Dokter Birendra benar-benar datang ke rumah setelah ditelepon oleh Jacob yang panik. Mulanya ia ingin bertanya apa yang terjadi, tetapi ketika melihat raut wajah penuh sesalnya Jacob, akhirnya pria paruh baya itu mengurungkan niatnya.
Sembari diam tak berkata-kata, pria berjanggut itu mengeluarkan semua peralatan yang ia bawa dari rumah. Jacob sengaja menunggunya di luar sampai pria itu selesai memeriksa keadaan Julia.
"Bagaimana keadaanmu, Nona?" tanya sang dokter dengan lembut. Ia keluarkan stetoskopnya dan juga kotak obat dari tas besarnya. "Kau terlihat tak begitu sehat. Apa Jacob merepotkanmu?"
Julia yang menggigil seluruh tubuhnya mulai dari tangan sampai kaki menggelengkan kepalanya perlahan. Birendra tak berucap lagi setelah itu. Ia melakukan tugasnya sebagai dokter dengan cepat. Mulai memeriksa suhu tubuh Julia, dan kemudian mendiagnosis sakit yang diderita olehnya.
Setelah sel
Dokter menepuk-nepuk punggung Jacob perlahan. "Nak, kejarlah impianmu dan lupakan masa lalu yang menyakitkan itu." "Tapi mereka telah ... menghalangi impianku, Dok," balas Jacob dengan suara serak. Air matanya mengalir deras dari kedua matanya yang sayu. Betapa sakit hatinya Birendra tatkala melihat Jacob yang sudah dianggapnya anaknya sendiri, sedang menangis sesenggukan seperti bayi sekarang ini. "Jacob, dengar...." Birendra mendekat, berusaha mengucap hal ini dengan cara berbisik di depan telinga Jacob. "Yang jahat itu bukan mereka yang menghalangi impianmu, Nak. Tapi mereka yang mengatakan bahwa kau tak bisa melewati berbagai rintangan dan mengatakan bahwa kau sama sekali tak bisa menggapainya." "Kamu tidak akan mengerti arti manis yang sesungguhnya, jika belum pernah merasakan pahit. Nak, ingat kata-kataku sebelumnya. Ikhlaskan dan lapangkanlah hatimu. Bebaskan dendam di hatimu itu." &nbs
Di saat-saat sibuk seperti itulah, seorang remaja laki-laki berparas tampan yang menjadi langganan tetap kafenya datang dan mengajak kedua anak laki-lakinya bermain bersama. Tentu Javier dan Jacob begitu senang dengan hal itu, sebab mereka sangat membutuhkan hiburan sampai ibu mereka selesai bekerja dan membawa keduanya pulang ke rumah.Mereka bermain dengan riang gembira setiap harinya, tetapi kadang kala ada masanya Louis tak ingin diganggu sama sekali oleh kedua anak-anak itu. Javier dan Jacob mengerti keadaan sang pemuda, dan tak ingin terlalu mengganggunya.Lalu, sebagai gantinya, remaja itu mengajak anak perempuan bernama Emily Stone untuk bermain ke kafe mereka. Karena sama-sama cocok, Javier dan gadis kecil itu pun menjadi akrab dan berteman baik hingga menjadi persahabatan yang abadi di masa mendatang.Suatu hari, Louis kembali membawa gadis kecil bersamanya, tetapi bukan Emily, melainkan gadis lain bernama Sylvia yang juga merupakan keponakan pemuda it
Gadis itu benar-benar memiliki sikap yang pantang menyerah, ia terus saja mengejar Jacob tanpa malu. Berbagai hal pun Sylvia lakukan. Mulai dari mengikuti klub pemandu sorak karena Jacob sering bertanding basket, sampai mengikuti kelas memasak yang hanya ada Jacob seorang sebagai anggota laki-laki di sana.Memang benar, Jacob risih kepada Sylvia yang selalu ada di dekatnya bagaikan ngengat yang mengitari bola lampu. Meskipun begitu, dirinya tak juga mengusir dan meminta sang gadis untuk menjauhinya secara terang-terangan."Jacob, kumohon ... katakan sedikit saja! Bahwa kau sebenarnya suka padaku!"Sylvia memang percaya diri, dan kalimat itu sebagai bukti sederhana dari kepercayaan dirinya. "Kalau kau tak mau bilang suka padaku, mulai hari ini kau harus jadi kekasihku! Titik! Tanpa pengecualian!"Sikapnya yang tak terduga dan selalu menempel setiap saat kepada Jacob di kelas, pada akhirnya mampu mengikis dinding batu pertahanan Jacob secara perlahan. Hingg
Sylvia menggeleng cepat. "Ini anakmu!" ucapnya bersikeras. "Aku tak pernah melakukannya dengan orang lain. Aku hanya melakukannya denganmu, Jackie."Jacob langsung menatapnya tajam. "Berengsek, jangan sebut nama panggilan itu di depanku," desisnya tertahan. Jackie adalah nama panggilan khusus. Hanya keluarga dan orang terdekatnya saja yang boleh memanggilnya seperti itu."Kumohon, bertanggung jawablah." Sylvia meraih tangan sang kekasih, tetapi dengan cepat Jacob menepis tangannya."Kau gila? Kita bahkan belum masuk menengah atas dan untuk apa aku tanggung jawab atas bayi yang kau kandung itu? Kau sendiri yang senang jika aku tak memakai pengaman setiap kali kita melakukannya."Sylvia menangis, terisak pelan ketika kekasihnya sendiri menolak dirinya dan anak di dalam rahimnya. "Bukankah kau merindukan keluarga?" tanyanya sendu. "Karena itu ... buatlah keluarga denganku. Bersama bayi ini kita hidup bahagia...."Jacob memijat keningnya perlahan. Kepa
"Begitulah akhir kisahku dengannya, berakhir seperti itu." Jacob telah berhasil menyelesaikan satu kisah hidupnya yang kelam. Tentang betapa berengseknya dia dahulu. Karena sudah menghilangkan dua nyawa sekaligus, sebab tak ingin bertanggung jawab untuk gadis malang yang pernah ia cintai.Air matanya turut mengalir, kembali merasakan kesedihan yang sama seperti hari itu. Di hari di mana keduanya berpisah untuk selamanya, Jacob terus saja merenungi perbuatannya yang telah menghilangkan nyawa Sylvia bersama janin dalam kandungannya. Darah dagingnya sendiri.Dan kini, ia pun bersedih dalam pelukan Julia yang ikut menangis bersama-sama dengannya."Aku tak tahu ... akhir hidup sepupuku yang menghilang ... selama ini ternyata ada padamu," bisik Julia dengan pilu. Matanya telah sembap karena sepanjang kisah, ia menangis tanpa henti. Bisa ia rasakan, besarnya cinta Sylvia kepada Jacob.Namun, lelaki ini malah membunuhnya.Haruskah Julia bersyukur sebab dia
Suatu hari, di awal bulan Januari yang terasa dingin hingga menusuk kulit, meski salju telah banyak mencair, Jacob mengajak kekasihnya—Emily—berkunjung ke rumah sakit jiwa, hanya untuk menjenguk ibunya yang sedang dirawat di sana.Mulanya, dia sempat ragu membawa gadis itu membesuk ibunya, dia takut Emily akan memandang hina ibunya yang menderita gangguan jiwa. Namun, dia tahu Emily bukanlah gadis seperti itu."Selamat pagi, Jacob," sapa salah seorang perawat kepada mereka ketika keduanya hendak menuju ruangan di mana Maria dirawat selama ini. Hanya seulas senyum tipis yang terukir di wajah Jacob. Para perawat di gedung itu hampir semuanya hafal dengan sosok Jacob, seorang kakak yang hidup berdua dengan adik laki-lakinya sedangkan sang ibu dirawat karena kondisi mental yang tidak stabil.Emily berjalan tak jauh dari kekasihnya. Langkahnya pendek-pendek dan tak secepat sang kekasih. Dia tampak kesulitan mengimbangi langkah Jacob yang berjalan dengan k
Pertikaian antara Emily dan Jacob semakin memanas. Sehari sebelum perpisahan mereka, Jacob marah besar kepada sang gadis."Kau berhubungan lagi dengan pria itu?!" bentak Jacob di hadapan Emily. Saat itu, Emily berkunjung ke rumahnya, tetapi ketika mengetahui gadis itu bertukar pesan dengan orang yang sudah menghancurkan hidupnya, ia naik pitam. "Sudah berulang kali kukatakan padami, berhentilah dekat dengan orang jahat itu!"Emily tak mau kalah. Ia merasa apa yang dilakukannya sudah benar. "Aku hanya berteman dengannya, dan Kak Louis dan keluarganya itu sangat baik, Jacob. Berhentilah menyebutnya jahat!" ucap Emily dengan nada tinggi. "Kau tak bisa memandang seseorang dari masa lalunya."Jacob mendengkus kasar, matanya memanas. Masa lalu, huh?"Masa lalu ya? Kau tak tahu apa yang dilakukan olehnya, bukan? Dia sudah menghancurkan kehidupanku!" seru Jacob sambil mencengkeram bantal. "Aku dan Javier! Karena perbuatannya, kami berdua menjadi yatim piatu!"
"Dan beberapa tahun setelah berpisah dengan Emily, aku pun bertemu denganmu," ucap Jacob mengakhiri kisahnya. Matanya tampak basah, setidaknya dia merenungi kesalahan yang dia lakukan di masa lalu. Betapa banyaknya dosa yang dia lakukan, banyaknya hal yang tak bisa dimaafkan."Dulu, aku pernah menceritakan perjalanan hubunganku dan Emily ini di akun Youtubeku—Badbuddy.""Be-benarkah?" Julia terlihat tidak percaya. "Tapi aku tak pernah melihatnya.""Waktu itu aku memang benar menceritakannya, tapi itu saat aku sedang melakukan siaran langsung dan begitu selesai bercerita, aku dengan cepat menghapus videonya."Jacob menerawang, mengingat kenangannya pada waktu itu. "Dan salah satu penontonku saat itu pernah menuliskan komentar yang benar-benar menyadarkanku, dia menyuruhku untuk segera membenahi diri.""Dia menuliskan sebuah kalimat yang menggugah hati, aku berterima kasih sekali lagi dengannya. Dia tak tahu siapa aku dan cerita yang kukisahkan