Alif pulang ke rumahnya dengan suasana hati yang tidak baik. Namun, karena rasa capek yang begitu mendera ia pun mengabaikan pikirannya yang tengah kalut. Perjalanannya dengan sepeda motor kali ini dipenuhi berbagai drama, mulai dari kaca spion kirinya yang diserempet pengendara motor lain di lampu merah simpang empat Lebak, tumpahnya kopi yang baru ia pesan karena tersempar kaki akibat ulah konyol anak motor yang baru saja datang di perumahan Citra Maja saat akan memesan kopi, dan yang paling membuatnya kehilangan semangat adalah saat tahu gawainya hilang saat akan mengisi bahan bakar kendaraannya si Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum. Sore itu Alif hanya ingin secepatnya merebahkan badannya di kasur.
Alif baru bangun tidur saat waktu menunjukan pukul 21:15WIB, setelah ia makan, mandi, dan salat barulah ia mulai menyalakan laptopnya untuk membackup data di gawainya yang hilang. Ia memastikan kopi hitam di cangkirnya masih panas.
“Ya salaaam, ada-a
Selanjutnya ada beberapa status terbaru yang terlanjur terbaca oleh Alif, yaitu aktivitas saling balas komentar postingan antara Nurul dengan akun yang sudah lama ia ikuti. Saat Alif mengklik histori postingan yang Nurul sukai, barulah Alif menyadari sesuatu bahwa selama ini ada hal besar yang ditutupi oleh Nurul mengenai hubungannya dengan orang dari masa lalunya yang ternyata masih berlanjut.Nurul memang sudah memberitahu sebelumnya, saat masih awal-awal pendekatan komunikasi dengan Alif, ia memiliki masa lalu pernah dekat dengan seseorang namun dikecewakan. Tapi dari semua hal yang sudah ia lakukan bersama dengan Nurul, dari segala ucapan yang telah disepakati, dari tiap curhatan yang selalu ia dengarkan dengan baik, dari waktu yang dihabiskan berdua, dari tiap langkah dan jarak yang sudah ia tempuh untuk merawat hubungannya dengan Nurul. Apakah tidak ada artinya sama sekali? Berbagai pertanyaan besar mengisi ruang di pikiran Alif. Apakah ini jawaban dari us
Hari-hari yang dilalui Alif kian monoton, ia bahkan lebih banyak diam. Mustafa yang terbilang dekat dengannya pun sudah menanyakannya beberapa kali keadaannya tapi Alif enggan bercerita, sementara Zulham lebih memilih menunggu Alif bercerita. Kedua sahabatnya itu perlahan mulai paham dan mengerti situasinya. Bagi seorang Alif yang biasanya senang bercanda, jelas menjadi hal yang tidak biasa jika ia lebih banyak diam. Apalagi kalau bukan soal asmara.Alif sebenarnya sudah tersadarkan jika perasaannya kepada Nurul memang harus segera dihilangkan, ia bukan tipe orang yang mau berlama-lama menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas. Namun, ternyata cara-cara yang dilakukan Nurul terhadap dirinya merupakan pukulkan yang keras.****“Udah sih bang, kayak nggak ada perempuan lain aja. Orang jahat kayak gitu kok masih bisa-bisanya loe pikirin,” ucap Fatma saat melihat Alif dengan tatapan kosong di meja kerjanya.“Dia bukan orang jahat Fat.&rdquo
“Kamu apaan sih ngomongnya gitu.”“Yaudah besok kalau butuh apa-apa hubungi aku lagi aja, gih balik KRL kamu ke Rangkas udah mau jalan tuh.”Nurul meninggalkan Stasiun Duri dengan hati yang bimbang. Namun demikian, ia tidak menyangkal pertemuannya dengan Furqon membuatnya senang, terlebih Furqon telah membantunya membuatkan alat peraga untuknya.****“Eh kok aku nggak ngerti ya ngerjain beginian,” ucap Nurul dari balik Gawai.“Apaan sih emangnya?”“Ini loh laporan akhir tahunan aku.”“Yaaah kayak gituan aja nggak bisa.”“Yeeee aku kan masih baru terjun di dunia kerja kayak gini, kamu enak udah lebih dulu jadi gampang aja ngomong kayak gitu.”“Mau dibantuin nggak?”“Nggak ah, aku nggak mau ngerepotin kamu.”“Yudah kirim aja filenya, nanti aku kerjain sekalian deh. Aku juga lagi nyusun laporan akh
Saat akhir pekan, tidak biasanya Alif ikut pulang ke Kota Tangerang berbarengan dengan teman-temannya yang akan kembali ke Jabodetabek. Namun, teman-teman Alif maklum setelah melihat stelan mendaki gunungnya.Jika teman-temannya kembali ke rumahnya masing-masing ada yang membawa oleh-oleh khas Sumur Pandeglang atau barang bawaan lainnya yang berkaitan dengan pekerjaan. Jumat sore itu, Alif kembali membawa carier 65liternya saat pulang ke rumah.“Bang bro, gue kayaknya hari Minggu sampai di Tangerang sekitaran Asar. Tungguin yak hehehe.”“Emang mau naik gunung mana bang?” Tanya Fatma.“Belum tahu nih, ya sedapatnya aja deh.”“Lha, ini orang kok mau naik gunung tapi belum tahu tujaunnya,” Mustafa menimpali.“Paling mau ambil sekitaran Jawa Barat bang, antara Gunung Pangranggo atau Gunung Gede deh.”“Terus ini pulang ke rumah dulu kan?”“Ya iyal
Alif berangkat menuju titik temu yang telah diberitahukan Rizal, yaitu di ring road Alam Sutra Tangerang Selatan. Sesampaikanya di tempat titik temu, ia melihat Rizal dan seorang lagi sedang asyik dengan gawainya.“Assalamualaikum,” sapa Alif.“Walaikumsalam, kak Alif sendirian aja?” Rizal menghampiri Alif untuk bersalaman. “Nanda, loe fokus banget sama game.”“Eh kak Alif, maaf kak hehehehe.”“Gimana persiapan bro?”“Beres kak, nesting, tikar tambahan per orang, flyhseet, dan kompor udah masuk packing semua. Sisanya sih ya tambahan aja,” jawab Rizal.“Berarti tinggal logistik ya?”“Iya kak.”“Okay nanti kita berhenti di minimarket sekitaran puncak aja ya biar nggak terlalu berat bawaannya.”Alif, Rizal, dan Nanda lalu berangkat menuju puncak ke kawasan Gunung Gede Pangrango. Mereka melewati rute BSD ke ar
“Bro, Loe jadi mau diurut Mang Asep” tanya Mustafa.“Jadi bang, beneran dah ini kaki pada sakit.”“Makanya lain kali kalau mau naek gunung cari waktu yang aga senggang dikit, loe dari sini langsung bablas naek gunung terus kesini lagi. Itu badan masih bagus cuma keram.”“Iya bang iya paham. Tapi, ini karena kemarin waktu turun gue malah lari sih soalnya kan ngejar waktu kesini bang.”****“Kak Alif beneran turun disini?” Rizal masih keheranan.“Iya nggak apa-apa bro, palingan mau sekalian bersih-bersih dulu di masjid ini sambil nunggu teman balik ke Ujung Kulon.” Alif turun dari motor dan menurunkan barang bawaannya.“Emang jam berapa kak temannya nyampe sini?”“Paling lepas magrib bro. Eh nanti motor minta tolong anterin ke rumah yak sama tenda tolong dikondisikan.”“Sip kalem, okay kita mau lanjut ya kak.”
“Astagfirullahal adzhim.” Alif menarik napas dalam-dalam dan mencoba fokus.****Tiga minggu sudah berlalu, sejak Alif pulang ke rumah. Saat kembali ke Sumur Pandeglang, Alif seakan tidak lagi memiliki gairah dalam hidup. Hari-harinya dipenuhi dengan lamunan dan diam menyendiri.Meski berulang kali ia ke pantai saat sore hari, berulang kali juga ia kembali dengan keadaan masih terpuruk. Sapuan ombak ke pasir putih di Pantai Daplangu yang diharapkan mampu menghilangkan rasa sakit di hatinya ternyata tidak berefek apa pun. Ruang kosong di hatinya bahkan tidak bisa terisi dengan kata-kata semangat dan motivasi dari orang-orang terdekatnya.“Adikmu mas, Kamu yang sabar ya.”Suara tangis, lantunan ayat Alquran, dan tanah di pusara masih membekas di ingatan Alif. Selama ini, ia berupaya bekerja sebaik mungkin untuk menjadi kebanggan keluarga, mencari uang untuk membantu ekonomi keluarga dan membiayai pendidikan adiknya.&ld
Alif menembus derasnya hujan melewati flyover Tol Serang-Panimbang, sesaat kemudian ia sudah sampai di Mandala Rangkasbitung. Ada jejak dan sisa dari nalurinya yang mengingatkan ia untuk berbelok ke arah Alun-alun Rangkasbitung. Tapi kesadaran dan logikanya jauh lebih menyadarkan keberadaan Nurul sudah hilang terhapus air hujan.Alif berhenti di minimarket lampu merah, ia berteduh sekadar mengisirahatkan tubuh karena jarak pandang pun tak kurang dari lima meter, terlalu beresiko jika perjalanan diteruskan.Ia masuk ke minimarket dan mencari cup untuk membuat kopi, setelah melakukan pembayaran di kasir ia pun mencari tempat duduk yang disediakan di depan minimarket. Asap dari kopi hitam buatannya masih mengepul.Pada rintik hujan yang membasahi semua makhluk dan benda di bumi, ia berdoa semoga segala sakit, kesulitan, pedih, dan perih yang ia dan orang-orang rasakan dapat hilang terhapus derasnya rahmat dari hujan yang diberikan Tuhan.Satu teguka