“Buruan Ren!” Suruh ibu. Ia sedang menunggu di depan pintu kamarku.
“Bentar bu.” Jawabku. Aku sengaja memperlambat aktivitas yang kulakukan. “Nanti kita terlambat. Kasihan kan. Kalau tante Vera dan Ferdian nunggu kelamaan!” Ucap ibu. "Tante Vera siapa sih Bu?" Tanyaku pura pura lupa. "Tante Vera itu mamanya Ferdian. Masa kamu lupa sih Ren?" Jawab ibu disabar sabarkan. Hari ini, ibu bilang akan mengajakku ke butik untuk fitting baju pengantin. “Gerak cepat sekali mereka! Baru kemarin aku menyatakan bersedia, sekarang langsung fitting baju pengantin.” Batinku. Wajah ibu terlihat sangat segar, cerah dan ceria. Padahal kemarin, wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Membuatku, terus terang ketakutan. Aku takut terjadi sesuatu yang enggak enggak pada ibuku itu. Tapi, lihatlah dia sekarang! Senyum merekahnya terus terusan terpatri di bibirnya. Wajahnya terlihat berbinar. Apakah yang kemarin itu akting? “Ren, cepetan! Ngapain saja sih lama amat? Bukannya kamu itu nggak pernah make up –an?” Tanya ibu tak sabaran. Sejak tadi kulihat ibu mondar mandir terus di depan pintu kamarku. Seperti setrikaan saja. “Sabar bu!” Ucapku sangaaat santai. Kudengar ibu mengambil nafas yang panjang dan dihembuskan dengan kasar. Pasti ia sebenarnya sedang jengkel dengan tingkahku ini. Tapi, untuk saat ini, sepertinya dia tak mungkin marah marah padaku. Jadi kumanfaatkan sajalah baiknya. “Buruan Ren! Kasihan itu sopir kakek Hutomo sudah nungguin kita dari setengah jam yang lalu.” Ucap ibuku. “Baru juga setengah jam.” Ucapku. “Astaghfirullah Rena!” ucap ibu setengah berteriak. “Ya udah. Ibu aja sana yang berangkat. Rena nggak usah ikut!” Balasku. “Iya, iya. Maaf ya, ibu tungguin kok Ren. Jangan ngambek ya!” Ucap ibu melunak. *** Saat ini, aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan berlantai 3 yang bergaya minimalis tapi terlihat mewah dan elegan. Butik baju pengantin terlengkap di kota ini. Ibu yang tadi berjalan lebih dulu meninggalkanku di belakang, kini berbalik dan berjalan lagi menghampiriku yang masih termangu di tempat semula. “Rena! Ayo! Kok malah bengong sih?” Ucap ibu. Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menggandeng lenganku dan menarikku mengikutinya masuk ke butik megah itu. “Selamat datang ibu! Ada yang bisa kami bantu?” Sapa salah seorang pegawai butik dengan ramah. “Kami sudah janjian di sini, mbak. Dengan ibu Vera Hutomo. Apa beliau sudah datang ya?” Tanya ibu. “Ibu Vera dan putranya sudah datang, bu. Mari saya antarkan!” Sahut pegawai butik tersebut. Aku dan ibu pun mengikuti pegawai yang hendak mengantarkan kami. Kami di antarkan ke ruangan tersendiri. Terpisah dari showroom butik yang kami datangi tadi. Kata pegawai tersebut, keluarga Hutomo adalah pelanggan spesial di butik ini. Jadi pemilik butik secara khusus melayaninya secara langsung. “Dengar, Ren! Keluarga Hutomo itu bukan keluarga yang sembarangan.” Bisik ibu kepadaku. Sama sekali tak kuhiraukan ucapan ibu. Aku hanya diam saja. Sebelum sampai di ruangan yang kami tuju, “Rena kebelet pipis nih, bu!” ucapku. “Jangan bikin ulah ya, Ren!” Ibu sepertinya curiga aku akan kabur. “Beneran, bu. Rena nggak bohong. Swear!” jawabku. “Mbak, kamar mandinya di mana, ya?” Tanyaku kepada pegawai yang mengantarkan kami. Ia pun kemudian memberitahukanku dimana letak kamar mandinya. Saat aku hendak berjalan ke kamar mandi, ibu mencekal lenganku. “Apa lagi sih, bu? Rena kebelet nih!” Protesku. “Begitu sudah selesai langsung susul ibu, mengerti!” Ucap ibu. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. *** Ada 2 kamar mandi yang berdampingan. Aku langsung memasuki kamar mandi yang kosong. Menuntaskan hajatku. Lega sudah! Saat aku hendak membuka pintu, terdengar suara seseorang dari kamar sebelah, tampaknya ia sedang bertelepon dengan seseorang. Aku sebenanya tak menghiraukan, tapi begitu aku mendengar nama kakekku di sebut, aku jadi penasaran untuk menguping pembicaraannya. “Aku tuh, sebenarnya nggak setuju Ferdian di jodohkan dengan cucu Sastro Dimejo itu. Cucunya itu ya, sama sekali nggak punya sopan santun. Minus adabnya!” Ucap orang tersebut. Aku menahan tawa mendengarnya. Sepertinya, kelakuanku waktu itu memang kelewatan. Aku dengar baik baik orang itu berbicara. Sepertinya, suaranya tak asing di telingaku. Aku mengenal suaranya. Ya! Sepertinya itu suara tante Vera?. “Jauhlah sopan santunnya kalau sama Vina, mbak.” Ucap orang itu lagi. Apa orang tua Ferdian tahu hubungannya dengan Vina? Ini Vina yang sama dengan yang kukenal atau beda orang ya? “Ya, mau bagaimana lagi mbak. Mertuaku itu maksa Ferdian buat nerima perjodohan itu. Dia bahkan ngancam kami mbak. Kalau Ferdian menolak, dia nggak akan memberikan kami sepeser pun harta warisannya.” Ucapnya lagi. “Ternyata bukan hanya aku yang terpaksa menerima perjodohan ini, gimana kalau aku bikin kesepakatan aja dengan Ferdian, ya?” Batinku. “Bisa jadi kere mendadak kami. Nggak mau banget aku! Apalagi kalau nanti pak Hutomo malah memberikan semua warisan ke anak pertamanya.!” Ujarnya lagi. Sepertinya ada persaingan tak wajar di keluarga kakek Hutomo. Keluarga seperti apa sebenarnya mereka. “Awalnya, Ferdian nggak mau, tapi ya terpaksa terimalah, mbak. Mana mau Ferdian hidup susah.” Ucap orang itu lagi. “Ehh, lha waktu itu kami ke rumah mereka, Ferdian kan ketemu sama anak gadis itu. Pulangnya malah kayak orang kasmaran. Sampai rumah minta dipercepat aja pernikahannya. Aku juga heran, pakai pelet mungkin ya mereka!” Ucap orang itu. Si alan, bisa bisanya dia nuduh aku pake pelet. Dia pikir aku bukan orang berimankah? Ya, meskipun imanku naik turun. Bukan naik turun sih, lebih tepatnya kadang ada kadang hilang. “Iya, sih mbak. Anaknya cantik. Banget malahan!” Ucap orang tersebut. Sepertinya ia tengah menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya di telepon. “Nggak mempan pujian tante!” Ucapku dalam hati. “Ya, kalau aku sih, nggak peduli mau sama cucu mbah Sastro atau yang lainnya. Yang penting sih, warisan cair!” Ucap orang tersebut. Dasar mata duitan! “Tapi, aku takutnya, cucu mbah Sastro itu nggak bisa aku setir. Anaknya kelihatan suka membangkang, mbak.” Ucap tante Vera lagi. “Apalagi kalau Ferdian sampai bucin sama anak itu. Bisa merepotkanku mbak!” Ucapnya lagi. “Udah dulu ya mbak. Takutnya mereka sudah datang.” Ucap tante Vera mengakhiri panggilan telepon tersebut. Setelah terdengar suara pintu kamar mandi sebelah terbuka, kutunggu beberapa saat, baru aku keluar kamar mandi ini. Kemudian kususul ibu. *** “Assalamualaikum.” Ucapku sambil memasuki ruangan. “Waalaikumsalam.” Sahut mereka yang ada di ruangan tersebut secara bersamaan termasuk tante Vera. “Ayo masuk, nduk! Duduk sini!” Ucap tante Vera dibuat seramah mungkin. Aku langsung menghampiri mereka, dan duduk di kursi kosong sebelah Ferdian. Aku tak menyapanya. Meskipun sejak kemunculanku tadi, ia terus memandangku. Risih sekali aku dengan tingkahnya. “Ini calon menantumu, Ver?” Tanya sang pemilik butik ke tante Vera. “Iya. Cantik kan!” Jawab tante Vera. Ferdian terlihat senyum senyum tak jelas. Menyebalkan. Setelah selesai basa basinya, pemilik butik yang memperkenalkan diri bernama Citra itu, meminta kami mencoba pakaian pakaian yang telah disiapkannya. Aku melakukannya dengan ogah ogahan. Setelah selesai ganti baju, aku segera keluar dari ruang ganti. Berbagai pujian dilontarkan orang orang yang berada di ruangan ini. Tapi aku hanya diam tak menanggapinya. Anggap saja hari ini aku sedang menjadi manekin hidup. *** Hari berganti hari, tanggal pernikahan yang telah ditentukan semakin dekat. Terhitung dari hari ini, tinggal 2 hari lagi. Ketiga temanku tak juga mengabarkan keberhasilan mendapatkan bukti untuk menyelamatkanku. Aku semakin cemas. Apakah langkahku menyatakan kesediaanku dulu adalah salah besar. Entahlah? Tapi yang jelas aku merasa menyesal. *** Saat eyang uti tahu aku menepis kasar tangan ibu yang hendak menenangkanku, ia langsung ganti menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Kurasakan kehangatan dari genggaman beliau. Kurasakan dukungan darinya. Beda, beda sekali rasanya, dengan genggaman ibu tadi. Eyang uti terus menggenggam tanganku dengan satu tangannya. Sementara tangan yang satunya beliau gunakan untuk mengusap usap punggungku. Tidak mampu menghilangkan kecemasan dan keteganganku sepenuhnya. Tapi setidaknya, sekarang aku merasa tak sendiri. Terlihat di sampingku, ibu sepertinya tersinggung dengan tindakanku yang menepis tangannya tadi. Wajahnya yang semula terlihat sangat bahagia dan berseri seri, sekarang terlihat berkurang. Semua persiapan telah selesai. Lengkap sudah! Bapak kulihat telah menjabat erat tangan lelaki yang tak kuinginkan itu. Kemudian dengan nyaring kudengar, “Saya nikahkan dan kawinkan.......” “Gubraakk!” suara benturan yang terdengar sangat keras. Ucapan bapak terhenti. Kala terdengar suara mengagetkan dari depan rumah. Bukan hanya bapak yang kaget. Aku juga kaget. Bahkan semua yang hadir di tempat ini kaget. Serempak kami mengarahkan pandang ke sumber suara yang mengagetkan tadi. Ternyata Dewi, sahabatku itu menabrak tandan pisang dan rangkaian janur yang terpasang di jalan masuk di ujung tenda. Beberapa orang di dekatnya kemudian membantunya berdiri. Dewi kemudian berjalan menghampiriku. Dengan langkah yang pincang dia mendekatiku. “Apa apaan ini Dewi!” Teriak mbah kakung ke Dewi. Rupanya ia sudah berada di sisi tak jauh dariku. “Maaf mbah, nggak sengaja. Bener mbah, saya nggak sengaja.” Ucap Dewi sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Orang orang yang melihat Dewi dan tingkahnya itu, mencoba sekuat tenaga menahan tawa. “Tadi kan saya buru buru mbah. Takut telat. Tegang sekali saya pas naik motor. Ee, sampai depan situ, malah jadi grogi. Mau ngerem malah tak gas mbah. Ya nabrak! Maaf ya mbah! Jangan marah ya mbah!” Jelas Dewi. “Untung aku lagi senang!” ucap mbah kakung. “Sudah duduk sana! Benerin rambutmu itu! Kayak ondel ondel!” Ucap mbah kakung. Semua orang yang hadir tertawa. Bahkan aku pun jadi tersenyum melihat tingkah Dewi. “Silahkan dilanjutkan lagi pak penghulu!” Pinta mbah kakung. Semua orang kembali diam dan fokus ke pelaksanaan akad nikah. Saat bapak akan memulai, terdengar Dewi berteriak. “Yes, akhirnya!” Teriak Dewi dengan lantang. Semua orang menoleh ke arahnya. Dewi kemudian berlari menghampiri pak dhe ku, Ramdan, kakak kandung tertua bapakku, yang duduk di samping eyang uti. Kemudian ia menyodorkan hpnya. Sepertinya ia sedang memperlihatkan video kepada pak dhe. Mbah kakung terlihat marah, lagi lagi Dewi membuat acara tertunda. Ia kemudian berdiri dan berteriak, “Dewi, pergi kamu dari sini. Bikin rusuh acara orang saja!” Usir mbah kakung pada Dewi. Tapi di satu sisi, terlihat raut wajah pak dhe Ramdan berubah. Ia tampak marah. “Cukup!” Ucap pak dhe Ramdan dengan menaikkan suaranya. “Rahman! Kamu itu laki laki apa bukan! Kenapa kamu tidak melakukan sesuatupun. Bagaimana bisa kamu mau menikahkan putrimu satu satunya dengan pria macam dia? Ha!” Ucap pak dhe dengan marah. “Apa maksud anda?” Tanya kakek Hutomo tak terima. Hp Dewi yang semula berada di tangan pak dhe Ramdan telah berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Semua keluarga besar bapakku, akhirnya telah menonton video tersebut. Aku tak tahu video apa itu. Yang jelas, mampu menyulut amarah saudara saudaraku dari pihak bapak. “Itu tidak benar. Video itu pasti hanya akal akalan saja. Cucu saya ini pria baik baik!” Bela kakek Hutomo. Tapi pembelaan itu, tak mampu memberi ketenangan ke cucunya. Wajah Ferdian Hutomo terlihat begitu tegang. “Kita tunggu 5 menit lagi. Pasti mereka sudah sampai di sini. Kalau memang saya yang salah, silahkan lanjutkan acaranya. Dan laporkan saya ke polisi.” Ucap Dewi menantang.“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud