Kembali pada masa kini, Richie dengan kekasih roda duanya memasuki halaman luas sebuah mansion yang tersembunyi di tengah hutan pinus. Udara dingin semakin menyergap, menusuk tulang. Richie memarkirkan kekasihnya di dekat kolam air mancur dan mengucapkan salam perpisahan.
Dia berjalan menaiki puluhan anak tangga yang panjang. Kini, mansion yang luas itu hanya di huni oleh dirinya dan Alfa Boss. Kamar mereka berseberangan. Richie di sayap kanan, sementara boss-nya di sayap kiri – kamar utama di mansion itu.
Richie menengok pintu kamar Alfa sebelum masuk ke kamar. Pintunya sedikit terbuka. Richie pun berbelok menuju kamar Alfa. Dia berniat mengajukan protesnya sekarang, mumpung pria itu masih terjaga.
Namun, baru saja tangannya hendak mengetuk pintu kamar, terdengar suara terengah seorang wanita diiringi makian ala surgawi yang terucap dari mulut seorang pria. Richie mendengus jijik. Pria flamboyan berdarah dingin itu pasti sedang bercinta dengan salah satu gundiknya.
“Oh god … Elisa, sayang … kau sangat nikmat, sayang! Suamimu pria terbodoh karena telah membiarkanmu kedinginan!”
Richie mengerutkan keningnya. “Elisa?” Dirapatkan telinganya ke daun pintu, menguping erangan yang terus menggaungkan nama seorang wanita. Sialnya, tanpa sengaja tubunya menekan daun pintu dan terbuka dengan mudahnya.
“Whoaa …” Richie tersentak kaget.
Punggung seorang wanita yang semulus porselen, serta berkeringat penuh gairah tersaji di depan mata Richie. Juga seorang pria yang tengah berdiri menikmati lumatan wanita yang begitu memuja pria itu. Satu tangan sang pria menjambak rambut sang wanita, memandu gerakan yang memberikan kenikmatan tiada tara pada inti tubuhnya.
Kedua pasangan yang telah membuat kamar berembun itupun segera menyadari keberadaan Richie yang berdiri di batas pintu. Richie menurunkan pandangannya, bertatapan dengan wanita yang berjongkok menutupi bagian dadanya dengan tangan. Di bawah cahya lampu yang kekuningan, Richie meyakini kalu dia tak mungkin salah mengenali orang.
Wanita yang kini beringsut memunguti pakaiannya itu adalah istri dari Jack Sherman – sahabatnya. Richie mundur perlahan dan menggulung bibirnya. Berjalan cepat menuju kamarnya yang berlawanan arah dengan kamar Alfa Boss.
“Damn!” Richie mengumpat di dalam kamarnya.
Sesaat kemudian terdengar makian serta tawa panjang khas seseorang yang frustasi, menggema di dinding-dinding mansion. Istri Jack yang tertangkap basah nampaknya langsung pergi begitu saja meninggalkan Alfa Boss dalam keadaan nanggung.
Richie menggaruk kesal kepalanya, teringat perkataan Alfa Boss ketika Jack Sherman pamit meninggalkan mansion. Jadi inikah yang dimaksudkan oleh pria itu?
“FUCK!” umpat Richie untuk kesekian kalinya.
***
Keesokan harinya, Richie kehilangan gairah untuk melakukan apapun. Wajah Elisa – istri Jack – masih terus membayanginya. Haruskah dia menceritakan kejadian semalam kepada Jack, supaya pria itu bisa menghukum istrinya yang berselingkuh? Atau pura-pura bodoh untuk melindungi dirinya sendiri? Richie membenci situasi semacam ini.
“Tuan Richie, sarapan sudah siap. Alfa Boss menunggu anda untuk sarapan bersama.” Tumben sekali ada seorang pelayan yang mengetuk pintu kamarnya. Perasaan Richie menjadi semakin tidak karuan.
“Baik, Louis. Aku akan turun sebentar lagi,” jawab Richie, menyebut asal nama si pelayan.
Meja panjang terbentang di tengah ruang makan yang dikelilingi kaca. Richie dan Alfa Boss duduk berseberangan. Pelayan membawakan dua tangkup roti panggang apel dan segelas susu murni sebagai menu sarapan Richie. Seraya mengamati Alfa Boss yang juga mengamatinya, Richie menggigit rotinya.
“Aku mau kau berlibur.” Suara Alfa Boss memecah kecanggungan di antara mereka.
“Berlibur?” Richie menyipitkan matanya curiga.
Alfa Boss menyatukan tangannya di depan wajah. “Iya – setelah aku pikir-pikir, aku sudah terlalu banyak membebankan tugas berat kepadamu – brother.” Pria itu mengatur suaranya sedemikian rupa agar terdengar ramah.
Richie menegakkan posisi duduknya. “Emm … kau mau aku berlibur kemana?” tanya Richie, menatap ke dalam mata Alfa Boss sambil menggigit rotinya lagi.
“Woodstock – sebuah desa kecil yang asri. Di sana kau bisa melepaskan energi negatif mu, sekalian mengisinya dengan energi baru.”
Richie ragu untuk merespon. Dia masih mencerna kata-kata sok perhatiaan dari pria di depannya. Merasakan keraguan Richie, Alfa Boss memberikan kode kepada salah satu pelayan di ruangan. Bergegas pelayan itu meletakkan sebuah koper besar ke depan Richie dan membukanya.
“Ambil sebanyak yang kau butuhkan dan bersenang-senanglah …”
Sekoper uang kertas membuat Richie menganga. Angin apa yang membawa Alfa Boss tiba-tiba bermurah hati kepadanya? Pria itu melanjutkan ocehannya dengan menyanjung Richie atas hasil kerja selama ini. Dia juga menyinggung kehebatan Alfa Lord yang beruntung karena menemukan Richie.
Meski muak mendengarnya, Richie menimbang-nimbang tawaran Alfa Boss. Setelah dipikir-pikir, sejak dia diselamatkan, dia memang belum mengenal lagi kata ‘berlibur’. Yah - mungkin tidak ada salahnya juga kalau dia mengambil kesempatan langka ini.
“Baiklah – kalau itu yang kau inginkan. Aku akan ke Woodstock siang ini. Terima kasih untuk sekoper uang yang kau berikan. Aku berjanji akan hidup boros dengan uang-uang ini.” Richie menyeringai. Dia mengunci koper dan mengambil semua uang itu baginya.
Richie tidak memiliki gambaran apapun tentang Woodstock yang dimaksudkan oleh Alfa Boss. Tetapi dia cukup bahagia membayangkan bahwa dirinya akan menjauh sejenak dari pekerjaannya. Terlebih lagi dia bisa menjauh sementara waktu dari Jack dan melupakan kejadian semalam. Richie bergegas menelan potongan roti terakhirnya.
“Brother, Richie …” Alfa Boss memanggil sebelum Richie beranjak. Kali ini suara pria itu terdengar menyayat seperti gesekan ampelas, suara Alfa Boss yang sebenarnya. “Apa kau melihat sesuatu di kamarku semalam?”
Bulu kuduk Richie meremang. Seketika dia menyadari ancaman dibalik koper uang dan tawaran berliburnya. Dia mengelap mulut dan berkata sigap, “no! I don’t see anything, (aku tidak melihat apapun)” ucap Richie.
“Anything? You don’t see anything – in my room? (apapun? Kau tak melihat apapun – di kamarku?)” ulang Alfa Boss, matanya menghujam Richie untuk menegaskan maksudnya.
“Yes, sir! Anything!” tegas Richie.
Alfa Boss menarik senyum di sudut bibirnya. Tangan kirinya terangkat dan mengibas, mempersilahkan Richie untuk segera enyah dari hadapannya. Richie menurut dengan patuh sebelum nyawanya sendiri yang berada dalam bahaya.
Richie terbangun gelagapan, langit sudah berubah gelap. Lampu jalanan berpendar kekuningan dengan malas. Sayup-sayup dia mendengar suara ramai orang-orang yang mengobrol dan tertawa. Richie melompat dari posisi tidur lalu membuka matanya lebar-lebar.Tiga jam yang lalu dia tiba di Woodstock diantarkan seorang kakek tua suruhan Alfa. Sungguh menyedihkan, dia tidak diijinkan untuk membawa kekasihnya yang kedinginan di taman mansion. Setibanya di Woodstock, Richie langsung menyadari bahwa dirinya telah berhasil dibodohi boss-nya.Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya tadi siang, dia sama sekali tak mendapati adanya tanda-tanda kehidupan penduduk desa. Daripada menyebut wilayah tersebut sebagai sebuah desa, Richie lebih setuju kalau menyebutnya sebagai tempat jin buang anak.Sunyi, kering dan mati – tiga kata itu berhasil menjelaskan kenapa Woodstock yang dipilih Alfa Boss sebagai tempat ‘berlibur’ Richie. “Alfa Boss berengsek!”
Gerakan spontan Richie mencuri perhatian sebagian besar orang yang berada di dalam bar. Tetapi orang-orang itu hanya bersikap siaga sebagai penonton, bukan sebagai orang yang hendak menolong. Richie menarik tinggi kerah baju pemuda itu. Mata mereka bertemu dan Richie dapat melihat getaran di kedua bola mata lawannya. “Berapa usiamu? 20 tahun? Pakai otakmu untuk memikirkan masa depan, bukan untuk melecehkan seorang gadis!” Richie menggeram – jarak wajah mereka terpisah satu jengkal saja. “Cih! Siapa suruh dia memakai rok sependek itu? Jadi saja aku memakai otakku untuk membayangkan bokong di balik roknya,” pemuda itu cukup bernyali menjawab kata-kata Richie, membuat Richie semakin bernafsu mengencangkan tarikannya. Tenggorokan pemuda itu tercekik, “be-berani bertaruh, kau juga suka membayangkan hal yang sama kan, pak – pak tua?” ucapnya terbata. Richie melirik Patty yang berdiri kaku di sampingnya. Diamati dari dekat, gadis itu memang sangatlah c
Masih terlalu pagi, semalaman Richie gagal memejamkan matanya. Ternyata sekalipun dikatakan liburan, instingnya tidak serta merta berlibur. Tempat satu-satunya yang bisa membuatnya tertidur seperti bayi hanyalah di mansion. Di luar sini dia tetap harus terjaga dari bahaya yang sewaktu-waktu mengicarnya.Saat pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan mengenai seperti apakah desa Woodstock ini sesungguhnya, Richie melihat serombongan pria yang berjalan melewati depan karavannya.Sebuah truk telah menunggu mereka. Supir truk tampak marah-marah meneriaki rombongan itu. "Lebih cepat! Masuk! Masuk! Kita sudah terlambat!” teriaknya sambil menggerak-gerakkan tangannya.Salah seorang pria menengok ke arah karavan. Mungkin dia menyadari kalau kini ada seseorang yang menghuni karavan itu. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding karavan. Dia belum ingin lagi berinteraksi dengan banyak warga di sana setelah kejadian semalam.Richie mengapit kedua tangan di sela-
Richie tiba di rumah Patty setelah perjalanan cukup menegangkan menggunakan sepeda mini yang dikayuh gadis itu dengan kepayahan. Richie menyumpah serapah sepanjang perjalanan sambil menahan darah yang merembes dari celah pakaiannya. Sumpah serapahnya teruntuk pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya lengah dari seorang pemuda bau kencur. “Maafkan aku, paman … gara-gara aku paman jadi terluka.” Patty bergegas membukakan pintu bagi Richie. “Silahkan masuk dulu, paman … aku akan mengambil kotak P3K.” “Kau tinggal di sini?” Richie mendongak pada bangunan dua lantai bergaya Mediterania yang klasik. Kelihatannya, dari semua rumah yang ada di Woodstock, rumah itulah yang paling mewah. “Iya, paman. Ayo masuk cepat … sedikit banyak aku tahu cara mengobati luka …” ucap Patty penuh percaya diri. “Sedikit banyak?” Richie meringis. Harusnya tadi lebih baik dia minta diantarkan ke karavannya saja. Mati perlahan karena kehabisan darah rasanya akan lebih elegan ketimba
“Patty! Bahaya! Kau dalam bahaya!” Seorang pemuda berwajah panik melepaskan alas kakinya dengan sembarangan dan menerobos ke dalam rumah Patty. “James? Kenapa berteriak?” Patty balas berseru sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur. Pemuda seusia Patty itu mengabaikan Richie yang sedang bersandar di kursi dan berjalan melewatinya begitu saja. James terus membuntuti Patty, berseru-seru menyuruh gadis itu untuk berhenti dan mendengarkannya sebentar saja. Kata bahaya yang dia ulang-ulang membuat telinga Richie berdengung. “Berisik! Katakan saja langsung, ada bahaya apa? Aku sudah terbiasa dengan bahaya,” gerutu Patty sambil mengisi gelas dengan air hangat untuk diberikan kepada Richie. James menyambar gelas yang telah diisi dan meneguknya sampai habis. “Aaahh! Kau tahu? Aku berlari sepanjang jalan agar bisa cepat sampai ke rumahmu.” “Apa aku harus peduli dengan itu? Kembalikan gelasnya! Aku mengisinya bukan untukmu, dasar bodoh!” James
“James! Ohh Tuhan! Kau terluka?” Patty kalap. Tangannya meraba-raba tubuh James yang ambruk menimpa sisi kakinya.“Apa itu?! Seseorang mencoba membunuh kita?!” Suara James bergetar. Tangannya menyilang melindungi kepalanya.Richie berjongkok, lalu berjalan mengendap-endap mendekati jendela. Dalam sikap awas, Richie menyadari kekonyolannya yang lain. Dia meninggalkan tiga set senjata apinya di dalam karavan.Richie berdecak, lanjut berjalan dengan hati-hati menghindari pecahan kaca yang berserakan di lantai. Dia merapatkan tubuhnya ke tembok di bawah bingkai jendela yang kosong. Dari sana dia melihat sisi kayu jendela yang mencuat tergores peluru.Richie menyipitkan matanya, menganalisa. Perluru tersebut ditembakkan dari jarak jauh dan penembaknya tentu saja seorang profesional yang dengan sengaja menyerempetkan pelurunya, untuk mengurangi kecepatannya. Richie menyapu tatapannya ke lantai, mencari butiran keemasan yang berkilau.
Lidah Patty menggelitik telapak tangan Richie. Kemudian menjilati jari-jari kekar pria itu dengan liar. Richie tak pernah menyangka kalau liburannya akan begitu memacu adrenalin. Sapuan lidah Patty berhenti. Gadis itu berdiri dari posisi berlututnya dan melepaskan satu persatu pakaian yang dia kenakan.“Kau sempurna …” desis Richie.Patty membungkukkan badannya, seolah menyerahkan dadanya yang ketat dan indah itu kepada Richie. Bibir mereka bertemu dengan cepat. Mulut Patty basah dan panas. Sambil terus berciuman, Richie memainkan dada Patty yang begitu pas di tangannya.“Hmm …” desahan pertama lolos dari mulut Patty, gairah Richie semakin membara. Patty memejamkan matanya dalam-dalam. Jemarinya perlahan mulai merambati leher Richie yang berkeringat.Lalu, layaknya sebuah keajaiban dari liburan yang tak terduga, mendadak Patty sudah dalam posisi sempurna di atas tubuh Richie. Mereka bukan lagi hanya berciuman, gadis i
Sosok berjubah itu berlari secepat bayangan. Agak terlalu cepat untuk kondisi Richie yang sedang menahan nyeri. Richie memutuskan untuk mengabaikan sosok misterius itu. Tapi dalam hati dia akan terus mengingat sosok itu. Bisa jadi sosok itu yang telah menembak jendela rumah Patty. Satu hal yang pasti, ada banyak terror tak terduga di desa ini. Richie akhirnya berhasil mencapai karavan dengan selamat. Bergegas dia mengeluarkan koleksinya. Tiga set senjata api yang telah mengantarkannya pada prestasi sebagai pembunuh berdarah dingin. Revolver 10,2 mm, Glock 17 dan Bobcat 21A. Richie menimbang-nimbang lalu mengambil salah satunya. “Tujuh peluru saja cukup …” bisiknya seraya menyelipkan Bobcat mini ke panggulnya, berlawanan dengan lukanya. Setelah menutup semua jendela karavan, Richie membaringkan tubuhnya di ranjang yang tipis. Efek pain killer masih merambati tubuhnya. Dia membuka kemejanya, lalu berbaring terlentang di atas ranjang yang tipis. Ia menjeja