Rossa POV Hari ini, aku sedikit menghindari Tristan lagi. Bukan karena urusan kecelakaan, tapi karena tadi malam aku mendapati bahwa kami tidur bersama. Okey, ini sesuatu yang cukup membuatku janggal. Mana aku memeluknya erat, aku bahkan bisa bertaruh jika itu adalah tidur ternikmatku sepanjang masa. Rasanya sungguh damai. Jika biasa aku tidur dengan mimpi buruk, tadi malam aku tidur dan Tristan ada di dalamnya juga. Dia menjadi sosok yang bersinar, memberikan sinarnya padaku. Memberikan kebahagiaan yang tidak pernah aku dapatkan di dalam mimpi. Tapi bukan karena itu makanya aku menghindar. Tapi karena aku ngiler di lengannya. Saking nyenyaknya mungkin? Tapi ya Tuhan, itu meninggalkan jejak di kemejanya yang putih. Dasar Rossa, kau benar-benar membuat dirimu malu sendiri. Harusnya kau harus jaga image. Rasanya bosan di luar, juga jenuh dengan semua urusan duniawi. Sudah siang, aku memutuskan untuk kembali dengan sekantong jajanan. Yang pasti, Tristan harusnya sudah tidak di apar
KENING Tristan sejak sejam lalu berkerut, wajahnya datar, penampilannya kusut. Ruangan kerjanya dipenuhi dengan tumpukan berkas. Dia sudah memutuskan untuk mencari tahu siapa dalang dibalik kejadian yang menimpa keluarga Rossa. Tidak berbeda jauh dari lelaki itu, Rossa yang hari ini juga memutuskan ikut ke kantor sedang sibuk dengan semua berkas di atas meja. Kedatangannya memang dirahasiakan untuk mencegah adanya gosip, tapi tetap saja ada orang yang tidak suka dengan keberadaan Rossa. Kabar bahwa dia sekarang datang ke kantor sudah tersebar ke telinga semua pegawai. Jake? Sebagai seorang sekretaris pribadi, dia juga ikut. Bahkan sejak semalam dia sudah bekerja rodi karena perintah Tristan. Dalam hati Jake ingin mengutuk Tristan yang tidak kenal waktu jika memberi perintah. Kadang jam 2 subuhpun dia harus standby. Gila memang atasannya itu. “Bos…” Jake menarik selembar berkas dari arsip lama dan segera berkumpul ke ruang tengah. “Apa, kau menemukan sesuatu?” “Ini…” Lemba
Tristan diam. Tubuhnya bergetar, dia bersandar di balik pintu dengan keringat yang menetes hingga membasahi baju yang dia kenakan. Malam ini Tristan tidak pulang ke apartemennya, tapi ke rumah mereka yang kosong. Terakhir petugas taman tadi sore menyapanya saat hendak pulang. Nafas Tristan memburu, dia memukul kepalanya beberapa kali sambil menatap figur foto di tangannya. Bibirnya bergetar hebat. Air matanya mulai turun. “Kenapa.” Suara Tristan terdengar. Dia memukul kepalanya lagi dan lagi, darah dari hidungnya menetes menodai kemeja putih yang tidak di ganti sama-sekali. “KENAPA HARUS BEGINI. KENAPA?” teriak Tristan, memukul tembok sampai tangannya kebas. Tubuh Tristan meringkuk ke lantai. Kepalanya dipenuhi dengan teka-teki dan itu membuatnya sakit. Berusaha bangkit, Tristan menuju ke arah foto keluarga. Menatap wajah Yuan yang tersenyum gembira di sana sambil melihat ke arahnya. Itu adalah foto pertama yang mereka punya. “Yuan, katakan padaku bahwa kau tidak melakukan ini.
Keadaan Tristan baik-baik saja, dia bisa diselamatkan. Rossa masih duduk, mengelus tangan dan menatap wajah Tristan yang membuat hatinya terluka. Dia tidak tahu apa yang membuat lelaki itu tiba-tiba berubah, yang pasti, ada sesuatu yang melukai hatinya. Hendrix dan Ida memilih untuk kembali ke apartemen untuk membawa beberapa baju Tristan karena lelaki itu harus dirawat inap. Pintu terbuka, Rossa langsung berdiri begitu melihat siapa yang sosok itu. “Boleh bicara sebentar, nak?” Tatapan Rossa tertuju ke arah langit-langit malam yang kali ini dipenuhi dengan taburan bintang. Dia sudah memiliki firasat buruk sejak mengetahui bahwa semua kejadian yang menimpa keluarganya dulu memang ada hubungannya dengan keluarga Robinson. Hal itu yang sangat menyakiti hatinya saat ini. “Minumlah, maaf membuatmu menunggu.” “Ahhh…terima kasih, om.” Mereka duduk di coffee shop rumah sakit bagian outdoor yang masih buka. Tapi karena sudah subuh, hanya mereka berdua saja yang ada di sana. Rossa meneg
Rasanya masih sedikit janggal, sejak ditemui oleh dua orang lelaki itu, sikap Mahendra mendadak berubah, membuat Rossa sadar bahwa memang ada yang disembunyikan. Semakin mengamati dan memetakan semuanya, semakin rumit pula. Tidak sesederhana itu. “Jadi, kau percaya jika yang menabrak itu adalah Yuan? Kau tidak salah?” Zaman yang tengah mengetik langsung menghentikan aktivitasnya, dia dikejutkan dengan kedatangan Rossa dan lelaki paling sombong yang kini duduk di sofanya tadi pagi. Jika bukan karena Rossa, Zaman tidak akan pernah mau menerima si sombong sekaligus saingannya itu. Tapi. Dengan ekspresi ragu Tristan, Zaman juga menaruh argumen kuat bahwa dua orang lelaki yang disebutkan Rossa ada sangkut pautnya dengan kasus ini, terlepas dari mereka sudah menjadi targetnya sejak lama. Mendengar informasi dari Ros, Zaman sempat terkejut. Dari informasi yang dia dapatkan, Burhan dan Parlin tidak berada di Indonesia, namun tiba-tiba saja nongol. Kasus yang rumit dan menantang. “Tapi b
Zaman diam, menatap kendaraan lalu lintas di depan lampu merah. Tangannya mengepal keras, mengamati bagaimana orang-orang mementingkan urusan masing-masing. Matanya memerah, wajar, Zaman sedang menangis sejak 30 menit mengendarai mobil. Sisi yang tidak pernah dia tunjukkan pada siapapun. Klakson mobil dari belakang membuat kesadaran Zaman kembali, dia mengaktifkan sen untuk meminta maaf dan segera memijak pedal mobil. Perasaan Zaman sedang campur aduk. Tepatnya 30 menit yang lalu, dia dikabari oleh nomor tidak dikenal. Awalnya dia mengabaikan, namun ternyata dari pihak rumah sakit. Pikiran Zaman langsung kosong saat mendengar kabar dari sang dokter bahwa kakaknya—Sabrina—meninggal dunia. Dia merasa aneh, linglung, dan tidak sadar selama beberapa menit. Bahkan usai Zaman tiba di rumah sakit, dia masih tidak percaya bahwa, sosok yang berada di balik kain putih itu adalah saudaranya. Air matanya menetes lagi. Zaman berjalan mendekat, setiap langkah membuat jantungnya berdebar. Kini d
Parlin menghela nafas, apalagi dengan kelakuan Burhan yang masih tidak kenal efek jera. Dia menatap Mahendra yang dikurung di dalam ruangan kosong, makanan hanya diberikan sekali sehari. Jujur, dia tidak menginginkan hal ini terjadi lagi. Tapi apa ada, dia juga tidak ingin masuk penjara. “Bagaimana jika aku melenyapkan wanita itu saja, paman? Jika dia beres, maka tidak akan ada pihak keluarga korban. Seluruh keluarganya juga akan Sasa hancurkan, itu adalah jalan terbaik. Membunuh semua yang berpotensi membahayakan.” Ide yang sangat buruk. Parlin tidak tahu bagaimana dia membesarkan putrinya. Hingga otak Sasa lebih buruk daripada dia. Bahkan pernikahannya dulu dengan Yuan adalah sebuah keterpaksaan dan juga bisnis. Seharusnya Burhan dulu berdiri di pihak James, dia tidak harus buta harta. Sebab. Harta itu sifatnya sementara. Bahkan tidak ada keluarganya yang ingin tinggal bersamanya. Miris sekali. Burhan merasa arah hidupnya semakin hari semakin tidak ada arah dan juga tujuan. “He
Situasi tidak semakin membaik. Keluarpun dari zona itu Zaman tidak bisa. Rossa dan Hendrix yang tengah sibuk dengan layar di depan mereka mulai membatin. Ada yang salah, beberapa menit lalu koneksi mereka tiba-tiba diputus. Sepertinya ada sesuatu yang mereka lupakan. Rossa menatap Jake yang berdiri tidak jauh dari mereka, lalu menatap sekitarnya. Perasaannya saja atau memang ada seseorang yang mengamati mereka dari tadi? “Ros, apa kau merasakan yang aku rasakan?” “Intimidasi?” Ros mengerutkan kening menatap kembarannya itu. “Benar. Aku merasa ada seseorang yang mengawasi kita dari tadi. Tidak mungkin itu Jake bukan?” bisiknya sangat pelan di akhir kalimat. Jika memang Jake adalah seorang penghianat, maka Tristan sudah terlalu bodoh menjadikan lelaki itu sebagai tangan kanan. Brugh Tubuh Jake terlempar. Rossa dan Hendrix terlompat dari duduk mereka karena terkejut. Kedua menatap Jake dengan seorang lelaki bertopeng. “Sial, siapa dia?” “Sepertinya kalian berdua menyadari kebera