Share

Bab 4 - Daddy Baru Untuk Javier

"Ashley!"

Emily melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, saat melihat kedatangan temannya. Wanita cantik yang kini tampak sangat bersinar di usia dewasanya. Teman yang pernah dia khianati ketulusannya dan dia tusuk dari belakang. Emily kadang malu ketika Ashley masih bersikap sangat baik padanya setelah apa yang dia perbuat apa wanita itu di masa lalu. Ashley benar-benar seperti malaikat.

"Rajin sekali kau sudah datang, Em."

Restoran masih belum buka. Emily kini masih membantu para karyawan beres-beres mempersiapkan meja untuk pelanggan. Dia tidak bekerja di sini, dia adalah pemilik restoran ini bersama dengan Ashley. Lima tahun yang lalu saat dirinya benar-benar di masa sulit, Ashley datang dan menawarkan ide brilian.

Emily sama sekali tidak menyangka temannya itu masih bisa mempercayainya dan bahkan membantunya. Padahal dia masih sangat malu dengan kelakuannya hingga sekarang. Meski peristiwa itu sudah berlalu hampir tujuh tahun lamanya. Namun sikap Ashley masih sangat baik padanya. Dia menyesal telah mengkhianati sahabat terbaiknya hanya karena seorang lelaki yang tidak akan pernah bisa dia gapai.

"Kau seperti tidak mengenalku saja."

Ashley tertawa, tentu Emily adalah anak yang rajin. Dia tahu itu. "Bagaimana Javier? Kau sudah mengantarnya 'kan? Jangan sampai kau lupa dengan anakmu gara-gara buru-buru ke sini."

"Tentu saja tidak, aku sudah mengantarnya tadi. Kaumau kopi?" Emily menghentikan menyelesaikan pekerjaannya dan berjalan masuk ke area dapur. Dia menyerahkan bagian depan pada karyawan lain.

"Tidak usah, kemarilah, ada yang ingin kutanyakan padamu!" Ashley menyeretnya masuk ke ruangannya dan menutup pintu. Dia ingin mengobrol masalah pribadi dengan temannya itu.

"Ada apa? Kenapa kau terus tersenyum seperti itu? Kau membuatku takut." Emily refleks menjauhkan dirinya melihat Ashley tersenyum lebar dengan mata berbinar.

"Itu lho, soal chat-mu semalam. Kaubilang kau akan kencan dengan pria, bagaimana? Apakah berhasil, hm?" Ashley meletakkan kedua tangannya di pipi dan bertumpu pada meja. Sorot matanya yang ingin tahu, membuat Emily langsung tersenyum aneh.

"Iuh, jangan memasang wajah seperti itu! Kau tidak imut, Ashley. Menjijikkan."

"Apa? Padahal Om Evan bilang aku imut. Kau keterlaluan, Em."

"Yah, dia 'kan suamimu. Wajahmu yang jelek pasti akan disebut cantik olehnya." Emily berusaha menahan tawa melihat bibir Ashley yang mencebik. Sebenarnya, dia berbohong. Temannya memang awet muda meski sudah memiliki anak.

"Ah! Kenapa jadi ngomongin Om Evan sih! Kaumau mengalihkan pembicaraan 'kan? Tidak bisa, kali ini kau harus mengatakannya dengan jujur, apa semalam kencanmu berhasil?"

"Kapan aku menyebut kencan? Itu hanya makan malam biasa. Aku sudah sering melakukannya."

"Ya, sama saja, Em. Itu kencan, kencan. Jadi bagaimana hasilnya? Kau tidak membuatnya kabur lagi 'kan? Ini sudah pria ke berapa?"

Emily berdecak kesal. Hanya kepada Ashley dia selalu menceritakan apa yang terjadi soal kencan butanya. "Sayangnya tidak, jurusku tidak mempan padanya. Pria sialan—maksudku, pria itu malah mengajakku bertemu dengan orang tuanya semalam. Dia juga mengajakku menikah."

"Apa? Kau serius? Kau tidak bohong 'kan?" Ashley sontak berteriak heboh dan binar matanya terlihat antusias. "Aaakhh, aku tidak percaya ini, akhirnya kau akan menikah juga. Aku ingin menjadi bridesmaid di pernikahanmu nanti!"

Emily memutar matanya melihat betapa hebohnya Ashley. Siapa yang menikah, siapa yang kegirangan. "Masalahnya, aku tidak menyukai pria itu dan tidak mau menikah dengannya. Kau mengerti?"

"Kenapa? Apa pria itu jelek? Dia buruk rupa? Apa dia tidak jago di ranjang? Tipemu 'kan seperti James. Dia di bawah standar, ya?"

Degh.

Emily melebarkan matanya saat mendengar nama James disebut. Dia merasa hatinya menghangat setiap kali memikirkan lelaki itu. Namun juga terdapat rasa sedih dan penyesalan mendalam atas kemalangan yang menimpa lelaki itu. Dialah pelakunya. "Tidak, pria itu sempurna. Aku hanya tidak suka sikapnya."

"Oh itu, harusnya kau tidak perlu merasa khawatir. Kau tahu 'kan aku dan Om Evan menikah bagaimana? Aku bahkan sangat membencinya ketika menikah, tapi kami kemudian saling mencintai. Kau juga pasti akan begitu. Jangan cemas, Em. Aku tahu kau wanita mandiri, tapi aku juga tahu kau juga butuh seseorang untuk menjadi tempatmu bersandar."

Perkataan Ashley terdengar tulus. Itu sedikit membuat hati Emily tenang. Namun dia memiliki alasan untuk meragukan pernikahannya ini. Rasa trauma atas gagalnya pernikahannya dulu, juga menjadi salah satu penyebabnya. Kehidupan liar yang dijalaninya, juga membuat dia takut. Belum lagi kenyataan kalau bisa saja orang tuanya akan memanfaatkan situasi ini. "Aku akan pikirkan itu."

***

Emily memasuki kawasan sekolah dan memarkirkan mobilnya di area parkir. Siang ini, dia menyempatkan diri untuk menjemput anaknya sebelum kembali ke restoran. Bertepatan dengan kedatangannya, beberapa anak tampak berhamburan dari area kelas dan berjalan menuju parkiran. Ada yang bersama orang tuanya, ada juga yang sendiri atau bersama teman. Javier pasti sudah menunggu lama.

Tidak mau membuat anaknya sedih, Emily bergegas keluar dan berjalan cepat dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Itu semua karena matahari yang cukup terik, membuat pandangannya sedikit terhalangi. Beberapa anak melirik ke arahnya, tapi Emily tak memedulikan itu. Dia tetap melangkah dan membiarkan suara high heels-nya terdengar. Hingga akhirnya, dari kejauhan Emily bisa melihat keberadaan kelas anaknya yang bubar. Beberapa anak masih berkerumun.

Emily mencari keberadaan Javier di antara kerumunan anak yang akhirnya pergi dan menyisakan beberapa anak. Tetapi dia menemukan sesuatu yang aneh saat ternyata ada seorang lelaki dewasa yang tengah berbincang dengan anak lelaki. Sialnya, anak laki-laki itu adalah anaknya. Javier! Posisinya yang membelakangi, membuat Emily tidak mengenalinya dan dia cemas jika itu orang jahat. Tak mau anaknya kenapa-kenapa, Emily langsung buru-buru menghampirinya dan menarik tangan putranya.

"Javier!"

"Mommy?"

"Javier, Mommy sudah sering bilang, jangan bicara sama orang asing," bisik Emily sambil membawa Javier menjauh, tapi putranya itu tampak ingin membantah.

"Tapi, Mommy—"

"Tidak ada tapi-tapian! Dengarkan Mommy!"

"Maaf, tapi aku bukan orang asing. Kau tidak perlu memarahi anakmu begitu, Emily."

"Jangan ikut campur! Aku tidak bicara—"

Emily yang berniat menumpahkan kemarahannya, seketika tertahan dan mengernyit saat merasa ada yang aneh dari perkataan lelaki yang bicara dengannya. Kepalanya refleks menoleh pada lelaki yang tadi bicara dengan anaknya. Menurunkan kecamatanya untuk melihat dengan jelas siapa yang bersuara. Namun saat matanya bertatapan dengan lelaki itu, kedua bola matanya melotot seketika. "KAU! Si bereng—"

"Ini masih area sekolah, jangan ajarkan anak-anak bahasa yang buruk."

Nasihat itu seketika langsung membungkam ucapan Emily. Dia melirik anaknya yang menatapnya bingung. Semoga Javier tidak menuruti kebiasaan buruknya yang suka mengumpat. "Maafkan Mommy, Sayang."

Setelah mengucapkan kalimat itu dengan rasa bersalah, Emily kembali menatap orang yang tidak lain adalah Keenan. "Kenapa kau ada di sini? Apa yang mau kaulakukan pada anakku?"

"Aku hanya berkunjung dan aku tidak tahu kalau Javier adalah anakmu."

"Omong kosong! Kaupikir aku percaya orang sibuk sepertimu mau pergi ke sekolah tanpa maksud apa pun?"

Keenan hanya tersenyum tipis dan melihat sekitar mereka sudah cukup sepi. Walau di beberapa bagian lain, masih banyak kelas yang ramai. Anak-anak masih belajar, tapi itu anak dengan tingkat yang lebih tinggi. Kawasan sekolah ini yang memang disatukan dari pendidikan dasar sampai menengah atas. "Kau benar, ini perintah Ibuku. Aku hanya menyelesaikan sedikit urusan di sini. Kalian mau pulang?"

"Bukan urusan—"

"Om mau ikut?"

Emily menatap anaknya yang malah menawarkan tumpangan. "Javier!"

"Kenapa Mommy? Om Ken baik sama Iel. Om Ken nolongin Iel."

"Nolongin?"

"Anakmu diganggu teman sekelasnya," jawab Keenan memperjelas ucapan Javier.

"Diganggu? Kamu diganggu bagaimana? Kamu dipukuli? Siapa yang melakukannya! Biar Mama hajar mereka!" Emily segera berjongkok dan memeriksa tubuh putranya dengan cemas. Sayangnya, Javier seolah ragu menjawab dan dia hanya diperlihatkan wajah muram sang anak. "Javier, ayo katakan. Kamu diganggu bagaimana?"

Melihat anaknya tetap diam, Emily beralih pada Keenan. "Javier diganggu kenapa?"

Sebelum menjawab, Keenan menatap anak lelaki itu dengan serius. "Javier, boleh Om—"

Javier menggeleng cepat. "Nggak boleh! Iel nggak apa-apa, Mommy. Iel udah dorong anak-anak nakal tadi. Mereka nggak akan bilang Iel nggak punya Daddy lagi sekarang—eh."

Javier refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan mungilnya. Sayangnya, apa yang terlontar dari mulutnya sudah didengar oleh Emily yang kini ekspresinya berubah kaku.

"Mereka bilang begitu?"

Emily memegang kedua bahu anaknya dengan kuat. Namun lagi-lagi, Javier tidak mau menjawab dan hanya menunduk. Berapa lama? Berapa lama ini terjadi? Emily tidak percaya ada yang mengejek putranya tidak punya ayah. Javier juga tidak pernah bercerita sebelumnya. "Javier?"

"No, Mommy, jangan sedih. Iel nggak apa-apa, kok." Javier menyusut air mata yang jatuh di pipi ibunya dan hal itu menjadi pemandangan yang menyentuh siapa pun yang melihatnya, termasuk Keenan yang kini tertegun.

"Jangan terlihat menyedihkan di depan anakmu. Javier anak laki-laki yang kuat," ucap Keenan sambil melirik Emily yang langsung menyusut air matanya. Lalu tatapannya beralih pada anak laki-laki itu. Dia tersenyum dan mengusap puncak kepala Javier. "Javier kamu benar, mulai sekarang anak-anak itu tidak akan mengganggumu lagi, karena kamu sekarang punya Daddy. Kamu bisa panggil Om, Daddy."

"Ken—"

"Eh, Om Ken serius? Iel boleh panggil Daddy?" tanya Javier kebingungan, tapi matanya tampak bersinar.

"Iya."

Javier baru saja akan berteriak kesenangan, tapi dia kemudian teringat dengan ibunya. Pandangan matanya pun beralih menatap Emily. "Tapi, Mommy—"

"Terserah kalian saja," ucap Emily dengan pasrah. Dia tidak tega saat melihat anaknya tampak ragu-ragu.

"Yeey! Iel punya Daddy baru! Iel punya Daddy!"

Emily termenung di tempatnya melihat Javier begitu antusias memeluk Keenan. Putranya tampak sangat senang hanya karena lelaki itu memperbolehkannya memanggil Daddy. Apa selama ini, dia terlalu egois sampai tidak menyadari keinginan anaknya sendiri? Sihir apa yang Keenan lakukan sampai anaknya bersinar seperti itu? Emily belum pernah melihat Javier yang sesenang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status