Halo readers yang masih setia untuk menunggu cerita Hana, mohon maaf membuat kalian menunggu, soalnya seminggu ini Hana nggak bisa update dikarenakan bayiku dirawat. jangan lupa tap love dan likenya ya, makasi
“Cewek sialan! Brengsek! Beraninya nyuruh pelayan buat nendang aku!” umpat Karina geram sambil memegangi perutnya yang baru saja terkena sentuhan manis Dian.“Masih untung Dian yang nendang bukan aku, atau kamu mau kalau aku yang melakukannya? Aku masih punya banyak tenaga untuk itu dan kupastikan juga kamu nggak sadarkan diri setelahnya!” kata Jingga dengan santainya menyilangkan kaki di sofa.“Tunggu sampai Angkasa tahu tentang ini, kamu akan ada dalam masalah!” “Jadi siapa yang bersembunyi di balik siapa? Aku yang bertameng Mas Agni atau kamu yang memanfaatkan keberadaan Angkasa saat ini?” Sarkas gadis berusia delapan belas tahun tersebut.“Dengar, wanita sial! Aku disini bukan menumpang, aku masih bekerja mencari uang, bukan seperti dirimu.”“Kau belum pikun, kan? Apa kau lupa kalau kau yang sudah membuatku dipecat dari pekerjaanku dan setiap tempat yang kudatangi pasti menolak resume-ku.”“Bagus, artinya mereka tahu cara memilih kualitas SDM,” sergah Karina cepat menanggapi kesu
“Hen, harus bagaimana aku bersikap supaya adikku bisa membuka matanya dan melihat kenyataan bila orang yang ia tolong hanya memanfaatkannya?” tanya Agni membuka pembicaraan pada asisten kepercayaannya selain Lukman yang biasa ia tugaskan untuk mendampingi Ilana.“Maksudnya si Karin, Boss?” kata Henry balik bertanya.“Siapa lagi kalau bukan dia. Anak itu sampai rela bertunangan dengan Jingga sesuai perintahku padahal antara dia dan Jingga sama sekali tidak ada rasa.”“Mungkin Angkasa merasa menjaga Karina adalah tanggung jawabnya, seperti Boss menjaga Jingga,” jawab Henry membuka sudut pandang. “Hanya saja, Angkasa mungkin belum bisa melihat apa yang Boss lihat dari seorang Karina. Tetapi, kalau aku boleh tanya, kenapa juga Boss nyuruh Angkasa untuk bertunangan dengan Jingga, apa lagi menilik dari masa lalunya dia yang bisa dikatakan kelam?!” lanjut sang asisten bertanya-tanya.“Karena Karina dan Jingga sangat bertolak belakang. Sampai detik ini Jingga tinggal di rumah, dia nggak pernah
“Hentikan! Jangan!” rintih Jingga dengan mata yang masih terpejam, kristal bening keluar dari ujung matanya. Lagi-lagi, Jingga bermimpi buruk. Rintih ketakutan Jingga dalam tidurnya kontan membuat panik pria yang duduk tak jauh dari tempat Jingga berbaring. Pria tersebut mendekat, mengguncang tubuh remaja tanggung yang tidur diatas ranjang rumah sakit, berharap ia segera bangun dari mimpi buruknya.“Hei! Bangun!” panggil pria berwajah tampan, mencoba membangunkan Jingga yang masih terjebak dalam tidurnya. Jingga yang memiliki ketakutan akan kontak fisik kontan terkesiap kaget.“Dimana ini?” tanyanya pada diri sendiri setelah melayangkan pandang melihat seisi ruangan, memastikan bila ia tidak berada di tempat yang tidak semestinya. Jingga belum menyadari jika ada orang lain di sekitarnya. “Aduh!” Manik jelaganya langsung tertuju pada selang IV di tangan kiri setelah merasakan cubitan rasa sakit di sana.“Kau sudah sadar? Sekarang kamu ada di rumah sakit, apa kau baik-baik saja?” tany
“No! Please, Kak! Tolong aku!” Jerit Jingga ketakutan saat seorang dokter dan beberapa perawat mendekatinya. “Mereka cuma mau memeriksa keadaan kamu, Jingga. Itu tangan kamu berdarah dan mesti diobati!” Ilana sama paniknya dengan orang yang ngumpet di balik tubuhnya. “Ta...tapi...”“Jingga!” bentak Agni kesal, anehnya ia berhasil mengambil atensi Jingga. “Nggak pakai kata ‘tapi’! Kamu butuh perawatan dan mereka ada disini untuk merawatmu, bukan untuk menyeretmu kepenjara!”Jingga yang semula bersembunyi di balik tubuh Ilana, perlahan memperlihatkan diri meski dengan tubuh yang gemetar. “Nama kamu Jingga?” tanya pria bersurai coklat terang dengan stetoskop terkalung dilehernya. “Aku Dokter Lexy, aku adalah orang yang menjadi dokter kamu semenjak kamu masuk ke rumah sakit beberapa hari ini. Kami tidak akan berbuat hal buruk, jadi kamu nggak perlu takut,” lanjut sang dokter membujuk dengan suara lembut. Tetapi, Agni dan Ilana yang mendengar tutur kata sang dokter malah memutar mata, m
“Kalau kalian berdua tidak bisa serius, aku dengan senang hati mencukur leher kalian!”“Ampun, nyonyaaaaaah!” sahut dua pria tersebut, bukan takut tapi menjengkelkan.Sepertinya dua pria yang saat ini berada bersama Ilana adalah tipe manusia yang senang mencampur adukan antara masalah serius dan selera humor. Mereka lebih cocok jadi komedian dibanding pengusaha dan dokter. Namun, hal itu hanya terjadi ketika mereka berada bersama orang-orang terdekat. Ketika kedua pria tersebut di hadapkan pada forum formal, mereka akan kembali menjadi sosok penuh kharisma dan wibawa.“Ya, logika saja, Agni. Kalau kamu yang ada di posisi dia, lalu kamu ditanya tentang masa lalu yang bikin kamu trauma. Bagaimana tanggapan kamu?” tanya Lexy. “Atau begini. Angkasa, adikmu itu pernah trauma karena kecelakaan yang menewaskan mendiang orang tua kalian, dia melihat semua kejadian tersebut sampai dia nggak mau makan dan kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Apa kamu tega nyuruh dia untuk cerita tentang kron
Ilana Mutia, gadis cantik tunangan sang direktur muda Dirgantara Group, Agni Kumbara Dirgantara. Gadis periang yang selalu tersenyum, satu-satunya orang yang mampu membawa Agni bangkit dari keterpurukan karena kehilangan orang tua. Orang yang mendampingi sang kekasih untuk bersabar menghadapi kelakuan sang adik yang juga depresi berat.“Hm, aku mau bertanya sesuatu, tetapi kamu nggak perlu jawab kalau memang menurut kamu pertanyaan aku terlalu sensitif,” ujar Ilana membuka pembicaraan, memecah keheningan yang terjadi diantara dirinya dan gadis belia yang terbaring diatas ranjang rumah sakit. “Sure,” sahut Jingga mempersilahkan.“Kamu ke Jakarta karena kabur dari rumah?” Jingga menganggung menanggapi pertanyaan Ilana.“Kamu pasti punya alasan tentang hal itu. Kalau boleh tahu....” Ilana terhenti tatkala melihat wajah murung Jingga saat mendengar pertanyaannya. “Kamu nggak perlu jawab, kok!” sergah Ilana cepat, tak lagi melanjutkan pertanyaannya. Terbersit rasa bersalah dalam hati tun
Langkah pelan Jingga memasuki sebuah pintu bangunan megah milik keluarga Dirgantara, iris gelapnya membelalak lebar tatkala melihat megahnya bangunan yang ia datangi. Gadis delapan belas tahun itu paham bila orang yang menolongnya berasal dari kalangan atas, tetapi ia tidak menyangka bila Agni dan Ilana lebih dari sekedar kalangan atas biasa.“Untuk sementara kamu bisa tinggal disini, selama yang kamu inginkan!” ujar Agni “Kak, Mas. Kita nggak salah rumah, kan?” tanya Jingga lugu. Pasalnya keluarga Jingga memang keluarga berada, tetapi rumah yang sekarang ia masuki jelas depuluh kali lebih mewah dari yang Ayahnya miliki.Ilana dan Agni tersenyum mendengar kepolosan Jingga. “Nggak salah, kok. Rumah ini memang milik Agni dan Angkasa,” masih dengan tersenyum Ilana menjawab pertanyaan sang tamu yang mereka undang.“Angkasa?” gadis berusia delapan belas tahun tersebut kembali bertanya lantaran dirinya masih asing dengan nama yang Ilana sebutkan. “Angkasa itu siapa, Kak?”“Oh iya, aku lupa
“Angkasa! Jaga mulutmu!” tegur Agni cepat mana kala melihat sang adik memasuki pintu rumah diikuti ketiga temannya yang lain. “Dia adalah tamu di rumah ini!” jelas sang Kakak.“Dia memang tamu, Mas. Sayangnya tamu nggak tahu diri! Sudah biaya rumah sakit dibayarin, makan enak, sampai diberikan tempat tinggal gratis, tapi mulutnya macam orang nggak berpendidikan, nggak tahu terima kasih!”“Kamu boleh saja nggak mempercayai Jingga, tapi aku dan Mbakmu percaya sama dia!” tegas sulung Dirgantara. Agni memang biasa memberikan panggilan yang menyatakan keluarga pada Ilana untuk Angkasa, karena Agni ingin bila calon istrinya dihormati seperti keluarga sendiri. Begitu berartinya Ilana bagi seorang Agni karena hanya wanita itu yang bisa ia sebut sebagai keluarga, orang yang menginginkan Agni sebagai Agni, bukan sebagai pewaris Dirgantara Group. “Jelas nggak percayalah, Mas. Dia sendiri saja nggak percaya kok sama kita, buat apa Mas Agni repot-repot ngebangun kepercayaan dia? Cuma buang-buang