Richie terbangun gelagapan, langit sudah berubah gelap. Lampu jalanan berpendar kekuningan dengan malas. Sayup-sayup dia mendengar suara ramai orang-orang yang mengobrol dan tertawa. Richie melompat dari posisi tidur lalu membuka matanya lebar-lebar.
Tiga jam yang lalu dia tiba di Woodstock diantarkan seorang kakek tua suruhan Alfa. Sungguh menyedihkan, dia tidak diijinkan untuk membawa kekasihnya yang kedinginan di taman mansion. Setibanya di Woodstock, Richie langsung menyadari bahwa dirinya telah berhasil dibodohi boss-nya.
Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya tadi siang, dia sama sekali tak mendapati adanya tanda-tanda kehidupan penduduk desa. Daripada menyebut wilayah tersebut sebagai sebuah desa, Richie lebih setuju kalau menyebutnya sebagai tempat jin buang anak.
Sunyi, kering dan mati – tiga kata itu berhasil menjelaskan kenapa Woodstock yang dipilih Alfa Boss sebagai tempat ‘berlibur’ Richie. “Alfa Boss berengsek!” Richie mengepalkan tangannya, “mengirimku ke tempat seburuk ini sama saja menyuruhku untuk mati perlahan dalam kebosanan. Sialan!"
Kini dari dalam karavan usang yang juga telah disediakan boss ‘baik hati’ itu, mata hazel Richie memindai bangunan dengan papan lampu kelap-kelip bertulisan ‘B-A-R’ di bagian tengahnya. Menajamkan telinganya dan mengerjapkan matanya tiga kali. Sayup-sayup suara musik klasik tahun 80-an terdengar dari arah bangunan yang berjarak seratusan meter dari karavannya.
“Huummm … mari kita lihat – ada keseruan apa di sana,” gumam Richie.
Diraihnya jaket yang disangkutkan di belakang pintu karavan dan berjalan mendatangi bangunan yang disebut bar itu. Setelah curiga bahwa dia telah dibuang ke sebuah desa yang tak berpenghuni, sekarang Richie sedikit lega mendapati adanya bar yang ramai, sekalipun hanya di malam hari.
Richie menyapukan pandangannya pada puluhan orang yang tengah menikmati waktu mereka masing-masing. Dia masuk ke dalam bar tanpa seorang pun menyadari kedatangannya. Duduk di salah satu kursi tinggi dan mendengarkan musik yang ternyata berasal dari jukebox tua di sudut bar.
“Tequila?” suara lembut seorang wanita mengejutkan Richie.
Richie menatap dingin seorang gadis dengan rambut diikat ekor kuda yang berdiri di depannya. Jemari lentik gadis itu menggenggam buku catatan kecil dan pena, siap mencatat pesanan seluruh pengunjung bar.
“Bir – sebotol bir saja sudah cukup untukku.” Richie menghujamkan tatapannya pada gadis yang kalau main tebak-tebakan, mungkin usianya baru 18 atau 19 tahun – segar dan padat.
“Itu saja, tuan?” bibir mungil gadis pelayan itu mengerucut kecil.
“Iya – kecuali aku bisa memesan seseorang, maka pesananku menjadi sebotol bir dan gadis cantik pelayan bar. Bagaimana?” ucap Richie dengan ekspresi tak berubah.
Gadis itu tersenyum tipis. Tanpa Richie sadari, dia baru saja mengurung gadis itu dengan pesona ketampanannya. Wajah gadis itu merona. Namun, dirinya yang tak mau ambil pusing dengan sikap si gadis malah kembali menajamkan telinganya, menikmati lantunan suara Cyndi Lauper yang renyah.
Setelah mengambil sebotol bir untuk Richie, gadis itupun beralih mengelap meja bundar yang telah ditinggalkan pelanggan. Gerakan gadis itu seolah mencari perhatian Richie. Sebagai seorang pria normal, spontan Richie membayangkan – gaya gadis itu mengelap meja, persis dengan yang ada di film-film jorok.
Richie masih terus menatap gadis itu. Matanya menelusuri tubuh yang mengenakan atasan tanpa lengan berwarna putih. Warna yang hampir samar dengan warna kulit yang seputih susu. Tali bra satin terlihat dari lubang lengan, otak Richie menebak-nebak ukuran dada sang gadis.
Dari dada beralih ke kaki. Gadis itu mengenakan rok rempel model pemandu sorak yang hanya menutupi bokongnya. Bergoyang-goyang mengikuti gerakan tubuhnya. Gadis tadi bukanlah satu-satunya pelayan bar yang berseliweran melayani pelanggan. Akan tetapi tampaknya hanya gadis itu yang penampilannya paling memanjakan mata kaum adam.
“Patty! Aku mau menambah pesanan!” Suara lantang seorang pemuda yang duduk di sebelahnya, menyentak perhatian Richie.
Patty – gadis pelayan yang dipanggil namanya itu menengok ogah-ogahan. Pelayan lain mendorong punggung Patty untuk berjalan lebih cepat menghampiri gerombolan pemuda yang terus memanggilnya. Gadis itu berjalan dengan wajah memberengut.
Tepat ketika gadis berambut pirang itu sampai ke depan para pemuda, seorang di antara mereka dengan sengaja menumpahkan minuman ke lantai. Lalu bertingkah, memaksa agar minumannya diganti. Gadis itu tak segan menunjukkan kemarahannya. Dia membalikkan badannya, siap meninggalkan gerombolan pemuda yang hanya berniat mengolok-oloknya saja.
Seorang pemuda lain dengan lancang menepuk bokong dan membelai paha mulus gadis bernama Patty itu. Dengan gerakan tangan secepat bartender, Patty mengambil gelas yang masih berisi minuman dan menyiramkannya ke wajah pemuda yang telah menyentuh tubuhnya.
“DASAR JALANG!” pemuda yang mendapat siraman tequila itu berdiri dan menunjuk wajah Patty.
“Cepat keluar atau aku sumpal mulutmu dengan kain pel!” Tantang Patty. Matanya menyala marah.
Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Patty. Gadis itu bertambah marah. Dia bergerak cepat hendak membalas pemuda undercut itu. Tetapi sial, kakinya terpelecok dan tubuhnya oleng, menyenggol Richie yang sedari tadi duduk memperhatikan. Richie reflek menangkap tubuh mungil Patty.
Tawa pecah di antara pemuda-pemuda berengsek itu. Richie yang sempat terkesima dengan keberanian Patty sontak tergerak untuk membelanya. Richie beranjak dari posisinya lalu menarik cepat kerah pemuda yang tadi menampar Patty.
Richie mengeraskan rahangnya. “Dasar bajingan tengik!” geramnya. Dalam satu hantaman ringan ala Richie, nasib pemuda ingusan itu sudah bisa dipastikan akan berakhir di pemakaman.
Gerakan spontan Richie mencuri perhatian sebagian besar orang yang berada di dalam bar. Tetapi orang-orang itu hanya bersikap siaga sebagai penonton, bukan sebagai orang yang hendak menolong. Richie menarik tinggi kerah baju pemuda itu. Mata mereka bertemu dan Richie dapat melihat getaran di kedua bola mata lawannya. “Berapa usiamu? 20 tahun? Pakai otakmu untuk memikirkan masa depan, bukan untuk melecehkan seorang gadis!” Richie menggeram – jarak wajah mereka terpisah satu jengkal saja. “Cih! Siapa suruh dia memakai rok sependek itu? Jadi saja aku memakai otakku untuk membayangkan bokong di balik roknya,” pemuda itu cukup bernyali menjawab kata-kata Richie, membuat Richie semakin bernafsu mengencangkan tarikannya. Tenggorokan pemuda itu tercekik, “be-berani bertaruh, kau juga suka membayangkan hal yang sama kan, pak – pak tua?” ucapnya terbata. Richie melirik Patty yang berdiri kaku di sampingnya. Diamati dari dekat, gadis itu memang sangatlah c
Masih terlalu pagi, semalaman Richie gagal memejamkan matanya. Ternyata sekalipun dikatakan liburan, instingnya tidak serta merta berlibur. Tempat satu-satunya yang bisa membuatnya tertidur seperti bayi hanyalah di mansion. Di luar sini dia tetap harus terjaga dari bahaya yang sewaktu-waktu mengicarnya.Saat pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan mengenai seperti apakah desa Woodstock ini sesungguhnya, Richie melihat serombongan pria yang berjalan melewati depan karavannya.Sebuah truk telah menunggu mereka. Supir truk tampak marah-marah meneriaki rombongan itu. "Lebih cepat! Masuk! Masuk! Kita sudah terlambat!” teriaknya sambil menggerak-gerakkan tangannya.Salah seorang pria menengok ke arah karavan. Mungkin dia menyadari kalau kini ada seseorang yang menghuni karavan itu. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding karavan. Dia belum ingin lagi berinteraksi dengan banyak warga di sana setelah kejadian semalam.Richie mengapit kedua tangan di sela-
Richie tiba di rumah Patty setelah perjalanan cukup menegangkan menggunakan sepeda mini yang dikayuh gadis itu dengan kepayahan. Richie menyumpah serapah sepanjang perjalanan sambil menahan darah yang merembes dari celah pakaiannya. Sumpah serapahnya teruntuk pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya lengah dari seorang pemuda bau kencur. “Maafkan aku, paman … gara-gara aku paman jadi terluka.” Patty bergegas membukakan pintu bagi Richie. “Silahkan masuk dulu, paman … aku akan mengambil kotak P3K.” “Kau tinggal di sini?” Richie mendongak pada bangunan dua lantai bergaya Mediterania yang klasik. Kelihatannya, dari semua rumah yang ada di Woodstock, rumah itulah yang paling mewah. “Iya, paman. Ayo masuk cepat … sedikit banyak aku tahu cara mengobati luka …” ucap Patty penuh percaya diri. “Sedikit banyak?” Richie meringis. Harusnya tadi lebih baik dia minta diantarkan ke karavannya saja. Mati perlahan karena kehabisan darah rasanya akan lebih elegan ketimba
“Patty! Bahaya! Kau dalam bahaya!” Seorang pemuda berwajah panik melepaskan alas kakinya dengan sembarangan dan menerobos ke dalam rumah Patty. “James? Kenapa berteriak?” Patty balas berseru sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur. Pemuda seusia Patty itu mengabaikan Richie yang sedang bersandar di kursi dan berjalan melewatinya begitu saja. James terus membuntuti Patty, berseru-seru menyuruh gadis itu untuk berhenti dan mendengarkannya sebentar saja. Kata bahaya yang dia ulang-ulang membuat telinga Richie berdengung. “Berisik! Katakan saja langsung, ada bahaya apa? Aku sudah terbiasa dengan bahaya,” gerutu Patty sambil mengisi gelas dengan air hangat untuk diberikan kepada Richie. James menyambar gelas yang telah diisi dan meneguknya sampai habis. “Aaahh! Kau tahu? Aku berlari sepanjang jalan agar bisa cepat sampai ke rumahmu.” “Apa aku harus peduli dengan itu? Kembalikan gelasnya! Aku mengisinya bukan untukmu, dasar bodoh!” James
“James! Ohh Tuhan! Kau terluka?” Patty kalap. Tangannya meraba-raba tubuh James yang ambruk menimpa sisi kakinya.“Apa itu?! Seseorang mencoba membunuh kita?!” Suara James bergetar. Tangannya menyilang melindungi kepalanya.Richie berjongkok, lalu berjalan mengendap-endap mendekati jendela. Dalam sikap awas, Richie menyadari kekonyolannya yang lain. Dia meninggalkan tiga set senjata apinya di dalam karavan.Richie berdecak, lanjut berjalan dengan hati-hati menghindari pecahan kaca yang berserakan di lantai. Dia merapatkan tubuhnya ke tembok di bawah bingkai jendela yang kosong. Dari sana dia melihat sisi kayu jendela yang mencuat tergores peluru.Richie menyipitkan matanya, menganalisa. Perluru tersebut ditembakkan dari jarak jauh dan penembaknya tentu saja seorang profesional yang dengan sengaja menyerempetkan pelurunya, untuk mengurangi kecepatannya. Richie menyapu tatapannya ke lantai, mencari butiran keemasan yang berkilau.
Lidah Patty menggelitik telapak tangan Richie. Kemudian menjilati jari-jari kekar pria itu dengan liar. Richie tak pernah menyangka kalau liburannya akan begitu memacu adrenalin. Sapuan lidah Patty berhenti. Gadis itu berdiri dari posisi berlututnya dan melepaskan satu persatu pakaian yang dia kenakan.“Kau sempurna …” desis Richie.Patty membungkukkan badannya, seolah menyerahkan dadanya yang ketat dan indah itu kepada Richie. Bibir mereka bertemu dengan cepat. Mulut Patty basah dan panas. Sambil terus berciuman, Richie memainkan dada Patty yang begitu pas di tangannya.“Hmm …” desahan pertama lolos dari mulut Patty, gairah Richie semakin membara. Patty memejamkan matanya dalam-dalam. Jemarinya perlahan mulai merambati leher Richie yang berkeringat.Lalu, layaknya sebuah keajaiban dari liburan yang tak terduga, mendadak Patty sudah dalam posisi sempurna di atas tubuh Richie. Mereka bukan lagi hanya berciuman, gadis i
Sosok berjubah itu berlari secepat bayangan. Agak terlalu cepat untuk kondisi Richie yang sedang menahan nyeri. Richie memutuskan untuk mengabaikan sosok misterius itu. Tapi dalam hati dia akan terus mengingat sosok itu. Bisa jadi sosok itu yang telah menembak jendela rumah Patty. Satu hal yang pasti, ada banyak terror tak terduga di desa ini. Richie akhirnya berhasil mencapai karavan dengan selamat. Bergegas dia mengeluarkan koleksinya. Tiga set senjata api yang telah mengantarkannya pada prestasi sebagai pembunuh berdarah dingin. Revolver 10,2 mm, Glock 17 dan Bobcat 21A. Richie menimbang-nimbang lalu mengambil salah satunya. “Tujuh peluru saja cukup …” bisiknya seraya menyelipkan Bobcat mini ke panggulnya, berlawanan dengan lukanya. Setelah menutup semua jendela karavan, Richie membaringkan tubuhnya di ranjang yang tipis. Efek pain killer masih merambati tubuhnya. Dia membuka kemejanya, lalu berbaring terlentang di atas ranjang yang tipis. Ia menjeja
Koktail dengan ramuan cinta buatan Patty bereaksi dengan baik di tubuh Richie. Kehangatan gairah dan hasrat menyebar di sepanjang perutnya. Patty memejamkan matanya dan memiringkan kepalanya, siap menerima lebih dalam lagi percintaan dengan mulut Richie.Dalam tatapan sayu, di bawah sorot lampu jalan yang kekuningan, wajah Patty terlihat sangat menggairahkan. Richie menekankan lidahnya ke dalam mulut Patty. Gadis itu tidak melawan. Richie menarikan ujung lidahnya menyentuh bibir dalam Patty. Gerakan erotis itu membuat nafas Patty mulai berat dan cepat.“Ohh Richie …” Patty menarik bibirnya. “Kau bilang karavanmu tidak jauh dari bar?”“Kau mau menjadi mesin pemanas ruangan untuk karavanku?”“Iya …” Patty menyahut dengan mata yang terus menuntut usapan dingin bibir Richie.Richie merangkul pundak Patty layaknya sepasang kekasih. Menuntun gadis belianya itu untuk masuk ke tempat paling priv