Aku berlari ke kamar dan meluapkan segala rasa yang menghimpit di dada ini, dengan menangis sekencang kencangnya. Aku tak peduli meskipun suara tangisku ini terdengar oleh tetangga. Ku kesampingkan rasa maluku.
Tak terasa, adzan Subuh telah terdengar berkumandang. Rupanya, semalam aku menangis sampai tertidur. Seusai menunaikan sholat Subuh, ku ambil hp yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurku. Pada saat bersamaan ada telepon masuk dari Santi. Segera kuangkat. “Assalamualaikum.” Ucapku. “Waalaikumsalam, Ren.” Jawabnya di seberang sana. “Ada apa San, jam segini telepon?” Tanyaku. Ya, ini baru sekitar jam 5 pagi. Tak biasanya dia menelepon sepagi ini. “Cuma mau mastiin, kalau kamu baik baik saja, Ren. Habisnya, pesanku nggak ada yang kamu balas .” Terang Santi. “Hari ini bisa ketemuan nggak?” Tanya Santi. “Aku nggak boleh keluar rumah lagi San. Sampai hari pernikahan katanya.” Jelasku. “Kita komunikasi lewat hp aja ya.” Tambahku. “Siap, Ren!” Jawabnya. “Kamu tenang aja, Ren. Aku akan bantu kamu sebisaku.” Imbuhnya. Sudah seminggu ini, mbah kakung mendiamkanku dan sudah seminggu ini pula aku berhenti bekerja. Terus terang saja, aku malah senang, mbah kung mendiamkanku. Tak perlu aku mendengar ocehan amarahnya. Maaf ya, mbah! Kalau Rena kurang ajar. Selama itu pula, ibu terus terusan marah padaku. Setiap hari mengomeliku. Jengah juga sih mendengarnya. Ibu lebih mendominasi dalam segala hal dibanding bapak. Selama ini, sepengetahuanku, ibu sangat sering membantah pada bapak, untuk membela mbah kakung. Tak peduli mbah kakung salah. Bapak lebih senang mengalah, dibanding harus bertengkar. Di keluarga ini bapak lebih banyak diam. Bukankah harusnya seorang istri itu taat kepada suami? Bukankah berdosa membantah suami, selama suami tidak melanggar perintah Allah? Ibu tak bisa kujadikan contoh teladan istri yang baik. Pagi ini, seusai mandi, aku keluar kamar. Berniat mengambil sarapan. Tapi, tiba di depan kamar kedua orang tuaku, kudengar suara orang muntah muntah. “tok, tok, tok.” Aku mengetuk pintu kamar kedua orang tuaku. Tak lama kemudian pintu terbuka. Nampak bapak yang membukanya. “Ada apa, nduk?” Tanya bapak. “Ibu sakit pak?” Tanyaku balik. “Iya, asam lambungnya sepertinya kambuh, nduk.” Jawab bapak. “Sudah minum obat?” Tanyaku. “Belum, ibumu tidak mau minum obatnya.” Jawab bapak. Setelah meminta ijin bapak, aku masuk ke kamar mereka. Berjalan mendekat ke ranjang yang sekarang sedang ditiduri oleh ibu. “Bu, minum obat dulu ya?” Tawarku. “Nggak usah sok peduli kamu, Ren!” Ketus ibu. “Kenapa ibu ngomong seperti itu, bu?” Ucapku. Jujur, aku merasakan sedih mendengarnya. “Kenapa? Kenapa kamu bilang?” Bentak ibu padaku. “Apa selama ini ibu tidak memperlakukanmu dengan baik, Ren?” Tanya ibu padaku, lebih tepatnya pernyataan ibu pada ku. “Apa selama ini ibu pernah meminta sesuatu dari Ren?” Tanya ibu padaku lagi. Aku menjawabnya hanya dengan gelengan kepala. “Kali ini adalah pertama kalinya ibu meminta sesuatu padamu khan!” Ujar ibu. Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya, tak mengeluarkan suara sedikit pun. “Kenapa harus permintaan seperti ini bu?” Tanyaku. “Kenapa nggak permintaan yang lain saja? Rena pasti akan lakukan, bu.” Ucapku. “Ibu nggak akan pernah minta apapun, Ren! Permintaan ibu cuma satu. Kamu menikah dengan cucu kakek Hutomo. Hanya itu. Atau kamu mau itu menjadi permintaan terakhir ibu di dunia?” Ucap ibu seolah mengancamku. “Ibu jangan ngomong seperti itu! Rena sayang ibu.” Ucapku. “Kalau kamu sayang ibu, pasti kamu tidak akan pernah membantah ibu!” Ujar ibu dengan keras. “Rena bukannya mau membantah ibu. Rena cuman nggak mau dijodohin, bu!” Ucapku. “Bukankah ibu dulu juga nggak mau dijodohin mbah kakung.” Ungkapku. “Iya! Ibu dulu menolak dijodohkan oleh mbah kakungmu. Dan itu adalah sebuah kesalahan yang ibu pernah lakukan. Jadi ibu mau kamu tidak mengulang lagi kesalahan yang sama seperti ibu!” Terang ibu. “Kenapa ibu bicara seperti itu. Kenapa ibu bisa menganggap keputusan ibu dulu adalah kesalahan? Bukankah ibu dan bapak sekarang ini hidup dengan bahagia?” Ucapku tak terima. Jadi ibu menyesali pernikahannya dengan bapak? Apa itu berarti ibu juga menyesali keberadaan ku? “Hidup bahagia dengan mengecewakan mbah kakungmu!” Ucap ibu dengan keras. Untunglah bapak sudah keluar sedari tadi. Jadi, ia tak harus mendengar pembicaraan kami. Aku takut bapak akan sakit hatinya. Aku sama sekali tidak menyangka, ibu akan bicara seperti itu. Aku pikir, kedua orang tuaku benar benar hidup bahagia selama ini. Tapi sepertinya.... aku salah. Ini hari kedua ibu sakit. Tapi, ia belum juga mau minum obatnya. Kondisi kesehatan ibu semakin memburuk. Membuatku meningkatkan kewaspadaanku. Pasti ibu dan mbah kakung sedang merencanakan sesuatu. Dan mereka memakai situasi ini untuk menekanku, agar menerima keputusan mbah kakung. *** Aku sadar, meskipun aku menolak dan terus membuat masalah. Mbah kakung tetap pada pendiriannya. Begitu pula ibu, yang merupakan sekutu abadi mbah kakung. Ibu pasti rela menyiksa dirinya sendiri demi mbah kakung. Demi perjodohan tak waras ini. Aku tak mau terjadi sesuatu dengan ibu, karena keputusan bodohnya untuk tak minum obatnya. Aku tak mau sampai menyesal. Ibu terlalu keras kepala untuk mundur dari usahanya memaksaku menerima perjodohan ini. Apalagi ada dukungan penuh dari mbah kakung. Akhirnya aku menyatakan kesediaanku kepada ibu. Meskipun hanya kesediaan di mulutku saja. Otak dan hatiku terus mencari cara lolos dari perjodohan ini. Selain meminta tolong ketiga temanku untuk terus berusaha mencari bukti, di setiap sepertiga malam, ku selalu memohon kepada Allah untuk menolongku. Aku tahu, mungkin aku bukanlah termasuk hamba yang baik. Tapi setidaknya, aku selalu berusaha untuk menjadi baik. Mungkin Allah sedikit bersedia untuk memalingkan pandang ke diriku dan mengabulkan doaku. Bukannya aku bermaksud membohongi keluargaku. Aku hanya muak, disuguhkan drama drama dan kebodohan. Biarlah kata kata kesediaanku menjadi obat penenang sampai bukti bukti didapat para sahabatku. Setelah aku bilang akan menuruti kemauan mbah kakung, ibu langsung cepat cepat minum obat yang sejak kemarin sudah tersedia di atas nakas. Dengan terburu buru. Aku senang melihatnya tapi tentu aku juga merasa kesal dan jengkel sampai ke ubun ubun menyaksikan tingkah wanita yang telah melahirkanku itu. Setelah memastikan ibu sudah meminum obatnya, aku segera berjalan keluar kamar kedua orang tuaku itu. Hendak menuju ke kamarku. Kudengar suara ibu dan mbah kakungku bersorak, karena aku belum benar benar pergi dari depan kamar kedua orang tuaku itu. Apakah ibu dan mbah kakungku itu benar benar tak peduli masa depanku? Aku berjalan menuju kamar dengan langkah tanpa semangat. “Mengapa aku dilahirkan di keluarga seperti ini?” Batinku. “Atau apakah aku kurang bersyukur?” Batinku lagi. “Apakah aku harus menerima saja semua ini dengan ikhlas?” Gumamku. “Tidak! Tidak! Aku harus tetap berusaha sampai detik detik terakhir. Karena rasa putus asa adalah akhir dari segala usaha.” Batinku.“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud