Home / Romansa / Bukan Siti Nurbaya / Tampan sih, tapi

Share

Bukan Siti Nurbaya
Bukan Siti Nurbaya
Author: Wildeblume

Tampan sih, tapi

Author: Wildeblume
last update Last Updated: 2024-09-12 23:15:37

“Maaf mbak! Apa masih lama ya?” Tanya ibu ke MUA cantik yang sedang mendandaniku.

“Sebentar lagi, buk.” Jawab sang MUA dengan sopan.

“Ya, sudah. Tolong dipercepat ya mbak.” Perintah ibu.

“Baik bu.” Jawab sang MUA singkat.

Ibu kemudian duduk di kursi tak jauh dariku. Menghadap ke arahku. Dan beliau terus memandangku.

“Kok cemberut sih Ren? Masa calon pengantin kok mukanya ditekuk gitu. Ayune kelong lho nduk. ( Cantiknya berkurang lho nduk ).” Ujar ibu.

“Terus maksud ibu, aku harus joget joget? Jingkrak jingkrak? Atau sekalian salto? “ Ucapku ketus.

“Lho, kok gitu sih nduk jawabannya. Ibu kan ngomong baik baik.” Ucap ibu dengan lembut. Padahal aku tahu, ibu pasti jengkel mendengarku berkata seperti itu.

“Ibu itu tahu yang sebenarnya seperti apa. Tapi malah pura pura, seolah olah tak tahu gitu.” Ucapku dengan kesal. Saking merasa jengkel. Dadaku pun sekarang terasa sesak seperti ada beban yang berat yang sedang menimpanya. Mataku sudah berkaca kaca sejak tadi. Dan sekarang, butiran bening itu jatuh tak tertahankan.

“Aduh, mbak! Kok nangis sih? Make up nya rusak ini.” Kata sang MUA. Ia terlihat sedikit kesal. Ia kemudian menegur ibu,

“Ibu, maaf, kalau hanya bikin suasana hati calon pengantinnya jadi buruk, tolong ibu tunggu di luar saja ya.” Ucap sang MUA dengan hati hati, sepertinya takut menyinggung perasaan ibu. Bisa gagal bayaran nanti.

“Ya sudah. Saya akan tunggu di luar saja. Tolong segera diselesaikan ya, mbak.” Jawab ibu. Dan beliau segera beranjak dari kursi dan memulai langkah berjalan ke luar.

“Terima kasih bu.” Jawab sang MUA lega.

***

Terdengar suara derap langkah kaki beberapa orang, yang tengah berjalan ke arah ruangan kami berada.Pintu terbuka dan masuk beberapa orang. Ternyata mereka adalah eyang uti ku dari Solo. Nenekku, yang merupakan ibu kandung dari bapak. Beserta pakdhe, budhe dan sepupu sepupuku. Mereka lalu mendekat ke arahku. Kedatangan mereka membuat tangisku menjadi. Bahkan eyang uti langsung merangkulku ketika melihatku menangis. Memelukku dengan sangat erat. Budhe Lastri, kakak tertua bapakku juga langsung mengambil tisu di dalam tasnya. Kemudian menyerahkan ke eyang uti. Eyang lalu mengurai pelukannya dan beliau segera mengelap bulir bulir air mata yang mengalir di pipiku dengan hati hati.

Aku melihat ke arah eyang, budhe, pakdhe, dan sepupuku secara bergantian. Dapat kuduga, sepertinya para sepupuku tadi sudah menyiapkan berbagai macam bullyan untukku. Tapi terpaksa mereka telan kembali. Setelah melihat keadaanku yang kacau ini, mereka menjadi iba padaku.

Eyang kembali memelukku. Sambil memelukku, eyang terus menerus mengusap usap punggungku. Berusaha menenangkanku.

“Sudah, berhenti nangis nduk, cah ayu!”

“Nanti ayune ilang.” Bujuk eyang padaku. Tapi bukannya diam, berhenti menangis, isak tangisku malah semakin kencang.

“Rena nggak mau, eyang! Rena nggak mau menikah dengan lelaki itu. Rena nggak cinta, eyang! Rena mau menikah dengan lelaki yang Rena cinta.” Ucapku sambil terisak.

“Dia bukan lelaki yang baik, eyang!” Lanjutku.

“Eyang, tolong Rena ya!” Ucapku menghiba.

“Rena, kakek dan ibumu, pasti memilihkan lelaki yang baik untukmu. Tidak mungkin mereka tega menjerumuskanmu, nduk.” Nasehat eyang padaku. Terdengar klise di telingaku. Kemudian beliau mengurai lagi pelukannya padaku. Beliau menatap mataku lekat sambil memegang kedua bahuku.

“Nduk, ndak ada orang tua yang akan rela menjerumuskan putrinya. Apalagi seorang ibu, nduk. Orang yang telah mengandungmu 9 bulan lamanya, melahirkanmu dengan bertaruh nyawa, dan merawatmu dengan kasih sayang sampai kamu sebesar ini.” Terang eyang dengan sangat lembut.

Aku, sampai sebesar ini, di usiaku yang ke 24 tahun, aku belum pernah mendengar, sekalipun, eyang membentak atau mengangkat suaranya ketika berbicara. Ia lebih memilih diam jika sedang emosi.

Mungkin, watak inilah yang menurun ke bapak. Harusnya aku bersyukur kan? Tapi karena sifat itu, aku jadi merasa bapak kurang tegas kepada ibu. Apalagi pada mbah kakung. Harusnya, bapak lebih tegas lagi untuk membelaku. Sedangkan ibu, beliau selalu saja menuruti keinginan mbah kakung. Katanya ‘asal tidak melanggar perintah agama’. Tapi kenapa aku yang dikorbankan? Ini benar benar tidak adil.

***

Sebelum ini, kupikir aku adalah orang yang mempunyai banyak keberuntungan. Aku adalah cucu perempuan satu satunya bagi mbah Sastro Dimejo. Dari lahir aku selalu dimanjakan. Bukan hanya oleh orang tuaku atau mbah kakungku. Tapi oleh semua anggota keluarga besar Sastro Dimejo. Apapun yang kuinginkan dipenuhi. Bahkan, jika bapak atau ibu ada yang memarahiku, pasti mbah kakung akan ganti memarahi mereka.

Kemana mana aku pasti ditemani oleh salah seorang sepupuku. Karena mbah kakung tak pernah mengijinkanku untuk pergi sendirian. Dan sekarang aku baru sadar, itu bukanlah bukti kasih sayang mereka. Melainkan untuk mengawasiku. Untuk membatasi pergaulanku. Mereka telah menyiapkan takdir yang dipaksakan untuk kujalani. Aku tumbuh menjadi gadis yang tomboy, karena hari hari kuhabiskan dengan bermain dengan para sepupuku yang semua lelaki itu. Hobi yang kugemari bukan menari, menyanyi, ,memasak atau hal hal yang berbau feminim lainnya. Tapi hobiku berkuda, bela diri dan lain lainnya, yang biasa diikuti para sepupu laki lakiku.

Sifat manjaku semakin menjadi, karena di satu sisi yang lain, keluarga besar dari bapakku juga tak kalah memanjakanku.

Dalam anganku, aku selalu yakin bahwa aku pasti akan terus diliputi keberuntungan. Tapi nyatanya, dewi fortuna sudah meninggalkanku.

***

Hari itu, mbah kakung meminta semua anggota keluarga Sastro Dimejo, yang tak lain adalah para anak, menantu dan cucunya untuk berkumpul. Mbah kakung kemudian mengutarakan keperluannya mengumpulkan semua anggota keluarga, yang tak lain dan tak bukan adalah tentang perjanjian mbah kakung dengan sahabat karibnya di masa lalu untuk berbesanan. Karena dua anak perempuannya dahulu menolak, maka sekarang, akulah yang harus menggantikannya. Ya! Karena aku adalah cucu perempuan satu satunya. Mbah kakung menjodohkanku dengan cucu dari sahabatnya itu.

“Ha ha ha ha ha.” Tawaku dengan sangat keras. Waktu itu aku berpikir bahwa mbah kakung hanya bercanda. Tapi kenyataannya adalah mbah kakung sedang tidak main main dan tidak menerima penolakan. Dulu, jadi cucu perempuan satu satunya kuanggap sebuah keberuntungan. Sekarang seperti sebuah kutukan.

Lalu, apakah kalian pikir aku akan menerimanya begitu saja? Salah! Tentu saja aku memberontak sekuat logika. Tapi, mbah kakung malah sampai berakting ‘terkena serangan jantung segala’. Bahkan sempat dilarikan ke rumah sakit.

Saat itu, semua anggota keluarga langsung memberikanku tatapan tajam yang menghujam.

Mereka bilang, “kalau sampai terjadi sesuatu dengan mbah kakung, maka akulah penyebabnya. Akulah yang bersalah.”

***

Puas berdiam di dunia lamunan, akupun kembali ke dunia nyata. Riasanku sudah selesai diperbaiki. Keluargaku menyuruh sang MUA untuk secepatnya mempersiapkanku. Karena acara akad nikah akan segera dimulai.

Dari tadi, sebentar sebentar ku tengok hpku. Berharap ada kabar baik yang dikirimkan Santi. Tapi nyatanya NIHIL. Tak ada sebuah pesan pun darinya.

Ibu dan eyang uti, masing masing berada di sampingku, kiri dan kanan. Mereka menggandeng erat lenganku. Menuntunku menuju tempat yang telah di persiapkan. Terdengar berbagai pujian yang dilontarkan para tamu undangan untukku. Namun, semua itu sama sekali tak membuatku bahagia apalagi sampai berbunga bunga. Saat ini, hatiku benar benar sedih, kecewa, kesal campur aduk menjadi satu. Rasanya dadaku ingin meledak, menahan semua rasa dan amarah ini. Rasanya aku ingin menangis sekeras kerasnya. Namun, kutahan sekuat tenaga. Ku lihat ke arah lelaki yang sebentar lagi akan mengikrarkan ijab qobul itu. Dia tak berkedip menatapku, seolah tatapannya terkunci oleh kecantikan ku. Tampan sih, tapi memuakkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 77

    “Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 76

    Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 75

    Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 74

    Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 73

    “Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J

  • Bukan Siti Nurbaya   Bab 72

    Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status