Masih terlalu pagi, semalaman Richie gagal memejamkan matanya. Ternyata sekalipun dikatakan liburan, instingnya tidak serta merta berlibur. Tempat satu-satunya yang bisa membuatnya tertidur seperti bayi hanyalah di mansion. Di luar sini dia tetap harus terjaga dari bahaya yang sewaktu-waktu mengicarnya.
Saat pikirannya masih dipenuhi dengan pertanyaan mengenai seperti apakah desa Woodstock ini sesungguhnya, Richie melihat serombongan pria yang berjalan melewati depan karavannya.
Sebuah truk telah menunggu mereka. Supir truk tampak marah-marah meneriaki rombongan itu. "Lebih cepat! Masuk! Masuk! Kita sudah terlambat!” teriaknya sambil menggerak-gerakkan tangannya.
Salah seorang pria menengok ke arah karavan. Mungkin dia menyadari kalau kini ada seseorang yang menghuni karavan itu. Richie merapatkan tubuhnya ke dinding karavan. Dia belum ingin lagi berinteraksi dengan banyak warga di sana setelah kejadian semalam.
Richie mengapit kedua tangan di sela-
Richie tiba di rumah Patty setelah perjalanan cukup menegangkan menggunakan sepeda mini yang dikayuh gadis itu dengan kepayahan. Richie menyumpah serapah sepanjang perjalanan sambil menahan darah yang merembes dari celah pakaiannya. Sumpah serapahnya teruntuk pada dirinya sendiri yang bisa-bisanya lengah dari seorang pemuda bau kencur. “Maafkan aku, paman … gara-gara aku paman jadi terluka.” Patty bergegas membukakan pintu bagi Richie. “Silahkan masuk dulu, paman … aku akan mengambil kotak P3K.” “Kau tinggal di sini?” Richie mendongak pada bangunan dua lantai bergaya Mediterania yang klasik. Kelihatannya, dari semua rumah yang ada di Woodstock, rumah itulah yang paling mewah. “Iya, paman. Ayo masuk cepat … sedikit banyak aku tahu cara mengobati luka …” ucap Patty penuh percaya diri. “Sedikit banyak?” Richie meringis. Harusnya tadi lebih baik dia minta diantarkan ke karavannya saja. Mati perlahan karena kehabisan darah rasanya akan lebih elegan ketimba
“Patty! Bahaya! Kau dalam bahaya!” Seorang pemuda berwajah panik melepaskan alas kakinya dengan sembarangan dan menerobos ke dalam rumah Patty. “James? Kenapa berteriak?” Patty balas berseru sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur. Pemuda seusia Patty itu mengabaikan Richie yang sedang bersandar di kursi dan berjalan melewatinya begitu saja. James terus membuntuti Patty, berseru-seru menyuruh gadis itu untuk berhenti dan mendengarkannya sebentar saja. Kata bahaya yang dia ulang-ulang membuat telinga Richie berdengung. “Berisik! Katakan saja langsung, ada bahaya apa? Aku sudah terbiasa dengan bahaya,” gerutu Patty sambil mengisi gelas dengan air hangat untuk diberikan kepada Richie. James menyambar gelas yang telah diisi dan meneguknya sampai habis. “Aaahh! Kau tahu? Aku berlari sepanjang jalan agar bisa cepat sampai ke rumahmu.” “Apa aku harus peduli dengan itu? Kembalikan gelasnya! Aku mengisinya bukan untukmu, dasar bodoh!” James
“James! Ohh Tuhan! Kau terluka?” Patty kalap. Tangannya meraba-raba tubuh James yang ambruk menimpa sisi kakinya.“Apa itu?! Seseorang mencoba membunuh kita?!” Suara James bergetar. Tangannya menyilang melindungi kepalanya.Richie berjongkok, lalu berjalan mengendap-endap mendekati jendela. Dalam sikap awas, Richie menyadari kekonyolannya yang lain. Dia meninggalkan tiga set senjata apinya di dalam karavan.Richie berdecak, lanjut berjalan dengan hati-hati menghindari pecahan kaca yang berserakan di lantai. Dia merapatkan tubuhnya ke tembok di bawah bingkai jendela yang kosong. Dari sana dia melihat sisi kayu jendela yang mencuat tergores peluru.Richie menyipitkan matanya, menganalisa. Perluru tersebut ditembakkan dari jarak jauh dan penembaknya tentu saja seorang profesional yang dengan sengaja menyerempetkan pelurunya, untuk mengurangi kecepatannya. Richie menyapu tatapannya ke lantai, mencari butiran keemasan yang berkilau.
Lidah Patty menggelitik telapak tangan Richie. Kemudian menjilati jari-jari kekar pria itu dengan liar. Richie tak pernah menyangka kalau liburannya akan begitu memacu adrenalin. Sapuan lidah Patty berhenti. Gadis itu berdiri dari posisi berlututnya dan melepaskan satu persatu pakaian yang dia kenakan.“Kau sempurna …” desis Richie.Patty membungkukkan badannya, seolah menyerahkan dadanya yang ketat dan indah itu kepada Richie. Bibir mereka bertemu dengan cepat. Mulut Patty basah dan panas. Sambil terus berciuman, Richie memainkan dada Patty yang begitu pas di tangannya.“Hmm …” desahan pertama lolos dari mulut Patty, gairah Richie semakin membara. Patty memejamkan matanya dalam-dalam. Jemarinya perlahan mulai merambati leher Richie yang berkeringat.Lalu, layaknya sebuah keajaiban dari liburan yang tak terduga, mendadak Patty sudah dalam posisi sempurna di atas tubuh Richie. Mereka bukan lagi hanya berciuman, gadis i
Sosok berjubah itu berlari secepat bayangan. Agak terlalu cepat untuk kondisi Richie yang sedang menahan nyeri. Richie memutuskan untuk mengabaikan sosok misterius itu. Tapi dalam hati dia akan terus mengingat sosok itu. Bisa jadi sosok itu yang telah menembak jendela rumah Patty. Satu hal yang pasti, ada banyak terror tak terduga di desa ini. Richie akhirnya berhasil mencapai karavan dengan selamat. Bergegas dia mengeluarkan koleksinya. Tiga set senjata api yang telah mengantarkannya pada prestasi sebagai pembunuh berdarah dingin. Revolver 10,2 mm, Glock 17 dan Bobcat 21A. Richie menimbang-nimbang lalu mengambil salah satunya. “Tujuh peluru saja cukup …” bisiknya seraya menyelipkan Bobcat mini ke panggulnya, berlawanan dengan lukanya. Setelah menutup semua jendela karavan, Richie membaringkan tubuhnya di ranjang yang tipis. Efek pain killer masih merambati tubuhnya. Dia membuka kemejanya, lalu berbaring terlentang di atas ranjang yang tipis. Ia menjeja
Koktail dengan ramuan cinta buatan Patty bereaksi dengan baik di tubuh Richie. Kehangatan gairah dan hasrat menyebar di sepanjang perutnya. Patty memejamkan matanya dan memiringkan kepalanya, siap menerima lebih dalam lagi percintaan dengan mulut Richie.Dalam tatapan sayu, di bawah sorot lampu jalan yang kekuningan, wajah Patty terlihat sangat menggairahkan. Richie menekankan lidahnya ke dalam mulut Patty. Gadis itu tidak melawan. Richie menarikan ujung lidahnya menyentuh bibir dalam Patty. Gerakan erotis itu membuat nafas Patty mulai berat dan cepat.“Ohh Richie …” Patty menarik bibirnya. “Kau bilang karavanmu tidak jauh dari bar?”“Kau mau menjadi mesin pemanas ruangan untuk karavanku?”“Iya …” Patty menyahut dengan mata yang terus menuntut usapan dingin bibir Richie.Richie merangkul pundak Patty layaknya sepasang kekasih. Menuntun gadis belianya itu untuk masuk ke tempat paling priv
Richie mengeram pelan dan dalam satu hujaman, membenamkan diri seutuhnya. Dia telah menempatkan berat badannya di atas Patty. Desah nafas mereka menggema dan hangat tubuh mereka menciptakan embun di jendela karavan.“Aku sudah ada di dalam dirimu. Apa kau menyukainya?” Respon Patty hanyalah mendengkeram lengan Richie. Membenamkan kuku-kuku lentiknya.“Ah, sialan! Jangan lakukan itu. Aku – belum ingin menaikkan libidoku. Aku – tidak ingin terburu-buru.”“Aku …” ucapan Patty tertahan. Richie menggerakkan pinggulnya perlahan. Sebelah tangan pria itu membimbing Patty untuk melengkungkan panggulnya ke atas dan berayun di tubuh Richie.Gerakan pria itu semakin leluasa dan gadis itu telah terbang sampai langit ke tujuh. Richie mengerang dan menumpangkan tangan di bahu Patty, lalu menaikkan badannya. Kemudian dia dengan blak-blakan berkata, “Aku akan mulai bercinta denganmu.”Patty hampir m
Patty kaku pada posisinya. Titik laser merah itu mengarah ke tengah dahinya. Keheningan yang mencekam seketika mengambil alih perasaan Patty dan juga Richie. Masih tegap pada posisinya, Patty melirik Richie dengan sudut matanya.Patty merapatkan giginya dan berbisik, “kali ini aku pasti mati.”Richie meragukan sikap skeptis Patty. Seandainya snipper itu berniat membunuh, pasti dia sudah melakukannya sejak tadi. Pembunuh macam apa yang menunggu bermenit-menit hanya untuk menembak musuh yang begitu mudah untuk ditumbangkan.Richie menggelengkan kepalanya. “Masuk. Dia tidak akan membunuhmu.”“No,” desis Patty.“Go! Trust me! (percaya sama aku)” seru Richie, mulai kehilangan kesabarannya.“No! Aku bisa mati!”Richie mengerang frustasi. Tangannya merogoh laci dan meraih bobcat-nya. Dia harus bergegas melakukan sesuatu agar gadis itu mau menurut. Di pungutnya tas yang semalam