Meski rasanya sudah mustahil, tapi di dalam hati, aku masih terus berdoa, semoga Allah memberikanku keajaibanNya. Tak lelah ku lantunkan dzikir di dalam hati.
“Ya Allah, hamba mohon, selamatkanlah hamba dari lelaki yang sedang berhadapan dengan bapakku itu. Hamba mohon dengan sangat ya Allah.” Doaku dalam hati. Kurapalkan doa di hati terus menerus tak henti. Aku terus menundukkan pandangan. Malas melihat suasana yang bagaikan sebuah kutukan ini. Namun, sesekali kuangkat wajah, melirik ke sekeliling. Dan sering kali, tanpa sengaja pandangan mataku bertemu dengan laki laki yang bernama lengkap Ferdian Hutomo itu. Ia pun mempersembahkan senyum termanisnya. Apa dia pikir aku akan terpesona? Bukannya terpesona aku malah semakin merasa jengkel. Setiap kali melihatnya, rasa jengkelku semakin bertambah. Andai boleh, aku akan mengajukan syarat, tanding terlebih dahulu. Dia harus bisa mengalahkanku terlebih dahulu sebelum berhak mengucap akad. Aku yakin tak akan kalah. Aku adalah pemegang sabuk hitam taekwondo. Akan kubuat dia KO. Kalau perlu tak usah bangun lagi seterusnya. Ahh, kenapa pikiranku jadi melanglang buana kemana mana. Apakah ini tanda tanda aku mengalami gangguan jiwa? Detik demi detik ini, berlalu dengan cepat. Namun terasa sangat berat kurasa. Diriku saat ini merasakan kecemasan yang sangat. Wajahku memucat. Dan riasan tebal di wajahku tak mampu menolong. Seolah darah enggan mengalir ke sana. Keringat dingin pun mulai keluar. Telapak tanganku yang terhiasi oleh hena tampak putih memucat. Telapak tangan dan jari tanganku teraba dingin, sedingin es. Aku merasakan ketegangan yang luar biasa. Kakiku terus bergerak gerak tanpa kumau. Dan kurasakan sensasi ingin segera ke kamar mandi untuk buang hajat. Aku khawatir aku akan pingsan. Terlihat begitu kentara, diriku yang dilanda kecemasan dan ketegangan ini. Ibu lalu berusaha menggenggam tanganku. Mungkin beliau bermaksud menguatkanku. Tapi dengan segera ku tepis tangannya. Aku tak ingin ia menyentuhku. Aku marah padanya. Aku juga sangat kecewa padanya. Ia yang kuharapkan akan membelaku, ia yang kuharapkan akan melindungiku, justru dialah yang mengumpankanku. Apakah seperti ini rasanya telah sengaja diumpankan ke mulut buaya. Wajarkan jika aku bilang beliau mengumpankanku? Tanpa sanggahan, tanpa menolak terlebih dahulu, dia ibuku, langsung mengiyakannya. Tanpa meminta pendapatku. Tanpa bertanya bagaimana perasaanku. Apa aku hanya dianggap benda mati? Apa ibu tak punya hati. Kenapa kalian semua menumbalkanku? Apalagi, akhirnya aku tahu, ternyata sebenarnya pernikahan orang tuaku dulu, tak mendapat restu dari mbah kakung. Karena mbah kakung sudah memutuskan untuk menikahkan ibuku dengan salah satu putra kakek Hutomo. Mbah kakung memberikan restu, setelah kedua orang tuaku itu berjanji, jika kelak anak mereka yang akan menggantikan ibu. Edaaann.... orang tua macam apa mereka. Bahkan sebelum aku mereka proses pun sudah mereka agun kan. Malang benar nasibku Aku tak butuh ke sok pedulianmu bu. Tak kudapatkan lagi kehangatan dari genggaman tanganmu bu. Hatiku benar benar merasa sakit. Dan yang menorehkan rasa sakit itu adalah orang orang terdekatku. Orang orang yang kusayangi. Mungkin seperti inilah rasanya dikhianati. Kemarin aku merasa disayang sayang, sekarang mungkin waktunya aku dibuang. Mereka memanjakanku, sebagai bayaran dari mereka untukku. Karena aku telah membebaskan mereka dari perjanjian bullshit itu. Mereka ternyata tidak benar benar menyayangiku. Kasih sayang mereka selama ini palsu. Mereka berpura pura menyayangiku, untuk mengurangi perasaan bersalah mereka ketika akhirnya saat ini terjadi. *** Masih terngiang jelas di telingaku, bagaimana omongan yang dilontarkan ibuku waktu itu, ketika aku menolak mentah mentah tawaran atau lebih tepatnya perintah dari mbah kakung. Ketika mbah kakung langsung ambruk dan jatuh, semua orang panik. Aku yang masih dengan akal yang utuh, tahu bahwa beliau sedang berpura pura. Bagaimana mungkin seorang mbah Sastro Dimejo yang hobi marah marah dan suka sekali bikin orang marah itu, sedemikian mudah tumbang karena penolakanku. Aku pun hanya terdiam di tempatku semula. Ketika yang lainnya panik dan kalang kabut. Mungkin waktu itu mbah kakung berharap aku segera berlari menghampirinya, langsung memeluknya erat sambil menangis meraung raung dan meminta maaf. Tapi sorry mbah! Bukannya aku tidak peduli. Tapi aku tahu mbah, anda sedang bersandiwara. Anda tahu mbah? Darah yang mengalir di dalam tubuhku ini , ada bagian dari darahmu. Anda tak bisa membohongi aku dengan mudah, cucu yang paling dekat denganmu. Cucu yang paling sering bersamamu. Cucu yang pernah merasa paling engkau sayangi. “Dasar anak tidak tahu diri. Beraninya kamu membantah ucapan mbah kung. Jika sampai terjadi sesuatu dengan mbahmu, seumur hidup ibu tidak akan pernah memaafkanmu. Kamu benar benar tidak tahu terimakasih Rena!” Teriak ibu kala itu, sambil jari telunjuknya ia tunjuk tunjukan ke arah mukaku. “Cukup Ratih. Jangan bicara seperti itu ke anak kita. Mas mohon.” Akhirnya keluar juga perkataan dari bapak. “Ayo, pak! Bela Rena. Rena mohon pak!” ucapku dalam hati, sangat berharap semoga bapakku mengeluarkan pembelaan untukku. Tapi nyatanya, tak ada satu kata pun yang terdengar olehku. Beliau sibuk menenangkan istri tercintanya yang sedang kalap. Aku rasa bapakku itu masih bucin akut, meski sudah tua. Tanpa membuang banyak waktu, semua orang, kecuali aku, gegas membawa mbah kakung ke rumah sakit. Terlihat jelas, raut kekhawatiran di wajah mereka semua. Aku? Aku tetap tinggal di rumah. Aku tak mau terjebak dalam permainan drama mbah kakung. *** Esok harinya, sepupu lelaki tertuaku menelpon. Dia bilang mbah kakung sudah sadar dan mencariku. Dia memintaku untuk segera ke rumah sakit. Sebenarnya aku sangat malas untuk pergi ke rumah sakit. Tapi apa mau dikata, mereka terus menelponku tanpa henti, secara bergantian. Mereka semua, kecuali ibu dan bapakku. Aku tahu, pasti ibu melarang bapak untuk menelponku. Aku sering merasa cemburu pada ibu, karena bapak selalu lebih memilihnya dibanding aku. Sesampai di rumah sakit, aku disambut dengan drama tangisan sinetron, benar benar menjiwai mereka semua. Tapi sayang, masih kurang alami. Aku benar benar tak habis pikir, bahkan para sepupu laki lakiku yang sangat gagah dengan perut six pack itu, mau maunya disuruh pura pura nangis. Aku bisa bilang begini, bukan karena aku masa bodo atau kurang ajar, tapi karena aku memang benar benar mengenal mereka semuanya dengan sangat baik. Apakah para sepupuku yang gagah itu, takluk dengan iming iming mobil baru atau dengan motor sport keluaran terbaru? Sebelum salah satu dari mereka sempat buka suara, aku sudah lebih dulu membalikkan badan dan melangkah keluar dengan langkah yang sangat lebar. Tak ku pedulikan panggilan mereka untukku kembali. Setelah itu, aku tak pernah datang lagi ke rumah sakit. 3 hari tidur di ranjang rumah sakit, mungkin mbah kakung sudah bosan, jadi meminta pulang. Kupikir, setelah pulang dari rumah sakit, mereka akan memperlakukanku sebagai makhluk tak kasat mata, tapi ternyata tidak. Mereka malah bersikap seperti biasa. Apa mereka menyerah? Tentu saja tidak! Tapi mereka memilih membujukku perlahan. Mungkin mereka takut aku melarikan diri. Mereka tahu pasti, aku ini sangat keras kepala dan pemberontak. “Cucu kakek Hutomo itu ganteng, putih, tinggi gagah, lho Ren!” “Pekerjaannya juga mapan. Bahkan nanti setelah kalian menikah, kakek Hutomo katanya akan memberikan peternakan sapi perahnya ke kamu.” “Nanti kalian juga akan langsung tinggal sendiri. Soalnya kakek Hutomo sudah membelikan rumah yang mewah buat kalian tinggali.” “Kamu nggak perlu takut akan dijahati mertuamu atau iparmu, seperti di sinetron sinetron itu Ren.” Puja puji ibuku pada calon mantu pilihannya. “Mertua dan ipar jahat?” Tanyaku. “Cuman misal aja, Ren.” Jawab ibu. “Bukannya yang jahat itu kalian?” Sindirku pada Ibu,kakek dan bapak yang sedang berada di ruang tamu bersamaku. SKAKMAT......“Assalamualaikum, mbah” Rendra menyapa begitu kami telah sampai di hadapan mbah kakung. Sedangkan aku masih setia terdiam. Aku tak tahu, haruskah aku mengeluarkan kata? Atau aku lebih baik terus terdiam saja. Rendra mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan dengan mbah kakung.“Waalaikumsalam” Jawab mbah kakung sambil menerima uluran tangan Rendra. Dan Rendra pun kemudian mencium punggung tangan mbah kakung. Tak seperti yang terlintas di benak ini. Kupikir, mbah kakung akan menepis uluran tangan suamiku itu. Tapi ternyata tidak. Apa mungkin karena saat ini, kami sedang berada di tengah tengah banyak orang? Ya. Pasti karena itu. Mbah kakung pasti tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Rendra kemudian menyenggol lenganku, memberikanku kode agar segera menyalami mbah kakung. Dan aku pun melakukannya. Kucium punggung tangan kanan mbah kakung. Dan tanpa kuduga, beliau langsung menarik lembut tanganku dan memelukku. Mendekap erat tubuh ini. Kurasakan kehangatan yang selal
Aku mengalami morning sickness yang parah di pagi hari saja. Selebihnya, aku baik baik saja. Kecuali aku mendapati aroma dan bau bau yang tak kusukai, aku akan langsung mual dan muntah.Pagi ini, sholat Subuhku sedikit tertunda karena aku yang terus terusan muntah. Tenggorokanku terasa sakit. Perutku juga. Aku tak berhenti muntah meski seluruh isi perut telah kumuntahkan. Sampai terasa pahit tenggorokanku. Sudah sekitar setengah jam aku menghuni kamar mandi. Rendra terus menemaniku sambil memijat mijat lembut punggungku. Tak lupa juga mengoleskan minyak kayu putih. Rendra bahkan mengurungkan niatnya untuk sholat Subuh ke masjid karena tak tega untuk meninggalkanku.“Eyang boleh masuk?” Ujar eyang uti setelah mengetuk pintu kamarku yang sedikit terbuka.“Silahkan eyang!” Sahut Rendra setengah berteriak karena jarak kami tak dekat. Agar eyang bisa mendengarnya. Eyang kemudian masuk ke kamarku dan menghampiri kami yang tengah di kamar mandi. Mengulurkan segel
Alhamdulillah! Semua berjalan sesuai rencana. Semalam, aku dan mbak Ria, lembur sampai jam 11 malam untuk menyelesaikan gaun ibu. Rendra menungguku ditemani mas Damar, duduk di depan pabrik sambil menikmati kopi.Pagi ini, sekali lagi kuperiksa gaun untuk ibuku ini. Untuk memastikan tak ada yang kurang. Gaun ini sudah ‘sempurna’ seperti yang kumau. Kuminta Rendra untuk memotretku bersama gaun ini, yang kupasangkan pada salah satu manekin yang ada di butik. Meski sebenarnya, tanpa kuminta pun Rendra sudah jeprat jepret tanpa jeda sejak tadi.Mbak Dita datang, tepat saat gaun ibu selesai kupacking. Alhamdulillah! Lega rasanya. Aku tak mau membuat orang yang akan kumintai tolong itu menunggu. Setelah berbincang beberapa saat, mbak Dita berangkat membawa hadiahku untuk ibu.“Akhirnya! Selesai juga.” Sorak Nindy.“Yang ngerjain aku. Yang capek juga aku. Kenapa kamu yang sorak sorak tak jelas gitu? Ora Cetho!” Seruku.“Tahu nggak Rena? Aku tuh
Kubaca nama pengirimnya, ternyata ibu. Kubuka amplop itu perlahan. Ingin tahu apa isinya. Ternyata undangan pernikahan ibu dan om Hidayat. Bukan hanya 1 buah. Tapi ada beberapa. Untukku, untuk bapak, dan untuk tante Fatma. Ada juga secarik kertas dalam amplop coklat itu. Segera kubuka lipatan kertas itu dan kubaca isinya. Hanya beberapa baris kalimat. Ibu memang orang yang tak suka berbasa basi.“Rena, berikan 2 undangan yang lainnya untuk bapakmu dan tante Fatma. Ibu tak memaksamu untuk datang. Datang atau pun tidak itu adalah hakmu.”Kuhela nafas setelah membaca tulisan tangan ibu.“Rena pasti datang bu. Menyaksikan pernikahan kedua ibu. Meski sebenarnya bukan pernikahan yang ibu harapkan, tapi Rena berharap lelaki itu mampu membahagiakan ibu.” Batinku. Rendra yang berada di samping kananku, mengelus lembut punggungku.“Bi, menurutmu, kita akan beri hadiah apa untuk pernikahan ibu?” Tanyaku sambil menatap pria di sampingku ini.“Apa ya
“Astaghfirullahaladzim!” Seruku sambil tangan kiri memegang dada.Ya ampun, bagaimana bisa aku seceroboh ini. Harusnya kupastikan dulu siapa yang menelpon sebelum marah marah.“Assalamualaikum” Sapa seseorang di seberang sana.“Waalaikumsalam. Maaf bunda.” Sesalku. Ditanggapi dengan kekehan dari wanita yang telah melahirkan suamiku itu.“Ada apa?” Tanya bunda padaku.“Nggak ada apa apa kok bun. Rena pikir tadi mas Rendra yang telpon.” Ucapku.“Rendra pasti gangguin kamu ya.” Tebak bunda. Aku pun menceritakan ulah putranya itu pada bunda. Beliau hanya tertawa menanggapi ceritaku.“Matikan saja ponselmu, nduk.” Usul bunda. “Kalau dimatikan, bisa panjang urusannya, Bun.” Sahutku.“Oh iya, ada apa perlu apa bunda telpon Rena?” Tanyaku penasaran. Biasanya, meskipun ingin berbicara denganku, bunda selalu menghubungi ke nomor putranya.“Tadi bunda telpon Rendra nggak diangkat. Mungkin sedang sibuk. J
Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk manis menunggui suamiku yang sibuk mencari uang.“Kenapa?” Tanya mas Adi yang hendak melintas. Ia menghentikan sejenak langkahnya di depanku.“Apanya?” Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.“Kok lesu? Wajah kamu juga kelihatan agak pucat.” Ucap mas Adi.“Kebanyakan begadang sama si bos itu.” Seloroh mas Doni yang baru saja lewat. Mas Doni memang selalu mencari gara gara saja denganku.“Heem. Dari tadi Rena diam aja. Biasanya khan petakilan.” Mas Edwin ikut memberikan komentarnya. Atau sebenarnya malah nyinyiran.“Kalian ngapain kumpul di situ. Kerja! Kerja!” Teriak Rendra sambil melihat ke arah kami. Tak lupa sambil berkacak pinggang. “Kayaknya Rena sakit nih bos.” Ujar mas Adi. Rendra bergegas menghampiriku.“Kenapa?” Tanyanya mengulang pertanyaan awal mas Adi.“Perutku nyeri beberapa hari ini. Kepalaku juga terasa agak pusing” Jawabku jujur. Rendra kemud