"Hari ini, aku akan minum sepuasnya!" gumam Louis sambil menenggak habis segelas vodka yang ada di gelas sloki, lalu menaruh kembali gelasnya dengan cepat ke atas meja.
Sore hari menjelang malam, di saat ada banyak sekali orang-orang berjas dan berpenampilan rapi yang baru saja pulang dari aktivitasnya bekerja seharian dan tampak memenuhi jalanan dengan kendaraan roda empat, di waktu itulah Louis Peterson menghabiskan waktunya dengan cara bersenang-senang sendirian di sudut bar langganan, sembari meminum beberapa gelas sloki berisi cairan tanpa warna yang bening yang memiliki kadar alkohol cukup tinggi.
Pria berusia 27 tahun itu masih terlihat normal, meski sudah menghabiskan tujuh gelas minuman beralkohol dalam beberapa kali tegukan. Louis yang sekarang memang cukup tahan dengan kadar alkohol dari minuman keras jenis apa pun yang dia minum, tidak seperti dirinya yang dulu.
"Hei, Vi, masih lama?" Daniel mengetuk-ngetuk setir mobil yang ia kemudikan. Sudah lebih dari tiga jam mereka berkendara dari pusat kota ke sekitar pegunungan dekat perbatasan, mencari keberadaan rumah lama Javier yang tersembunyi di dalam gunung. Wajar Daniel tak tahu rumah lama keluarga Leckner, sebab dia hanya tahu rumah baru yg anak-anak itu tempati saja. Berbeda dengan Mark, pemuda itu sudah sering berkunjung ke rumah lama Javier saat keduanya masih anak-anak.Javier terlihat tak acuh. Dia terlalu sibuk dengan ponsel di tangannya. Sebab ada pesan yang harus dia balas dan ada sesuatu yang harus dia periksa dengan saksama. Melihat sikap sahabatnya itu, Daniel mendengkus seketika. "Aku tak masalah mencari rumahmu ke sana kemari dengan mobil yang bukan tipe offroad ini," komentarnya lagi dengan suara yang dinaikan sedikit. "Yang paling aku pikirkan itu adalah bagaimana jika gadis ini bangun di tenga
Pukul delapan malam, suasana kota yang gemerlap dari atas bangunan tinggi akan memanjakan mata setiap orang yang kebetulan menyaksikannya. Lalu lalang kendaraan, terdengar begitu bising, memecah kesunyian malam. Di tengah-tengah waktu itu, ada seorang pemuda yang baru saja bangun dari tidurnya karena udara di sekitarnya yang terasa panas. Jacob lantas terduduk, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya perlahan, lalu mengedarkan mata ke sekitar. Dia sempat mendapat mimpi buruk, mimpi yang terasa nyata sekali, tetapi dia tak tahu apa itu. Matanya lantas terpaku pada jam dinding yang menunjukkan pukul delapan, dengan jarum panjang yang mengarah ke angka 20. Hampir setengah sembilan, dan hari sudah gelap. Sembari menghela napas perlahan, Jacob turun dari atas ranjang dan membuka laci meja kecil di samping ranjangnya. Lalu mengambil ponsel, dan menjelajah setiap isinya, hanya demi memeriksa sesuat
Julia menundukkan kepala, air matanya menetes secara perlahan, hingga tak berhenti mengalir membasahi pipi. Seberapa keras pun dia mencoba menggerakkan kedua tangannya, hasilnya akan tetap sama. Tak berhasil. Tangannya terikat kuat oleh sesuatu. Entah tali atau benda panjang lainnya. Julia tidak mengerti, apa yang membuatnya terjebak di tempat mengerikan dan gelap seperti itu? Apa salahnya?Kegelapan di sekitar perlahan mulai menyelimuti. Dirinya benar-benar merasa takut. Apa yang akan terjadi kepadanya jika terus berada di sana? Untuk apa orang-orang itu membawanya ke tempat yang gelap dan pengap seperti ini?Apa dia menjadi korban penculikan? Tapi ... atas dasar apa orang-orang itu menculiknya? Apa yang mereka inginkan dari Julia yang tidak punya apa-apa ini. Dia memang dari keluarga kaya, apa itu alasan orang-orang yang tadi mengikutiny
Papa, Mama ... aku mau pulang. Pulang ke rumah. Papa ... Jacob ... tolong aku, Jacob .... Julia membatin dalam tangisnya. Ia menangis, tersedu-sedu walau tak ada isakan lirih yang keluar dari mulutnya yang tertutupi lakban hitam. Namun, air matanya mengalir dengan deras dari telaga bening miliknya. Gadis itu ketakutan, kesepian dan merasa ingin pulang dan menemui keluarganya yang ada di rumah. Julia berjanji, akan menjadi anak yang lebih baik dan rajin lagi di rumah. Serta dia akan hidup lebih berhati-hati lagi nantinya. Asalkan dia pulang ke rumah, izinkan dia pulang ke rumah dan kembali bersama keluarganya. Untuk apa menyekapnya di tempat itu? Akan diapakan dia di sana? Apa maksud mereka menjadikan Julia target penculikan? Padahal ... ada banyak orang yang bisa mereka bawa selain Julia tentu saja. Julia merasa takut sekali, ia ingin segera pulang
Hari Senin, pagi-pagi sekali, di saat fajar belum menampakkan diri, Javier sudah berangkat dari kediamannya menggunakan mobil pribadi untuk segera pergi ke rumah lamanya yang berada di kaki gunung. Dengan meninggalkan secarik kertas catatan di atas meja makan yang sudah diisi dengan sepiring bacon dan telus goreng buatannya, Javier berangkat tanpa memberitahu sang kakak. Setidaknya, dia pergi setelah menyiapkan sarapan untuk kakaknya. Memang masakan itu tidak wajib dilakukan, sebab biasanya Jacob lah yang membuatkan sarapan untuk mereka, tetapi untuk kali ini, Javier tak suka menunggu hingga kakaknya itu bangun dari tidur. Ia akan pergi di saat hari masih gelap, dan menyempatkan diri membuatkan sarapan juga untuk Jacob. Di tengah perjalanan, Javier mampir dulu ke sebuah minimarket langganannya. Tentu saja untuk membeli makanan siap saji dan beragam minuman juga cemilan teruntuk dua oran
"Dasar gadis bodoh! Aku tidak akan pernah lagi mau memberikannya makan mulai hari ini! Awas saja!" Mark datang ke ruang tamu sambil bersungut-sungut ria. Membuat Javier dan Daniel yang sedang duduk bersandar di sofa sambil bermain game online dengan seketika menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanya keduanya di saat bersamaan. Mereka lalu saling pandang, kenapa bisa mereka mengucap hal sama seperti itu? "Cih, aku marah dengan si gadis bodoh itu! Gadis yang jadi kekasih barunya Jacob itu yang tadi tidak mau memakan bubur yang kuberikan dan malah memuntahkan isi perutnya padaku!" gerutu Mark sambil berdecak beberapa kali. Mark kemudian duduk di samping Daniel dengan wajah dan tangan yang terlihat memerah—entah memerah karena sebab apa. Yang jelas, sepertinya memerah karena tertumpah oleh sesuatu. "Memangnya gadis
Jacob terbangun di pagi hari dengan tubuh yang semua sendinya terasa sakit, pun dengan suasana hatinya yang entah mengapa mendadak tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia sendiri tak tahu apa yang membuatnya merasa demikian. Dengan tubuh yang masih terasa lemas, ia pun duduk di pinggir ranjang sembari memijat keningnya yang berdenyut pelan. Senin pagi yang cerah, tetapi tak cukup bisa mencerahkan kondisi hatinya saat ini. Jacob tak bisa menerjemahkan apa yang sebenarnya terjadi padanya sekarang. Apa karena ada sesuatu yang akan terjadi? Entahlah, dia tak ingin menduga-duga dan berakhir menjadi salah paham. Sambil meregangkan tubuhnya selama beberapa saat, Jacob pun meraih ponsel pintar yang dia simpan di atas nakas, mencoba mencari tahu keadaan sang kekasih. Dia pernah membaca di sebuah artikel, bahwa tidur dekat dengan ponsel itu sangat berbahaya. Apa kar
"Ehhh?! Kenapa kau malah menangis, Emi?" Javier panik, saat melihat Emily menyeka pipinya yang mendadak basah. Buru-buru pemuda 17 tahun itu menyeka air mata yang tersisa dengan ibu jarinya secara hati-hati. "Aku sudah sering mengatakannya padamu, jangan pernah menangis lagi!" "Kau tahu? Aku tidak suka melihat air matamu! Kau boleh bersedih, tapi jangan menangis seperti ini di depanku!" Emily menggeleng pelan, ia gigit bibirnya perlahan. "Aku ... aku tidak tahu apakah Jacob masih ingin bersamaku atau tidak," bisiknya lirih. "Aku senang kau berkata seperti itu, Javi. Aku senang sekali. Aku sudah berjanji padamu untuk tidak lagi menangis di depanmu, tapi aku malah menangis lagi. Maafkan aku, Javi." Raut wajah Emily kembali sendu. Air matanya kembali menitik jatuh. "Tapi, kakakmu sudah memiliki orang lain di sisinya, Vi. Apa yang bisa kulakukan selain