gadis itu yang duduk di kursi roda.

Tentu saja Leon bisa menebak apa yang direncanakan oleh Maria Thobias demi mencegahnya menginginkan kursi kekuasaan di Thob Group. Menikahi Jelita Ege adalah satu-satunya hal paling sia-sia jika dia ingin merebut hak Bastian, bahkan bisa dibilang sebuah beban. Setidaknya itu yang terlihat. Dengan masih penuh ketenangan dan jawaban yang ringan, Leon mengangguk singkat, "Baiklah."

Maria terkejut akan jawaban sang keponakan yang kilat. Kelicikan melintasi kedua mata wanita itu. "Tante akan bicara dengan Monica dan mengurus pernikahan kalian secepatnya."

"Terima kasih untuk kebaikannya, Tante Maria." Seulas senyum tipis menggaris di ujung bibirnya.

Maria tak mengatakan apa pun dan berbalik pergi. Meninggalkan Leon yang mendesah rendah dan bersandar di punggung kursi. "Jelita Ege? Tidak buruk."

"Atau mungkin akan menjadi pilihan sempurna." Seringai tersungging di ujung bibirnya.

*** 

Leon melirik ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama Anna Thobias di layarnya. Tangannya bergerak membalik ponsel tersebut dan menyingkirkannya, melanjutkan menutup berkas di depannya dan melanjutkan dengan berkas selanjutnya.

Konsentrasinya sepenuhnya terfokus pada laporan proyek yang janggal ketika kerutan di keningnya dijeda oleh suara ketukan pelan. Satu gumaman dan pintu terbuka.

"Tuan, makan malam."

"Letakkan di sana," perintah Leon sambil mendesah pelan. Menatap tumpukan berkas yang maish menggunung di hadapannya. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke set sofa, mengamati sang sekretaris yang membungkuk di hadapannya dengan merendahkan dadanya.

Seringai tersamar menatap belahan dada yang terlalu rendah tepat di hadapannya. Ketika sang sekretaris mengangkat wajah dengan satu jilatan di bibir. "Apa Anda membutuhkan sesuatu yang lain, Tuan?"

Leon menggeleng singkat dan satu gerakan tangannya mengusir sang sekretaris. Ia tak butuh pengalih perhatian lainnya. Sekarang bukan saatnya bersenang-senang meski ia membutuhkan seorang wanita yang tak sekedar memuaskan hasratnya.

Sekretaris itu menegakkan punggungnya dengan gurat kecewa di permukaan wajahnya. "Mama Anda menghubungi. Mengatakan Anda tidak mengangkat panggilannya."

Leon mengangkat cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. "Katakan aku tidak akan pulang ke rumah."

Sekretaris itu mengangguk, mengamati sang tuan yang menyesap kopi hitam tanpa melirik kepadanya lalu berbalik pergi dengan setumpuk kekecewaan.

Leon tak membuang waktunya bahkan hanya untuk menikmati pemandangan di balik dinding kacanya. Kembali menenggelamkan diri dalam tumpukan berkas di mejanya. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 malam dan memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya.

Elias menunggunya di depan teras gedung dengan mobil yang sudag dibuka untuknya. Duduk di jok belakang sambil menyalakan ponselnya. 12 panggilan Anna Thobias dan 5 panggilan dari Yoanna Ezardy. Juga satu pesan dari sang mama.

'Pulang ke rumah. Mama butuh bicara, secepatnya.'

Leon tak membalas pesan tersebut tetapi berencana makan pagi di rumahnya. Mengembalikan ponselnya ke balik saku jasnya dan bersandar di punggung jok. Kedua tangan bersilang dan memejamkan mata. Membiarkan ketenangan menemani perjalanannya.

Hanya butuh lima belas menit perjalanan menuju gedung apartemennya. Ia naik lift dengan mulus, sampai di lantai 19 dengan cepat. Tetapi ketenangannya kembali terusik dengan keberadaan sang sepupu yang menyambutnya.

"Apa benar yang dikatakan mama?" Anna Thobias mencecarnya begitu ia muncul dari dalam lift dan menghampirinya. "Apa kau akan menikahi si cacat?"

Leon hanya mengedikkan bahunya singkat. Tanpa mengurangi kecepatannya menuju pintu unitnya dan membiarkan Anna menyusul masuk.

Anna mengejar langkah Leon dan mengalungkan kedua lengannya di tangan pria itu dengan agresif. Leon menarik lengannya dan membuka pintu kamarnya. Anna mengekor dengan keras kepala.

Leon berdiri di samping tempat tidur. Melepaskan jam tangan dan mengurai dasinya ketika bertanya dengan sikap datarnya. "Ada hal lain yang ingin kau katakan lagi?"

"Aku tak ingin kau memilihnya."

Leon mengangkat salah satu alisnya saat dengusan lolos dari bibirnya. "Mama dan kakakmu tak akan menyukai itu."

"Kalau begitu gunakan aku." Anna membuka kancing pakaiannya dan membiarkan kain itu jatuh di lantai. "Hamili aku dan gunakan anak kita untuk menjadi pewaris Thob Group. Aku tahu papa tidak akan menolaknya."

Tatapan Leon mencermati keseksian tubuh Anna dari atas sampai ke bawah dengan seksama. Tubuh yang sangat indah, batinya. "Bastian tidak akan menyukai ide itu."

Anna menyeringai. "Aku tahu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
ann’sbooks
Makasih Kak Lui sudah update cerita baru
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 3 (Bukan Keluarga Sempurna)

    Suara tawa Julia memenuhi ruang makan. Sementara Leon terkekeh, menahan tawa ketika Aleta tertunduk malu dengan cerita pria itu di meja makan. “Ya, aku tak akan meny alahkanmu, Aleta. Ada banyak orang yang salah paham dengan hubungan kami. Selain kau, memang hanya aku satu-satunya teman dekat yang dimiliki oleh Leon. Terutama karena aku wanita, dan aku menjadi satu-satunya wanita yang tak mungkin jatuh cinta pada manusia tak punya hati seperti Leon.”Leon mendengus tipis. “Tak mungkin, ya?” ejeknya. “Dan aku memiliki hati. Hanya bukan untukmu saja,” koreksinya menambahkan.Julia mengangguk tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak akan memandangmu sebagai seorang teman yang layak dikasihi jika kemungkinan itu ada, Leon. Aku cukup tahu diri akan kesabaranku menghadapi karakter keras kepala sepertimu. Egoku tak sekuat itu untuk menerima pasangan egois, tak berperasaan, dan bodoh sepertimu. Kau sangat beruntung akhirnya menemukan wanita yang tepat untukmu. Dan ka

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 2 (Bukan Istri Pertama)

    Kening Aleta berkerut melihat keseriusan di wajah Leon ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponsel pria itu  Leon duduk tepat di sampingnya, dan tubuh keduanya masih dalam keadaan telanjang. Dan keringat masih membasahi tubuh keduanya, setelah aktiitas panas mereka.Dan sejujurnya sangat mudah bagi Aleta untuk melirik siapa pengirim pesan yang berhasil mendapatkan perhatian Leon. Tapi entah kenapa, ada sedikit kesungkanan yang membuatnya hanya terdiam. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.“Aku harus pergi,” ucap Leon. Menoleh ke samping dan mendaratkan satu kecupan di kening Aleta sembari salah satu tangan meletakkan ponselnya ke nakas dengan posisi terbalik.Aleta hanya memberikan satu anggukan singkat. Dengan pandangan mengikuti Leon yang bergerak turun dari ranjang. Mengenakan celana karet dan langsung menuju pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.‘Juliakah? Seseorang yang menghubungin Leon baru saja?’

  • Bukan Sang Pewaris   Bonus 1 (Bukan Sang Pewaris)

    “Kita pulang?” Leon menatap ke arah Aleta, dengan tatapan penuh arti. Keduanya berdiri di depan teras rumah sakit. Dengan baby Lucien yang berada dalam gendongan Aleta dan lengannya yang melingkar posesif di pinggang sang istri.Aleta memberikan satu anggukan tipis. Dengan seulas senyum dan binar di kedua mata coklatnya. Ya, ia akan pulang. Ke mana pun Leon membawanya karena sekarang, pria itu adalah rumahnya.Nirel dan Monica yang baru saja keluar dari pintu putar rumah sakit sengaja melambatkan langkahnya. Membiarkan Aleta dan Leon berada di depan, sekaligus sengaja menciptakan jarak yang terkesan seadanya. Agar keduanya tak merasa terganggu oleh kebe radaannya.Kedua pasangan paruh baya tersebut saling pandang. Saling melemparkan senyum dalam pandangan tersebut. “Sepertinya kali ini aku percaya dengan pilihanmu. Yang terbaik untuk Aleta,” gumam Monica lirih. Memastikan Aleta dan Leon tak mendengarnya. “Apakah sejak awal kau tahu mereka ak

  • Bukan Sang Pewaris   80. Ternyata Saling Merindukan (Ending)

    ‘Cukup untuk kita bertiga.’Bagaimana mungkin Leon tak terpengaruh dengan jawaban yang diberikan oleh Aleta tersebut. Mempertanyakan kembali seberapa serius keinginan Aleta akan dirinya dan pernikahan mereka, hanya akan memperjelas bahwa dirinyalah yang begitu tolol telah melepaskan sang istri demi perusahaan.‘Bagaimana mungkin kau melakukan semua ini demi kebahagiaan semua orang. Jika kau sendiri tak bisa membahagiakan dirimu sendiri, Leon.’Kata-kata Julia pun kembali terngiang di benaknya.‘Jika kau tak becus mempertahankan kebahagiaanmu sendiri, aku tak akan terkejut jika apa yang kau lakukan saat ini untuk bertahan. Semua itu pada akhirnya tak bisa kau pertahankan. Karena kau sendirilah yang menghancurkan dirimu sendiri, Leon. Bukan kakek Aleta maupun Bastian. Juga bukan semua orang yang saat ini sedang menyusun rencana untuk menggulingkanmu.’“Jika keinginanmu terhadapku dan putra kita tidak cukup untukmu, akulah yang aka

  • Bukan Sang Pewaris   79. Cukup Untuk Kita Bertiga

    “Aku tidak menandatanganinya tanpa keinginanku, Aleta. Apalagi yang kau butuhkan dan tunggu untuk menerima gugatan ini? Semua yang kau inginkan ada di dalam sini.”Aleta mengerjap dengan jawaban dingin yang diberikan Leon. Menelan kekecewaan yang sengaja di berikan Leon padanya. Tentu saja ia bisa menangkap kesengajaan pria itu untuk membuatnya kecewa. Dengan cepat, Aleta memasang ekspresi datarnya seapik mungkin. Kedua matanya menatap lurus tatapan intens Leon yang berusaha melucuti perasaannya. “Kakekku akan tetap mengusirmu dari perusahaan meski kita bercerai.”Leon membeku, keterkejutan menampar wajah pria itu dan butuh beberapa detik lebih lama baginya untuk mencerna keterkejutan dan menguasai raut wajahnya. Demi menyimpan kemarahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dengan baik.Meski ini adalah informasi penting yang sudah ia perkirakan dan kartu lain untuk membuat Phyllian Mamora tak berkutik berada di tangannya. Ia hanya tak menyangka Ph

  • Bukan Sang Pewaris   78. Keputusan Leon

    Phyllian Mamora dan Bastian tentu saja tak menyukai keberadaan Leon di ruang perawatan anak tersebut. Dan sama sekali tak menutupi kebencian keduanya di depan Leon. Aleta yang merasa terjebak dengan kecanggungan tersebut pun tak bisa melakukan apa pun. Terutama dengan sang kakek yang jelas-jelas ingin menyeret Leon keluar dari ruangan tersebut tapi tak mungkin membuat keributan di ruang perawatan baby Lucien yang kini sudah berbaring di ranjang pasien.“Kakek ingin bicara sebentar,” ucap Phyllian. Melirik ke arah Leon yang masih duduk di kursi. Tak melepaskan pandangan dari baby Lucien sedikit pun. Aleta mengangguk pelan, mengikuti sang kakek menuju pintu.“Awasi dia untukku,” pintah Phyllian pada Bastian sebelum mencapai pintu.Aleta tentu saja merasa tak nyaman dengan pintah tersebut. “K-kakek …”“Kakek tidak mempercayainya, Aleta. Siapa yang tahu kalau dia akan membawa lari cicitku.” Jawaban Phyllian yang tidak lirih se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status